Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَهُ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ
“Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi.” (ar-Rum: 27)
Penjelasan Mufradat Ayat
Firman Allah,
وَلَهُ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰ
“Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi.”
Para ulama tafsir berkata, الْمَثَلُ bermakna الْوَصْفُ, yaitu sifat. Mereka menyatakan,
مَثَّلْتُ الشَّيْءَ
“Saya umpamakan sesuatu…” apabila menyebutkan sifat dan mendekatkannya kepada suatu pemahaman. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مَّثَلُ ٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي وُعِدَ ٱلۡمُتَّقُونَۖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ أُكُلُهَا دَآئِمٌ وَظِلُّهَاۚ
“Perumpamaan sifat surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman), mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedangkan naungannya (demikian pula).” (ar-Ra’d: 35)
Matsalul jannah pada ayat di atas maknanya adalah sifat janah (surga).
Adapun makna الْأَعْلَى adalah الْعُلْيَا yaitu Yang Mahatinggi. (lihat Fathul Qadir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir ath-Thabari, Zadul Masir, Tafsir al-Alusi, dan al-Bahrul Muhith)
Abul Khair al-Baidhawi mengatakan, kata الْمَثَلُ maknanya ialah sifat yang sangat mengagumkan, seperti kekuasaan yang umum dan hikmah yang sempurna. Adapun الْأَعْلَى bermakna Dzat yang tidak ada yang dapat mengimbangi dan menyamai-Nya.
Penjelasan Makna Ayat
Syaikh asy-Syinqithi berkata bahwa makna ayat ini adalah hanya bagi Allah sifat yang paling sempurna, yaitu sifat yang paling agung, paling sempurna, dan paling mulia, baik di langit maupun di bumi.
Para ulama tafsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa ayat ini bermakna seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٌۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Mereka juga memaparkan riwayat Mujahid dan Qatadah rahimahumallah yang menyebutkan bahwa ayat ini semakna dengan persaksian bahwa tidak ada sembahan yang berhak untuk diibadahi dengan cara yang benar selain Allah subhanahu wa ta’ala saja, tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada Rabb selain-Nya.
Baca juga: Makna Kalimat Syahadat La Ilaha Illallah
Yang menguatkan hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ضَرَبَ لَكُم مَّثَلًا مِّنۡ أَنفُسِكُمۡۖ هَل لَّكُم مِّن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُم مِّن شُرَكَآءَ فِي مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ فَأَنتُمۡ فِيهِ سَوَآءٌ تَخَافُونَهُمۡ كَخِيفَتِكُمۡ أَنفُسَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٍ يَعۡقِلُونَ
“Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu sekutu bagimu dalam hal (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sehingga kamu sama dengan mereka dalam (hak menggunakan) rezeki itu; kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.” (ar-Rum: 28)
Al-Qurthubi menjelaskan ayat di atas,
“Allah subhanahu wa ta’ala membuat perumpamaan bagi kaum musyrikin: apakah ada salah seorang di antara mereka yang rela jika hamba sahaya yang ia miliki harta dan jiwanya, sama seperti dia (menjadi sekutu dalam kepemilikan harta)? Apabila hal ini tidak mereka ridhai untuk diri mereka, bagaimana bisa mereka menjadikan tandingan-tandingan (sekutu) bagi-Nya?
Prinsip Memahami Nama & Sifat Allah
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau, Syarh Lum’atil I’tiqad libni Qudamah, al-Qawa’idu al-Mutsla, dan Taqrib at-Tadmuriyah menjelaskan beberapa prinsip penting dalam hal memahami nama dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau rahimahullah menjelaskan pula golongan/kelompok sesat yang menyelisihi jalan para rasul dan pengikutnya.
Di antara prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
-
Sifat-sifat Allah keseluruhannya adalah sifat yang Mahatinggi, sifat kesempurnaan dan pujian.
Sifat-sifat tersebut tidak mengandung kekurangan dari sisi mana pun, seperti sifat hayat (hidup), ilmu, qudrah (kekuatan), sama’ (mendengar), bashar (melihat), hikmah, rahmah, ‘izzah (kekuasaan), ‘uluw (ketinggian), ‘azhamah (keagungan), dan selainnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لِلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِ مَثَلُ ٱلسَّوۡءِۖ وَلِلَّهِ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (an-Nahl: 60)
-
Pembahasan masalah sifat Allah lebih luas daripada pembahasan tentang asma (nama).
Sebab, setiap nama mengandung sifat. Misalnya, nama Allah al-Qawi (Yang Mahakuat) berarti Allah memiliki sifat al-quwwah (kekuatan).
Selain itu, di antara sifat-sifat itu ada yang terkait dengan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan perbuatan-Nya tidak ada kesudahannya. Sifat bicara/kalam pada Allah subhanahu wa ta’ala, misalnya, tidak ada kesudahannya sehingga Allah berbicara kapan pun Dia berkehendak.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوۡ أَنَّمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ مِن شَجَرَةٍ أَقۡلَٰمٌ وَٱلۡبَحۡرُ يَمُدُّهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦ سَبۡعَةُ أَبۡحُرٍ مَّا نَفِدَتۡ كَلِمَٰتُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (keringnya, niscaya tidak akan habis [dituliskan] kalimat Allah). Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Luqman: 27)
-
Sifat Allah terbagi menjadi dua: tsubutiyah dan salbiyah.
Sifat tsubutiyah adalah sifat yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk Diri-Nya, baik melalui Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Semuanya adalah sifat kesempurnaan. Tidak ada kekurangan pada sifat tersebut dari sisi mana pun, seperti sifat hidup, ilmu, qudrah, istiwa’ di atas Arsy, turun ke langit dunia, wajah, dua tangan, dan yang semisalnya.
Kita wajib menetapkan sifat ini bagi Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan kemuliaan-Nya karena Dia telah menetapkan sifat-sifat tersebut untuk Diri-Nya. Dia adalah Dzat yang lebih mengetahui sifat-sifat Diri-Nya.
Adapun sifat salbiyah adalah sifat yang ditiadakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari Diri-Nya, baik melalui Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Semuanya adalah sifat kekurangan (ketidaksempurnaan) pada Diri-Nya, seperti sifat mati, tidur, bodoh, lupa, lemah, lelah, dan zalim.
Kita wajib meniadakan sifat ini dari Allah subhanahu wa ta’ala karena Dia telah meniadakan sifat tersebut dari Diri-Nya. Namun, peniadaan ini harus disertai oleh penetapan lawannya dalam bentuk yang paling sempurna. Peniadaan semata tidaklah menunjukkan kesempurnaan hingga terwujud lawan dari yang ditiadakan.
Misal dalam hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ
“Bertawakallah kepada Allah Yang Mahahidup (kekal) yang tidak mati.” (al-Furqan: 58)
Ditiadakannya sifat mati dari Allah subhanahu wa ta’ala mengandung sifat lawannya, yaitu kesempurnaan hidup-Nya (hidup yang kekal).
Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua: dzatiyah dan fi’liyah.
Sifat dzatiyah adalah sifat yang senantiasa ada pada diri Allah subhanahu wa ta’ala, seperti sifat ilmu, qudrah, sama’, bashar, ‘izzah, hikmah, ‘uluw, dan ‘azhamah. Di antara sifat dzatiyah tersebut ada yang berupa sifat khabariyah, seperti wajah, dua tangan, dan dua mata.
Sifat fi’liyah adalah sifat yang terkait dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Jika Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki, Dia akan melakukannya. Jika tidak menghendaki, Dia tidak akan melakukannya. Contoh sifat ini ialah istiwa’ di atas Arsy, turun ke langit dunia, dan datang.
Terkadang, ada sifat yang tergolong fi’liyah dan dzatiyah sekaligus, ditinjau dua sisi. Sifat kalam, misalnya. Ditinjau dari asalnya, ia adalah sifat dzatiyah karena Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memiliki sifat berbicara (tidak bisu). Namun, jika kita meninjau dari tiap-tiap pembicaraan-Nya, ia adalah sifat fi’liyah karena sifat ini terkait dengan kehendak-Nya. Allah berbicara dengan apa yang Dia kehendaki dan kapan pun Dia menghendaki.
-
Sifat Allah adalah tauqifiyah, tidak ada ruang bagi akal dalam hal ini (untuk menetapkan atau meniadakan).
Kita tidak boleh menetapkan sebuah sifat bagi Allah subhanahu wa ta’ala kecuali apabila hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau As-Sunnah.
-
Setiap sifat Allah subhanahu wa ta’ala diberlakukan padanya tiga pertanyaan berikut.
- Apakah sifat Allah subhanahu wa ta’ala itu hakiki? Mengapa demikian?
- Apakah boleh menanyakan bagaimana bentuknya? Mengapa demikian?
- Apakah sifat ini menyerupai (tamtsil) sifat makhluk? Mengapa demikian?
Jawaban terhadap pertanyaan pertama, sifat Allah subhanahu wa ta’ala adalah hakiki (nyata dan sesungguhnya) karena asal suatu perkataan itu menunjukkan hakikatnya (makna sesungguhnya). Tidak boleh makna itu dialihkan dari hakikatnya (kepada makna yang lain) kecuali berdasarkan dalil sahih yang akan menghalangi dari hakikatnya.
Jawaban terhadap pertanyaan kedua, tidak boleh menanyakan bagaimana/takyif (menggambarkan bentuk) sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِۦ عِلۡمًا
“…. sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.” (Thaha: 110)
Jawaban terhadap pertanyaan ketiga, sifat Allah subhanahu wa ta’ala tidak serupa dengan sifat makhluk. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٌۖ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (asy-Syura: 11)
Di samping itu, Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang paling berhak untuk bersifat dengan kesempurnaan, maka tidak ada puncak kesempurnaan yang melebihi-Nya. Dengan demikian, tidak mungkin Allah subhanahu wa ta’ala akan serupa dengan makhluk karena makhluk bersifatkan dengan kekurangan.
-
Membantah kaum mu’aththilah.
Mereka adalah orang-orang yang mengingkari sebagian nama dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala, serta memalingkan ayat dan hadits dari hakikatnya. Mereka juga disebut dengan kaum mu’awwilah (para penakwil).
Kaidah umum untuk membantah mereka adalah bahwa pendapat mereka:
- bertentangan dengan hakikat nas (tekstual) ayat dan hadits.
- bertentangan dengan metode para salaf, dan
- tidak berlandaskan dalil yang sahih.
Bisa jadi, pada beberapa sifat yang mereka ingkari terdapat bantahan keempat atau lebih.
Golongan yang Menyimpang dalam Masalah Nama & Sifat Allah
Golongan yang menyimpang dari jalan para rasul dan para pengikutnya dalam masalah nama Allah subhanahu wa ta’ala dan sifat-Nya ada dua macam: mumatstsilah dan mu’aththilah. Masing-masing memiliki sikap ekstrem/melampaui batas dari satu sisi dan sikap melalaikan dari sisi yang lain.
Kaum mumatstsilah memiliki sikap ekstrem dalam hal penetapan, tetapi bersikap lalai dalam hal peniadaan. Sementara itu, kaum mu’aththilah bersikap ekstrem dalam hal peniadaan, tetapi bersikap lalai dalam hal penetapan. Jadi, masing-masing telah keluar dari sifat adil (pertengahan) dalam hal penetapan dan peniadaan.
Metode pemahaman mumatstsilah adalah menetapkan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala dalam bentuk yang menyerupai sifat-sifat makhluk. Mereka berpendapat, Allah subhanahu wa ta’ala memiliki wajah, dua tangan, dan dua mata yang serupa dengan wajah, tangan, dan mata kita, serta yang semisalnya.
Adapun mu’aththilah mengingkari asma/nama dan sifat Allah, secara keseluruhan atau sebagian. Dari sinilah mereka memalingkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta menolak penetapan sifat-sifat bagi Allah subhanahu wa ta’ala.
Mereka terbagi menjadi empat kelompok.
-
Asy’ariyah (Kullabiyah) dan kelompok yang mengikutinya dari kalangan Maturidiyah serta yang lain.
Jalan yang mereka tempuh adalah menetapkan nama-nama bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan sebagian sifat, tetapi meniadakan (menolak) hakikat dari mayoritas sifat tersebut. Mereka menolak dalil-dalil yang bisa mereka tolak. Adapun dalil yang tidak bisa mereka tolak, mereka palingkan (kepada makna lain). Mereka menyebut cara seperti ini sebagai takwil. Mereka menetapkan bagi Allah subhanahu wa ta’ala sifat yang tujuh, yaitu sifat hayat, ilmu, qudrah, iradah, kalam, sama’, dan bashar.
Di antara kelompok-kelompok bid’ah yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin adalah as-Salimah. Mereka adalah pengikut Ibnu Salim, yang berpemahaman musyabbihah (menyerupakan sifat Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk). Orang-orang yang sejenis dengan mereka adalah Asy’ariyah. Mereka adalah pengikut Abul Hasan al-Asy’ari. Pada awalnya, beliau condong kepada pemahaman Mu’tazilah. Kemudian, beliau bertobat darinya dan menerangkan kesalahan (kebatilan) paham Mu’tazilah. Setelah itu, beliau berpegang dengan pemahaman Ahlus Sunnah.
Adapun orang-orang yang menyandarkan diri kepada beliau, pada hakikatnya mereka menganut paham tersendiri, bukan Ahlus Sunnah. Paham itulah yang dikenal sebagai mazhab Asy’ariyah. Mereka tidak menetapkan sifat selain sifat yang tujuh—karena akal mampu membuktikannya—dan menakwilkan sifat yang lainnya. Sifat tersebut mereka kumpulkan dalam bentuk syair,
حَيٌّ عَلِيمٌ قَدِيرٌ وَالْكَلَامُ لَهُ إِرَادَةٌ وَكَذَاكَ السَّمْعُ وَالْبَصَرُ
-
Mu’tazilah dan para pengikutnya dari kalangan ahli kalam (filsafat) serta yang lainnya.
Mereka menetapkan nama bagi Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi tidak menetapkan sifat. Mereka menjadikan nama-nama tersebut sekadar nama (tidak mengandung/menunjukkan sifat). Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa nama-nama itu sama, sesuatu yang satu. Ada pula yang berpendapat, nama itu berbeda-beda artinya, tetapi tidak menunjukkan sifat, seperti al-Alim (Maha Mengetahui) tetapi tidak berilmu, al-Qadir (Mahakuasa) tetapi tidak punya kekuasaan, as-Sami’ (Maha Mendengar) tetapi tidak memiliki pendengaran, dan semisalnya.
-
Jahmiyah ekstrem, al-Qaramithah, al-Bathiniyah, dan para pengikutnya.
Mereka mengingkari asma/nama dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka sama sekali tidak menetapkan sifat melainkan peniadaan semata, kosong dari penetapan. Golongan ini menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu ada secara mutlak, tidak dikatakan Dia ada. Tidak pula Allah subhanahu wa ta’ala dikatakan Mahahidup, Maha Mengetahui, dan Mahakuasa.
-
Golongan paling ekstrem dari kalangan ahli filsafat, Jahmiyah, al-Qaramithah, al-Bathiniyah, dan selain mereka.
Golongan ini mengingkari hal-hal yang menjadi hak Allah subhanahu wa ta’ala, baik sifat yang ditetapkan maupun yang ditiadakan. Mereka meniadakan dari Allah subhanahu wa ta’ala sifat ada dan tidak ada, hidup dan mati, ilmu dan bodoh, dan semisalnya. Mereka berpendapat, Dia itu tidak ada dan tidak tidak ada, tidak mati dan tidak hidup, tidak berilmu dan tidak pula bodoh, dan seterusnya.
Wallahu a’lam.