Bersungguh-Sungguh Mendoakan Kebaikan untuk Pemerintah pada Masa Wabah

bersungguh-sungguh mendoakan kebaikan pemerintah

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan tentang wajibnya taat kepada pemerintah (dalam hal selain maksiat). Telah diterangkan pula tentang larangan mencela atau merendahkan pemerintah. Silakan disimak kembali:

Seri 14: Nasihat untuk Bersungguh-Sungguh Menaati Pemerintah pada Masa Wabah

Seri 16: Larangan Mencela Pemerintah, Terkhusus pada Masa Wabah

Pada artikel kali ini, akan dibahas tentang pentingnya mendoakan kebaikan untuk pemerintah pada semua keadaan dan terkhusus di masa wabah.

Agama Islam Membimbing Umatnya Mendoakan Kebaikan untuk Pemerintah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama ini adalah an-Nashiihah.” Kami (para sahabat) bertanya, “Bagi siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-nya, bagi para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.”  (HR. Muslim no. 55 dari sahabat Tamim ad-Daari radhiyallahu anhu)

Di antara makna “an-Nashiihah” adalah keikhlasan atau ketulusan. (Lihat al-Mufhim Limaa Asykala Min Talkhish Kitab Muslim 1/168 dan Talkhis al-Mu’in ‘Ala Syarh al-Arba’in hlm. 57)

An-Nawawi menyebutkan pendapat al-Khaththabi ketika menjelaskan bahwa di antara cakupan “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada para pemimpin kaum muslimin adalah,

أَنْ يُدْعَى لَهُمْ بِالصَّلَاحِ

“Mereka (para pemimpin) didoakan dengan kebaikan.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj 1/144)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjelaskan,

وَمِنَ النُّصْحِ الدُّعَاءُ لَهُ بِالتَّوْفِيقِ وَالْهِدَايَةِ وَصَلَاحِ النِّيَّةِ وَالْعَمَلِ وَصَلَاحِ الْبِطَانَةِ

 “Termasuk dalam an-Nush (an-Nashiihah)’ adalah mendoakan mereka (para pemimpin) agar diberi taufik, hidayah, niat dan perbuatan yang baik, serta teman dekat yang baik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 8/209)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Ketika kita berdoa, biasanya kita akan memulai dengan diri sendiri, orang tua, istri, anak-anak, keluarga, kerabat, pekerjaan, rezeki, dll. Setelah kita mengilmui pembahasan di atas, hendaknya kita sisipkan pula di sela-sela lantunan doa kita untuk menyebut pemerintah kita dan mendoakannya supaya diberi taufik, petunjuk, pertolongan, dan segala kebaikan yang lain.

Saudaraku, jangan sampai terlupa dalam untaian doa-doa, kita memohon kepada Allah agar pemerintah dijauhkan dari segala keburukan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi kita hidayah dan taufik untuk ikhlas dalam berdoa.

Para Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Mendoakan Kebaikan untuk Penguasa

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Sebagaimana dijelaskan dalam artikel sebelumnya bahwa ketaatan kepada pemerintah dalam perkara selain maksiat, merupakan salah satu prinsip agung Ahlussunnah Wal Jamaah. Para ulama pun selalu menerangkan prinsip tersebut dalam kitab-kitab mereka.

Tidak cukup sampai di situ, para ulama juga menjelaskan perkara yang lebih khusus dari itu, yaitu mereka menjadikan doa untuk pemerintah agar mendapatkan taufik, perbaikan, dan kelurusan; termasuk dalam salah salah satu prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah.

Mari kita cermati dan perhatikan beberapa (sekadar contoh, bukan pembatasan) perkataan para ulama berikut ini:

  1. Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah (wafat 321 H) menjelaskan dalam kitabnya yang terkenal, Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah ( 84—85),

وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَةً مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَةٍ، وَنَدْعُو لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالْمَعَافَاةِ

“Kami berkeyakinan bahwa ketaatan kepada pemerintah merupakan ketaatan kepada Allah Ta’ala yang wajib dilaksanakan, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat. Dan (hendaklah) kita mendoakan mereka (pemerintah) agar mendapatkan kebaikan dan penjagaan.

  1. Imam Abu Muhammad al-Barbahari rahimahullah (wafat 329 H) dalam kitabnya Syarh as-Sunnah (hlm. 114) mengatakan,

فَأُمِرْنَا أَنْ نَدْعُوَ لَهُمْ بِالصَّلَاحِ، وَلَمْ نُؤْمَرْ أَنْ نَدْعُوَ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ ظَلَمُوا وَإِنْ جَارُوا، لِأَنَّ ظُلْمَهُمْ وَجَوْرَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ، وَصَلَاحَهُمْ لِأَنْفِسِهِمْ وَلِلْمُسْلِمِينَ

Kita diperintahkan (oleh syariat) untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah dan kita tidak diperintahkan untuk mendoakan kejelekan bagi mereka, walaupun mereka berbuat zalim dan jahat. Sebab, kezaliman dan kejahatan mereka akan mereka pertanggungjawabkan sendiri; sedangkan kebaikan mereka, selain kemaslahatannya untuk diri mereka sendiri, juga (kemaslahatannya) untuk kaum muslimin.”

  1. Imam Abu Bakr al-Isma’ili (wafat 381 H) dalam kitabnya I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah ( 57) mengatakan,

وَيَرَوْنَ [أَيْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ] الصَّلَاةَ ؛ الْجُمُعَةَ وَغَيْرَهَا، خَلْفَ كُلِّ إِمَامٍ مُسْلِمٍ، بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا … وَيَرَوْنَ الدُّعَاءَ لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالْعَطْفِ إِِلَى الْعَدْلِ

“Mereka (yakni Ahlussunnah Wal Jamaah) berpendapat, bahwa shalat (wajib), shalat jumat, dan selainnya; hendaklah dilaksanakan di belakang seorang pemimpin yang muslim, baik (pemimpin tersebut) taat maupun jahat, … dan (Ahlussunnah Wal Jamaah) berpendapat bahwa (kaum muslimin hendaklah) mendoakan kebaikan bagi pemerintahnya dan agar mereka dibimbing kepada keadilan.”

  1. Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat 449 H) rahimahullah dalam kitab beliau ‘Aqidah as-Salaf wa Ashhab al-Hadits ( 294) mengatakan,

وَيَرَوْنَ الدُّعَاءَ لَهُمْ بِالْإِصْلَاحِ وَالتَّوْفِيقِ وَالصَّلَاحِ، وَبَسْطِ الْعَدْلِ فِي الرَّعِيَّةِ

Ashhabul hadits (Ahlussunnah Wal Jamaah) berpendapat untuk mendoakan para pemimpin agar semakin baik, mendapatkan taufik dan kebaikan, dan menebarkan keadilan kepada rakyat.

Salah Satu Contoh Praktik Ulama Salaf dalam Mendoakan Pemerintah       

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Para ulama tidak sekadar mencukupkan diri dengan menggoreskan kalimat-kalimat di atas dalam karya-karya mereka. Akan tetapi, mereka menerapkannya dalam amal kehidupan mereka dan menyerukannya dengan lisan-lisan mereka di hadapan khalayak. Mereka melakukannya dalam rangka mengajari dan membimbing kaum muslimin untuk mengamalkan salah satu prinsip yang agung ini, yaitu mendoakan kebaikan bagi penguasanya.

Berikut ini sebuah contoh dari seorang Imam Ahlussunnah Wal Jamaah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Bersamaan dengan banyaknya nukilan dari Imam Ahmad  dalam membimbing kaum muslimin untuk menaati penguasa dan mendoakan mereka (lihat sebagian contohnya pada kitab Manaqib al-Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi hlm. 506 dan 509); beliau juga senantiasa mendoakan kebaikan untuk penguasa. Terkhusus jika nama pemimpin itu disebutkan di hadapan beliau atau ketika beliau teringat kepada penguasa dalam sebuah pembahasan.

  • Abu Bakr al-Maruzi menceritakan, “Saat disebutkan nama Khalifah al-Mutawakkil, aku mendengar Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) berkata,

إِنِّي لَأَدْعُو لَهُ بِالصَّلَاحِ وَالْعَافِيَةِ

“Sungguh, aku selalu mendoakannya agar mendapatkan kebaikan dan keselamatan.(As-Sunnah karya al-Khallal hlm. 84)

  • Ahmad bin Husain bin Hasan (salah seorang murid Imam Ahmad) menceritakan, “Aku mendengar Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) ketika ditanya tentang masalah ketaatan kepada pemimpin negara, maka beliau mengangkat tangannya seraya berdoa,

عَافَى اللهُ السُّلْطَانَ، تَنْبَغِي، سُبْحَانَ اللهِ! السُّلْطَانُ!

Semoga Allah menjaga sultan (pemimpin), sudah seharusnya (sultan ditaati). Subhanallah! Sultan!’” (Lihat al-Masail wa ar-Rasail al-Marwiyyah an al-Imam Ahmad 2/4)

  • Ucapan Imam Ahmad sudah seharusnya maksudnya ialah ketaatan kepada sultan (pemimpin) adalah wajib.
  • Adapun ucapan beliau Subhanallah! Sultan!” terdapat pengagungan terhadap kedudukan pemimpin dan ketaatan kepadanya. (ad-Du’aa` Li Wulatil Amr, Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan—Kerajaan Arab Saudi, hlm. 15)

Bahkan, Imam Ahmad begitu bersungguh-sungguh membimbing umat untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah. Beliau mengatakan sebuah pernyataan yang sangat masyhur yang kemudian menjadi suatu kalimat hikmah yang dinukil dari lisan ke lisan sampai hari ini, yaitu,

لَوْ كَانَ لَنَا دَعْوَةٌ مُجَابَةٌ لَدَعَوْنَا بِهَا لِلسُّلْطَانِ

Seandainya kami mempunyai sebuah doa yang terkabul, maka pasti akan kami gunakan untuk mendoakan kebaikan bagi sultan (pemimpin negara). (as-Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 129)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Jika kita mencermati dan merenungi perkataan-perkataan Imam Ahmad di atas, kita akan memahami, betapa besar kadar keilmuan beliau serta jauhnya pandangan beliau.

  • Pertama, beliau bersungguh-sungguh mengajarkan prinsip mendengar dan taat kepada pemerintah (dalam perkara selain maksiat).
  • Kedua, beliau membimbing agar manusia membiasakan lisan mereka untuk mendoakan pemerintah dengan doa yang tulus dan memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada pemerintah dan membimbing mereka menuju kebenaran. (ad-Du’aa` Li Wulatil Amr, Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan—Kerajaan Arab Saudi, hlm. 9)

Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin mengamalkan salah satu kandungan syariat “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada pemerintah. Demikian pula, hendaklah kaum muslimin yang mengaku ingin menempuh jalannya para salaf; mereka sepantasnya tidak lupa mendoakan kebaikan untuk pemerintah dalam untaian doa-doa yang mereka panjatkan.

Duhai kiranya orang-orang yang menyibukkan diri dengan mencela dan menjatuhkan kehormatan pemerintah itu mau menahan diri dari perbuatan mereka. Kemudian, mereka menggantinya dengan doa kebaikan; sungguh itu lebih baik bagi mereka. Sebab, menyibukkan diri dengan mencela dan menjatuhkan kehormatan pemerintah tidak akan memperbaiki keadaan. Perbuatan itu hanya menimbulkan dendam di dada dan mengakibatkan bertambahnya dosa-dosa. Lihat kembali:

Larangan Mencela Pemerintah, Terkhusus pada Masa Wabah

Al-Hafihz Abu Ishaq as-Sabi’i mengatakan,

مَا سَبَّ قَوْمٌ أَمِيرَهُمْ إِلاَّ حُرِمُوا خَيْرَهُ

Tidaklah suatu kaum mencela pemimpin mereka, kecuali akan dihalangi dari kebaikan pemimpin tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid Limaa fi al-Muwaththa` min al-Ma’ani wa al-Asanid, 21/287)

Permohonan kepada Para Khatib, Mubalig, dan Tokoh Agama untuk Membimbing Umat Mendoakan Kebaikan bagi Pemerintah

Yang kami hormati,

Para khatib, dai, ustadz, ustadzah, mubalig, tokoh agama, dan tokoh masyarakat rahimakumullah.

Dengan segala kerendahan hati, sungguh, Anda adalah panutan masyarakat. Ucapan dan perkataan Anda lebih didengar dan dituruti daripada ucapan selain Anda. Oleh karena itu, kami memohon supaya Anda ikut andil menjelaskan tentang pentingnya ketaatan kepada pemerintah (dalam perkara selain maksiat) dan larangan mencela pemerintah.

Demikian pula, hendaklah Anda mengingatkan dan membimbing kaum muslimin untuk senantiasa mendoakan kebaikan untuk pemerintah, serta menerangkan kepada umat bahwa hal tersebut adalah termasuk “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada pemerintah dan merupakan metode yang ditempuh para ulama salaf; seraya diiringi penjelasan tentang manfaat dan faedah-faedah mendoakan kebaikan untuk pemerintah.

Tak lupa kami mengingatkan kepada para khatib untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah di atas mimbar-mimbar pada hari Jumat. Seandainya tidak ada manfaat dari doa para khatib di atas mimbar selain sebagai bentuk pengajaran kepada para hadirin dan kaum muslimin, niscaya hal itu sudah cukup.

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

“Disunnahkan—bagi para khatib—untuk mendoakan kebaikan dunia dan akhirat bagi kaum muslimin. Demikian pula disunnahkan untuk mendoakan kebaikan untuk pemimpin kaum muslimin dan pemerintah mereka agar mendapatkan kebaikan dan taufik. Doa kebaikan untuk pemimpin dan pemerintah di dalam khutbah merupakan hal yang sudah dikenal kaum muslimin dan demikianlah yang senantiasa mereka amalkan.

Sebab, mendoakan pemerintah kaum muslimin dengan kebaikan dan taufik merupakan manhaj (metode) Ahlussunnah Wal Jamaah, sedangkan meninggalkannya merupakan manhaj (metode) ahli bid’ah (penyeru bid’ah).

Imam Ahmad pernah mengatakan, ‘Seandainya kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami gunakan untuk mendoakan kebaikan bagi sultan (pemimpin negara).’

Sungguh, sunnah (ajaran) ini telah ditinggalkan, sampai-sampai (sebagian) manusia merasa aneh ketika mendengar doa kebaikan untuk pemerintah. Bahkan, (sebagian orang) berprasangka buruk terhadap orang yang melakukannya (mendoakan kebaikan untuk pemerintahnya).” (al-Mulakhkhas al-Fiqhi 1/264)

Hukum Orang yang Enggan untuk Mendoakan Kebaikan bagi Pemerintah

Pertanyaan:

“Wahai Syaikh—semoga Allah menjaga Anda—, bagaimana dengan orang yang enggan untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah?”

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz menjawab:

“Hal ini (bisa terjadi) disebabkan kejahilan orang tersebut. Sebab, doa kebaikan untuk pemerintah merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling agung, ketaatan yang paling utama, dan termasuk ‘an-Nashiihah’ (ketulusan) kepada Allah dan para hamba.

Ketika dikatakan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sungguh, kabilah Daus telah bermaksiat dan kafir,” beliau justru berdoa,

اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ

“Ya Allah, berilah hidayah kepada kabilah Daus dan datangkanlah mereka.”

Kemudian, Allah memberikan hidayah kepada kabilah Daus dan mereka mendatangi Nabi dalam keadaan telah masuk Islam.

Seorang mukmin sudah sepantasnya (bersemangat) mendoakan kebaikan untuk (umat) manusia. (Jika demikian), tentu sultan (pemimpin) adalah pihak yang paling berhak untuk didoakan kebaikan. Sebab, apabila pemimpin baik, akan baik pula umat. Oleh karena itu, doa kebaikan untuk pemimpin adalah doa yang paling penting.

Di antara kandungan ‘an-Nush/an-Nashiihah’ (ketulusan kepada pemerintah) yang paling penting adalah mendoakan supaya pemerintah diberi taufik untuk berada di atas kebenaran, diberi pertolongan, Allah memilihkan penasihat (pendamping) yang baik bagi pemimpin, dan Allah melindungi pemimpin dari efek negatif kejelekannya sendiri dan keburukan teman duduknya.

Maka dari itu, doa kebaikan untuk pemerintah supaya diberi taufik dan hidayah, dibimbing kalbu dan amalannya, dipilihkan penasihat (pendamping) yang baik; termasuk hal yang sangat penting, dan merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling afdal.

Sungguh, telah diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa beliau berkata, “Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki satu saja doa yang (pasti) dikabulkan, pasti akan aku gunakan untuk mendoakan kebaikan bagi sultan (pemimpin).”

Ucapan yang semakna juga diriwayatkan dari al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 8/209)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Mari kita memperbanyak doa untuk kebaikan para pemimpin dan pemerintah di kebanyakan waktu kita. Terkhusus pada waktu-waktu mustajabah, seperti sepertiga malam terakhir, ketika seorang berpuasa sampai dia berbuka, pada malam Lailatulqadar, antara azan dan iqamah, pada suatu waktu di hari Jumat, dll. Mari kita memulai dari diri kita sendiri, kemudian keluarga kita, lalu kita sampaikan ilmu ini kepada kerabat dan teman-teman kita, dst.

Apabila seluruh kaum muslimin membiasakan diri mengamalkan salah satu ibadah yang paling agung ini, yaitu mendoakan kebaikan untuk pemerintah di waktu-waktu mereka; insya Allah akan tercapai maslahat dan manfaat yang besar.

Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk berpegang teguh dengan ajaran agama Islam.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ismail Arif