Bentuk-bentuk Muwalah Terhadap Orang Kafir

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf)

Bahaya memberikan muwalah kepada orang-orang kafir sangat jelas bagi kaum muslimin secara umum. Kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari sekadar kerusakan karena mengubah akidah alias pindah agama. Namun demikian, dosa bermuwalah terhadap orang kafir itu bertingkat-tingkat. Ada yang merupakan dosa besar, ada pula yang sampai pada tingkat kekafiran.Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui bentuk-bentuk muwalah terhadap orang-orang kafir. Berikut ini perincian dari hal tersebut.
1. Ridha dengan kekafiran orang-orang kafir dan tidak mengafirkannya, atau ragu-ragu terhadap kekafirannya, atau bahkan cenderung membenarkan jalan hidupnya.
2. Memberikan loyalitas kepada mereka secara umum, atau mengambilnya sebagai penolong, pembela, pemimpin, atau bahkan malah memeluk agamanya. Allah l berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Hanya kepada Allah kembali(mu).” (Ali Imran: 28)
Ibnu Jarir t dalam Tafsir-nya berkata, “Siapa saja yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, pembantu, dan mencintai agamanya, berarti dia telah bara’ (berlepas diri) dari Allah l. Allah l pun bara’ darinya lantaran ia telah murtad dari agama dan masuk ke dalam kekafiran.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)
Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
3. Beriman kepada sebagian kekufuran yang ada pada diri mereka, atau menjadikan mereka sebagai hakim (pemutus perkara). Allah l berfirman:
”Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt (sihir) dan thaghut (sesembahan selain Allah), serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 51)
4. Menyayangi dan mencintai orang-orang kafir.
Allah l telah melarang hal ini dalam firman-Nya:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)
Dalam ayat ini, Allah l mengabarkan bahwa tidak akan didapati seorang mukmin memberikan kasih sayang atau kecintaan kepada orang-orang yang memerangi Allah l dan Rasul-Nya, karena sesungguhnya pengaruh keimanan akan menafikan kecintaan yang seperti ini.
Jika ada keimanan, hilanglah yang menjadi lawannya yaitu loyalitas kepada musuh-musuh Allah l. Jika ada seseorang yang memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah l dengan hatinya, itu merupakan tanda ketiadaan keimanan yang seharusnya ada. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Mumtahanah: 1)
5. Condong atau memihak kepada mereka.
Allahlberfirman:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 113)
Al-Imam al-Qurthubi t berkata, “Condong atau memihak hakikatnya adalah bersandar dan bertumpu serta cenderung kepada sesuatu dan ridha kepadanya.”
Menurut al-Imam Qatadah t, makna ayat ini adalah “Jangan kalian berikan kecintaan kepada mereka dan jangan kalian menaatinya.”
Adapun menurut Ibnu Juraij t dari Ibnu Abbas c, “Janganlah kalian condong kepada mereka.”
6. Bersikap lunak, tenggang rasa, dan penuh basa-basi.
Hal ini sering menimpa kaum muslimin yang umumnya memberikan penilaian bahwa musuh-musuh Allah l melebihinya dalam kekuatan materi. Bahkan, ada yang sudah sampai pada tingkatan menyebut musuh-musuh Allah l sebagai simbol kehebatan dan kemajuan. Akhirnya, tidak sedikit yang mulai melirik dan meniru cara beragama mereka demi menggapai sebuah “kemajuan”. Hal ini dilakukan agar musuh-musuh Allah l tidak menganggapnya sebagai muslim yang fanatik terhadap agamanya. Allah l berfirman:
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (al-Qalam: 9)
Sungguh benar sabda Rasulullah n:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ
”Kalian pasti akan mengikuti tata cara (beragama) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai kalau mereka masuk lubang dhabb, kalian pun akan mengikutinya.” (HR. al-Bukhari)
7. Menjadikan mereka sebagai teman dekat atau istimewa.
Allahlberfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali Imran: 118)
Di dalam Sunan Abi Dawud, Rasulullah n bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu diukur melalui agama temannya. Maka dari itu, lihatlah dengan siapa salah seorang kalian berteman.”
Keterangan di atas menunjukkan keharusan membenci dan tidak bersikap loyal (setia) kepada orang-orang kafir dan pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah serta yang semisalnya. Berkawan dekat dengan orang-orang kafir dan condong kepada mereka berarti kekufuran atau kemaksiatan, karena pergaulan hal itu tidaklah terjadi melainkan karena adanya kecintaan. Allah l berfirman:
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (al-Isra: 74—75)

8. Menaati perintahnya.
Allah k dengan jelas melarang perbuatan itu. Allah l berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi: 28)
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 149)
Allah l juga berfirman:
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 121)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata dalam Tafsir-nya, “Jika kalian menaati mereka, pasti kalian menjadi musyrik. Karena dengan itu, berarti kalian beralih dari perintah Allah l dan syariat-Nya kepada ucapan yang lain. Kalian lebih cenderung mendahulukannya daripada Allah l. Inilah kemusyrikan, seperti dalam firman Allah l:
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
9. Duduk dan bergabung bersama mereka, pada saat mereka mengolok-olok ayat Allah l.
Allah l berfirman:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka mengalihkan pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam Jahannam.” (an-Nisa: 140)
Ibnu Jarir t berkata, “Maksud dari ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ adalah apabila kalian duduk bersama orang-orang yang mengufuri ayat-ayat Allah l serta mengolok-oloknya dan kalian mendengarnya, berarti kalian sama seperti mereka jika kalian tidak meninggalkan mereka pada saat itu, karena dengan begitu kalian telah bermaksiat kepada Allah l.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)
10. Ridha dengan segala perbuatan mereka dan meniru gaya hidupnya (tasyabbuh).
11. Membantu dan membela kezalimannya.
12. Memuji dan menyebarkan kelebihan-kelebihannya.
13. Menyukseskan program-programnya yang batil, membeberkan kelemahan kaum muslimin, dan berperang di barisan mereka.
14. Pindah dari negeri Islam ke negeri kafir karena membenci kaum muslimin dan mencintai orang-orang kafir, dll.

Penutup
Al-wala’ wal bara’ adalah bentuk realisasi sebuah keyakinan. Allah l berfirman:
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 256)
Allah k menghendaki kemuliaan bagi seorang muslim, bahkan seluruh muslim di muka bumi ini. Maka dari itu, ketika seorang muslim memberikan wala’ kepada Allah l, Rasul-Nya, agama-Nya, dan kepada kaum mukminin, tentu dengan demikian ia akan mendapatkan kemuliaan dengan sebenar-benarnya.
Pengetahuan seorang muslim terhadap al-wala’ wal bara’ akan mendorongnya untuk memberikan wala’, kecintaan, dan pembelaan kepada kaum mukminin seluruhnya. Ia akan senantiasa bersama saudara-saudaranya kaum mukminin dengan hati, lisan, darah, dan hartanya. Ia akan merasakan sakit di saat saudara-saudaranya sakit. Ia pun akan merasakan kegembiraan di saat saudara-saudaranya gembira.
Di samping itu, ia akan memberikan bara’ dan kebenciannya kepada seluruh orang kafir, murtad, atau munafik. Ia akan berjihad melawan mereka semua dengan jiwa, harta, lisan, dan tulisan sesuai dengan kemampuannya.
Intinya, seorang muslim yang mengetahui hakikat al-wala’ wal bara’ akan mengetahui kepada siapa ia harus memberikan wala’ dan kepada siapa dia harus menampakkan bara’. Dia akan mengetahui apa yang diinginkan oleh Islam dari dirinya dan sikap apa yang diinginkan oleh Islam terhadap musuh-musuhnya. Dia pun menjadi seorang muslim sejati dengan kemuliaan dari Allah l karena dia yakin bahwa Allah l bersamanya. Dia-lah yang telah berfirman:
”Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
Wallahu a’lam.