Merasa Cukup dan Bersyukur Atas Nikmat Meskipun Kekurangan

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

UNDUH PDF KHUTBAH IDUL ADHA 1443H/2022M

 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ ونَسْتَعِينُهُ ونَسْتَغْفِرُهُ، ونَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، ومَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وأَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى:يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ. أَمَّا بَعْدُ:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Kaum muslimin, rahimakumullah ….

Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah melimpahkan nikmat-nikmat-Nya kepada kita.

Shalawat dan salam, senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam; kepada keluarga beliau, para Sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Kami berwasiat kepada diri kami pribadi dan seluruh kaum muslimin, untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Kaum muslimin, rahimakumullah ….

Apabila salah seorang di antara kita ditanya,

“Apakah Anda menginginkan kehidupan yang baik?”

Insyaallah jawaban masing-masing kita adalah,

“Tentu saja. Semua orang mestinya menginginkan kehidupan yang baik dan bahagia.”

Namun, marilah kita merenung sejenak. Apakah sebenarnya kehidupan yang baik itu? Bagaimanakah sebenarnya kebahagiaan yang hakiki itu? Apakah dengan melimpahnya harta, seseorang pasti bahagia? Atau dengan banyaknya pendapatan, seseorang disebut memiliki kehidupan yang baik?

Dalam surah An-Nahl ayat 97, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٌ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ  

“Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, Kami pasti berikan ‘hayaatan thayyibah’ (yaitu kehidupan yang baik). Dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada yang mereka kerjakan.”

Di dalam kitab Tafsiir Al-Quran Al-’Azhiim, atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Abbas radhiallahu anhum menafsirkan حَيَوٰةً طَيِّبَةً (hayaatan thayyibah, yakni kehidupan yang baik) maksudnya adalah الْقَنَاعَة (al-Qana’ah), yaitu merasa cukup dan ridha dengan nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepadanya.

Imam Suyuti rahimahullah menjelaskan bahwa makna Qana’ah adalah,

اَلرِّضَا بِمَا دُوْنَ الْكِفَايَةِ، وَتَرْكُ التَشَوُّفِ إِلَى الْمَفْقُوْدِ، وَالْاِسْتِغْنَاءُ بِالْمَوْجُوْد

“(Qana’ah adalah) ridha dengan (nikmat yang ada meskipun) kekurangan, dan tidak (terlalu) memikirkan (nikmat) yang tidak ada di tangannya, serta merasa cukup dengan (nikmat) yang saat ini ada padanya.”

Baca juga: Merasa Cukup

Oleh karena itu, mari kita bersama-sama memupuk sifat Qana’ah kita masing-masing, dengan senantiasa ridha dan ikhlas ketika kita dalam keadaan kekurangan.

Hendaknya kita tidak terlalu kecewa dan mengeluh atas nikmat yang pernah singgah lalu pergi dari kita. Hendaknya kita tidak terlalu memikirkan dan berangan-angan untuk mendapatkan nikmat yang belum kita dapatkan, apalagi sampai merasa iri atau dengki kepada orang lain yang nikmatnya di atas kita. Demikian pula hendaknya kita selalu merasa cukup dan bersyukur atas semua nikmat yang ada pada kita.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Kaum muslimin, rahimakumullah ….

Sungguh, jika kita melihat keadaan kebanyakan manusia saat ini, kita akan mendapati bahwa sifat atau perangai Qana’ah (yakni merasa cukup dan ridha dengan nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepadanya), adalah sifat atau perangai yang mulai pudar.

Pada zaman ini, kita selalu disuguhi oleh media elektronik, media internet, dan media sosial; orang-orang berlomba-lomba dalam hal memamerkan harta dan kekayaannya. Terkadang atau sering, yang demikian itu membuat kita kurang bersyukur atas nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala anugerahkan kepada kita. Sedikit demi sedikit, dikhawatirkan Qana’ah yang ada pada kita semakin luntur.

Akhirnya, yang ada adalah perasaan yang selalu kurang, kurang, dan kurang lagi. Inginnya lebih, lebih, dan lebih lagi. Akibatnya, kita meremehkan dan menganggap kecil nikmat yang ada pada kita. Kita memandang dan merasa sedikit atas karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang ada di tangan kita.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan yang hakiki, bukanlah diukur dengan banyaknya harta. Akan tetapi, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan yang ada di dalam hati.”

Baca juga: Kekayaan dan Kemiskinan yang Hakiki

Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan bimbingan kepada umatnya, bahwa tolok ukur dan patokan kebahagiaan seorang hamba, bukanlah dengan banyaknya harta. Namun, kekayaan yang hakiki dan kebahagiaan yang sejati adalah kekayaan dan kebahagiaan yang ada di dalam kalbu seorang mukmin. Yakni, dengan selalu bersyukur dan Qana’ah atas segala nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang ada pada kita.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

Kaum muslimin, rahimakumullah ….

Di antara ikhtiar yang dapat kita lakukan untuk bisa Qana’ah adalah dengan selalu melihat ke bawah, kepada orang-orang yang nikmat duniawinya di bawah kita; dan tidak melihat ke atas, kepada orang-orang yang nikmat duniawinya di atas kita.

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُم؛ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian (dalam masalah dunia, -pent.) dan jangan melihat orang yang di atas kalian. Hal ini akan lebih mendorong kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah yang ada pada kalian.”

Ketika menjelaskan hadits di atas, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata,

“Tidak ada seorang fakir/miskin pun kecuali pasti ada yang lebih fakir/miskin daripada dirinya. Tidak ada seorang yang menderita suatu penyakit, kecuali pasti ada orang lain yang sakitnya lebih parah daripada dirinya. Tidak ada orang yang memiliki sebuah kedudukan, kecuali pasti ada orang yang lebih rendah kedudukannya daripada dirinya. Demikianlah seterusnya.

Oleh karena itu, ketika seseorang melihat orang lain yang (nikmat duniawinya lebih rendah) daripada dirinya, dia akan menyadari besarnya nikmat Allah yang ada padanya sehingga dia mensyukurinya. Melihat orang yang di bawah ini berlaku dalam urusan duniawi.”

Baca juga: Kewajiban Mensyukuri Nikmat

Sungguh, apabila seorang muslim memiliki sifat Qana’ah dengan merasa cukup dan ridha dengan nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepadanya; dia akan menjadi salah satu hamba Allah yang paling berbahagia dan beruntung.

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh amat beruntunglah, seorang yang telah memeluk agama Islam dan diberi rezeki yang cukup serta Qana’ah terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya.”

Jika kita mencermati hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan bahwa di antara tanda keberuntungan adalah harta yang banyak lagi melimpah. Namun, beliau menyebutkan وَرُزِقَ كَفَافًا (wa ruziqa kafaafan), yakni rezeki yang cukup. Kemudian, yang terpenting adalah Allah memberikan kepadanya taufik untuk Qana’ah dengan merasa cukup dan ridha atas nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepadanya.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersyukur atas setiap nikmat-Nya.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ

Kaum muslimin, rahimakumullah ….

Di akhir khutbah ini, kami wasiatkan secara khusus kepada kaum wanita, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menasihatkannya pada khutbah Id. Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, Sahabat Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa ketika khutbah shalat Id, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah! Sungguh, aku diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka.”

Mereka bertanya, “Apa sebabnya, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Karena kalian suka mencela (tidak bisa menjaga lisan) dan mengingkari kebaikan suami.”

Oleh karena itu, hendaknya para wanita memperhatikan nasihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini. Hendaknya para wanita selalu meningkatkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla, menjaga hak suaminya, dan menjaga lisannya. Sungguh, apabila seorang wanita bertakwa, menjaga hak suaminya, dan menjaga lisannya; Allah subhanahu wa ta’ala akan memasukkannya ke dalam surga-Nya.

Demikian pula, dalam nasihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang disampaikan dalam khutbah Id tersebut, beliau shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada para wanita untuk bersedekah.

Baca juga: Bersedekahlah

Dalam riwayat Imam al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah Id, beliau pulang. Sesampainya beliau di tempat tinggalnya, datanglah Zainab radhiallahu anha—istri Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu—meminta izin.

Kemudian, dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab.”

Beliau pun bertanya, “Zainab siapa?”

Dikatakan, “Zainab istri Ibnu Mas’ud.”

Beliau berkata, “Oh ya, persilakanlah dia.”

Setelah diizinkan, Zainab radhiallahu anha bertanya, “Wahai Nabi Allah, sungguh Anda hari ini sudah memerintahkan sedekah, sedangkan aku memiliki emas yang aku berkehendak menyedekahkannya. Namun, Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berpendapat bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini.”

Kemudian, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

“Ibnu Mas’ud telah benar. Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak untuk engkau berikan sedekah kepadanya.”

Baca juga: Istri Salihah, Keutamaan dan Sifat-sifatnya

Dalam kitab Subulus Salam, ketika menjelaskan hadits di atas, Imam ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan,

فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى مَنْ كَانَ أَقْرَبَ مِنْ الْمُتَصَدِّقِ أَفْضَلُ وَأَوْلَى

“Dalam hadits tersebut, terdapat dalil bahwa sedekah kepada kerabat (yakni kerabat dari orang yang bersedekah) adalah lebih afdal dan lebih utama.”

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk senantiasa memperbaiki keikhlasan dan ibadah kita. Amin.

Wallahu A’lam.

 

قَالَ اللَهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ:: إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا.

اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِه وَأَصْحَابِه أَجْمَعِيْنَ.

اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَات، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.

اللهم تَقَبَّلْ صِيَامَنَا وَقِيَامَنَا.

اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

اللهم أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا… اللهم أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا… اللهم أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا…

Ya Allah, berkahilah negeri kami dan pemerintah negeri kami. Mudahkanlah urusan-urusan negeri kami dan pemerintah negeri kami. Liputilah negeri kami dengan segenap rahmat-Mu, Ya Allah…

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ