Syarat Diterimanya Amal

syarat diterimanya Amal

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Seorang muslim yang baik, tentu akan bersemangat memperbanyak ibadah dan amal saleh, terkhusus pada bulan Ramadhan ini. Namun, penting untuk diingatkan dan diulang kembali, ada hal lain yang sangat penting untuk juga diperhatikan, yaitu ibadah yang dilakukan haruslah memenuhi syarat diterimanya amal.

Amal yang Banyak atau Amal yang Diterima?

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Tidak diragukan lagi bahwa jawaban dari pertanyaan di atas adalah, “Amal yang banyak sekaligus diterima.” Memang, permasalahan banyaknya amalan dan diterimanya amalan, sejatinya adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. Namun, maksud dari pembahasan ini adalah, hendaklah yang menjadi prioritas kita bukanlah semata-mata seberapa banyak ibadah yang bisa kita kerjakan. Namun, hendaklah yang kita selalu prioritaskan adalah bagaimana supaya ibadah kita diterima oleh Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

أَنَّ الْفَضْلَ بِنَفْسِ الْعَمَلِ وَجَوْدَتِهِ لَا بِقَدْرِهِ وَكَثْرَتِهِ

“Sesungguhnya keutamaan suatu amalan terletak pada kualitas amalan itu sendiri, bukan hanya kadar dan jumlahnya (banyaknya).” (Majmu’ al-Fatawa 4/378)

Oleh karena itu, selain kita selalu berupaya dan bersungguh-sungguh meningkatkan kuantitas dan banyaknya ibadah kita, kita juga wajib untuk senantiasa memperhatikan dan memperbaiki kualitas ibadah yang kita kerjakan.

Syarat Diterimanya Amal Seorang Muslim: Ikhlas dan Mutaba’ah (Mencocoki Tuntunan Rasulullah)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan makna ayat di atas,

أَيْ: أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ

“Yang dimaksud ‘siapa di antara kalian yang terbaik amalnya (ahsanu ‘amalan)’ adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar.

قِيلَ: يَا أَبَا عَلِيٍّ، وَمَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ؟

Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Abu Ali (yakni al-Fudhail), bagaimana penjelasan tentang amalan yang paling ikhlas dan paling benar?”

قَالَ: إِنَّ الْعَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصاً وَلَمْ يَكُنْ صَوَاباً لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ صَوَاباً وَلَمْ يَكُنْ خَالِصاً لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًاً صَوَاباً، وَالْخَالِصُ مَا كَانِ لِلهِ، وَالصَّوَابُ مَا كَانَ عَلَى السُّنَّةِ

Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjawab,

“Sungguh, apabila suatu amalan sudah dikerjakan dengan ikhlas, tetapi tidak dilakukan dengan tata cara yang benar; tidak akan diterima (oleh Allah). Sebaliknya, apabila suatu amalan sudah dikerjakan dengan tata cara yang benar, tetapi tidak ikhlas; juga tidak akan diterima (oleh Allah). Amalan tersebut akan senantiasa tertolak sampai benar-benar dikerjakan dengan ikhlas dan dilakukan dengan tata cara yang benar.

Adapun makna ikhlas adalah amalan tersebut hanya dipersembahkan untuk Allah semata, sedangkan makna amalan dikerjakan dengan tata cara yang benar adalah amalan tersebut dilakukan dengan tata cara yang sesuai Sunnah (ajaran yang dicontohkan dan dibimbingkan oleh Rasulullah).

(Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitab al-Ikhlas wa an-Niyyah hlm. 50—51 dan Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya` 8/95)

Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari penjelasan al-Fudhail bin ‘Iyadh di atas,

وَقَدْ دَلَّ عَلَى هَذَا الَّذِي قَالَهُ الْفُضَيْلُ قَوْلُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Sungguh, penjelasan al-Fudhail di atas telah ditunjukkan oleh firman Allah azza wa jalla,

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya (dalam keadaan diridhai Allah), hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110)

Setelah membawakan penjelasan al-Fudhail di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,

وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا تَحْقِيقُ الشَّهَادَتَيْنِ اللَّتَيْنِ هُمَا رَأْسُ الْإِسْلَامِ

“Dua fondasi ini (ikhlas dan mutaba’ah) adalah realisasi yang sebenar-benarnya dari penerapan syahadatain (dua kalimat syahadat) yang mana keduanya adalah inti dari agama Islam.” (Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim 23/29)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Dalam ayat di atas (dan ayat-ayatnya yang lain) Allah subhanahu wa ta’ala tidak berfirman أَكْثَرُعَمَلًا (yang terbanyak amalannya). Namun, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman أَحْسَنُ عَمَلًا (yang terbaik amalannya). Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kualitas amal dari sisi keikhlasan dan kesesuaiannya dengan syariat, walaupun amalan tersebut sedikit. (Lihat Syuruth Qabul al-Ibadah Syaikh Ibn Baz)

Baca juga:

Akankah Amalku Diterima

Amalan yang Paling Baik

Syarat Pertama: Ikhlas

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan peribadahan dalam beragama hanya kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (Ghafir: 14)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَاْبتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan, kecuali (amalan) yang ikhlas dan mengharapkan wajah Allah semata.” (HR. an-Nasai no. 3140 dari sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasai no. 3140)

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits lainnya, yang menjadi dalil tentang wajibnya ikhlas dalam beribadah kepada Allah.

Baca juga:

Ikhlas

Ikhlas untuk Allah dalam Bertugas

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Begitu penting keikhlasan dalam beribadah. Bahkan, ketika suatu amalan tidak didasari keikhlasan, justru akan menjadi petaka.

Oleh karena itu, kita wajib untuk senantiasa menjaga dan mengoreksi niat-niat kita ketika akan, sedang, dan telah melakukan suatu ibadah. Apabila datang perasaan ingin dipuji, riya (ingin amalannya dilihat manusia), sum’ah (ingin amalannya didengar manusia), cinta kedudukan, dll.; waspadalah! Segera tampik dan lawan! Mintalah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bersemangatlah untuk terus mengobati kalbu Anda. Jangan berhenti.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan,

أَمْرُ النِّيَّةِ شَدِيدٌ

“Perkara niat ini sungguhlah berat.” (Disebutkan oleh Ibnu Muflih dalam al-Furu’ 2/339)

Baca juga:

Arti Sebuah Niat

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan,

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي، لِأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ

“Tidaklah aku mengobati sesuatu pun yang lebih berat kurasakan daripada mengobati niatku. Sebab, niat itu berbolak-balik atasku.” (Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ no. 697)

Yusuf bin Asbath rahimahullah mengatakan,

تَخْلِيصُ النِّيَّةِ مِنْ فَسَادِهَا أَشَدُّ عَلَى الْعَامِلِينَ مِنْ طُولِ الْاِجْتِهَادِ

“Di sisi orang-orang yang rajin beramal, mengikhlaskan niat dari hal-hal yang bisa merusaknya, jauh lebih berat daripada harus beribadah dalam waktu yang panjang.” (Diriwayatkan oleh Abu Bakr ad-Dinawariy al-Maliki dalam al-Mujalasah wa Jawahir al-‘Ilm 5/128)

Yusuf bin al-Husain rahimahullah mengatakan,

أَعَزُّ شَيْءٍ فِي الدُّنْيَا الْإِخْلَاصُ، وَكَمْ أَجْتَهِدُ فِي إِسْقَاطِ الرِّيَاءِ عَنْ قَلْبِي وَكَأَنَّهُ يَنْبُتُ فِيهِ عَلَى لَوْنٍ آخَرَ

“Perkara yang paling berat di dunia adalah ikhlas. Sungguh, betapa sering aku bersusah payah mengobati riya yang ada di dalam kalbuku, tiba-tiba riya itu muncul lagi dalam bentuk yang lain.” (Diriwayatkan oleh Abdul Karim al-Qusyairiy dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah hlm. 362)

Syarat Kedua: Mutaba’ah (Mencocoki Sunnah dan Tuntunan Rasulullah)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (yakni Nabi Muhammad); niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak memerintahkannya, maka hal itu tertolak.” (HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dari sahabiyah ‘Aisyah radhiallahu anha. Lafaz hadits di atas adalah lafaz Imam Muslim.)

Dalam lafaz riwayat Imam Muslim yang lain,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits lainnya, yang menjadi dalil tentang wajibnya mutaba’ah dalam beribadah kepada Allah.

Baca juga:

Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi

Mengagungkan Sunnah Buah Nyata Akidah yang Benar

Ittiba’, Kewajiban Mengikuti As-Sunnah

Meneladani Akhlak Nabi

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Begitu penting mutaba’ah dalam beribadah. Bahkan, ketika suatu amalan tidak ada contoh dan bimbingannya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau tata caranya tidak sesuai dengan tuntunan dan teladan dari beliau, maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah. Oleh karena itu, kita wajib mendasari setiap amal dan ibadah kita dengan ilmu dan dalil. Apakah ada tuntunannya? Apakah ada dalilnya?

Berhati-hatilah dengan perkara bid’ah dalam agama, yaitu suatu metode dalam beragama yang diada-adakan, yang menandingi syariat, tujuan melakukan metode itu adalah berlebihan dalam ta’abbud (beribadah, mendekatkan diri) kepada Allah. (Lihat al-I’tisham karya Imam asy-Syathibi 1/11).

Baca juga:

Perkara Baru dalam Sorotan Syariah

Mengenal Bid’ah

Keburukan Bid’ah

Dalam al-Mushannaf (3/25) Imam Abdurrazzaq ash-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan kisah dari seorang tabiin, Sa’id bin al-Musayyab. Suatu ketika, Sa’id bin al-Musayyab melihat seseorang mengulang-ulang shalat setelah terbitnya fajar. Melihat hal itu, Sa’id pun melarangnya.

Orang itu pun berdalih, “Apakah Allah akan mengazabku karena shalat?”

Sa’id pun menjawab,

لاَ وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلاَفِ السُّنَّةِ

“Tidak. Namun, Allah akan mengazabmu karena engkau menyelisihi ajaran Nabi.”

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan,

“Penjelasan di atas menunjukkan bagusnya jawaban Sa’id bin Al Musayyab. Inilah senjata yang kuat untuk membantah pelaku bid’ah yang menganggap baik banyak perkara bid’ah. Mereka menyebut perkara bid’ah tersebut sebagai zikir dan shalat. Kemudian, mereka mengingkari Ahlussunnah yang tidak membolehkan hal itu.

Para pelaku bid’ah itu menuduh bahwa Ahlussunnah tidak membolehkan zikir dan shalat! Padahal sejatinya, Ahlussunnah hanyalah mengingkari mereka yang menyelisihi ajaran Nabi dalam hal zikir, shalat, dan yang lainnya.” (Irwa` al-Ghalil 2/236)

Baca juga:

Agama ini Telah Sempurna

Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah

Memuliakan Al-Qur’an Bukan dengan Menciumnya

Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma mengatakan,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap perkara bid’ah adalah sesat walaupun manusia menganggapnya sebagai perkara yang baik.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibanah no. 205. Atsar ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Talkhish Ahkam al-Janaiz hlm. 83)

Apabila Suatu Amal Ibadah Tidak Terpenuhi Syaratnya

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Suatu amalan yang tidak memenuhi salah satu dari dua syarat diterimanya ibadah, maka selama-lamanya tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

الْعَمَلُ بِغَيْرِ إِخْلَاصٍ وَلَا اقْتِدَاءٍ كَالْمُسَافِرِ يَمْلَأُ جَرَابَهُ رَمْلًا يُثْقِلُهُ وَلاَ يَنْفَعُهُ

“Orang yang beramal tanpa keikhlasan atau tidak mencontoh ajaran Nabi, seperti seorang musafir yang mengisi penuh tas bawaannya dengan batu. Itu hanya akan membebani/memberati perjalanannya, tanpa manfaat sedikit pun.” (al-Fawaid hlm. 49)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٍ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Dan Kami datangi segala amal yang mereka telah kerjakan (dahulu di dunia), lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)

Imam al-Baghawi menafsirkan,

Maksudnya, amalan yang sudah mereka kerjakan tersebut batal (tidak dianggap) dan sama sekali tidak mendapatkan pahala. Sebab, mereka tidak mempersembahkan amalannya (tidak ikhlas) hanya untuk Allah azza wa jalla.” (Ma’alim at-Tanzil 6/79)

Dalam pelajaran at-Ta’liq ‘ala Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (kaset rekaman no. 32 side A dan B), ketika membahas syarat diterimanya amal, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin melontarkan pertanyaan kepada hadirin,

هَلْ لَنَا أَنْ نَجْزِمَ أَنَّ مَا يَعْمَلُهُ أَهْلُ الْبِدَعِ مِمَّا لَيْسَ مَشْرُوعاً غَيْرُ مَقْبُولٍ؟

“Apakah kita boleh mengatakan dengan pasti bahwa amalan yang dilakukan oleh ahli bid’ah berupa amalan yang tidak disyariatkan (tidak ada tuntunannya dalam syariat) adalah amalan yang tidak diterima (oleh Allah)?”

Para hadirin menjawab, “Ya.”

نَعَمْ، لَنَا أَنْ نَجْزِمَ، حَتَّى بِالتَّعْيِيْنِ، حَتَّى لَوْ رَأَيْنَا شَخْصًا يَقُومُ بِالْبِدَعِ بِعَيْنِهِ، نَقُولُ: عَمَلُكَ هَذَا غَيْرُ مَقْبُولٍ.

طَيِّبٌ، فَإِذَا قَدَّرْنَا أَنَّ هَذَا جَاهِلٌ، وَالْجَاهِلُ لَا يَأْثَمُ، فَهَلْ نَقُولُ: إِنَّ عَمَلَهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ؟ نَعَمْ، نَقُولُ: عَمَلُهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ، وَإِنْ كَانَ قَدْ يُؤْجَرُ عَلَى حُسْنِ نِيَّتِهِ وَعَلَى تَعَبِهِ، لَكِنْ لُا يُقْبَلُ عَلَى أَنَّهُ عَمَلٌ صَالِحٌ. نَعَمْ.

Syaikh mengatakan,

“Ya, benar (yakni kita boleh memastikan bahwa amalan tersebut tidak akan diterima oleh Allah). Bahkan, kita boleh mentakyin (menegaskan bahwa amalan orang tersebut jelas tidak diterima oleh Allah). Lebih dari itu, jika kita mengetahui seorang yang mengerjakan amalan bid’ah dengan jelas, kita katakan kepadanya, ‘Amalanmu ini tidak akan diterima (oleh Allah).’

Seandainya kita menganggap bahwa orang tersebut jahil (belum mengetahui bahwa amalannya adalah bid’ah), sedangkan orang yang jahil tentu tidak berdosa; apakah kita tetap bisa menghukumi bahwa amalannya tidak diterima (oleh Allah)?

Jawabnya adalah, ‘Ya.’ Kita katakan bahwa amalannya (tetap) tidak diterima (oleh Allah). Walaupun bisa jadi orang yang jahil tersebut diberi pahala karena niatnya yang baik dan keletihan dia ketika beramal. Namun, amalannya tetap tidak bisa dihukumi sebagai amal saleh.”

Nasihat untuk Menuntut Ilmu Agama

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Jika kita sudah memahami pembahasan di atas, kita akan memahami betapa pentingnya bersungguh-sungguh mempelajari ilmu agama. Dengan belajar, kita akan bisa mengetahui bagaimana cara untuk bisa ikhlas sehingga kita bisa mengupayakannya dan apa saja hal-hal yang dapat merusak keikhlasan sehingga kita bisa mewaspadainya. Demikian pula kita dapat mengilmui bagaimana tata cara ibadah sesuai tuntunan dan contoh dari Rasulullah.

Baca juga:

Sahur dan Berbuka

Adab-adab Berpuasa

Doa Berbuka Puasa

Orang-orang Yang Tidak Wajib Berpuasa

Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan

Puasa Ramadhan Bersama Penguasa, Syiar Kebersamaan Umat Islam

Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan

Oleh karena itu, dalam mengisi bulan Ramadhan ini dengan berbagai macam ibadah, hendaknya kita juga bertanya kepada diri kita sendiri,

“Apakah puasaku sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah?”

“Apakah wudhuku sudah benar?”

“Apakah shalatku sudah sesuai dengan tata cara yang dicontohkan oleh Rasulullah?”

“Bagaimana dengan amalan-amalanku yang lain? Mandi janabah, sahur, berbuka puasa, zikir, doa, shalat tarawih, tilawah Al-Qur’an, zakat, dll.; apakah yang selama ini aku lakukan, sudah benar dan sesuai tuntunan Rasulullah?”

Hanya diri kita sendiri yang bisa menjawab pertanyaan di atas. Belajar, belajar, dan terus belajar. Dengan bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama, insya Allah, Allah akan memberikan kita kemudahan untuk bisa beramal dengan ikhlas dan sesuai sunnah.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita supaya bisa beribadah di atas keikhlasan dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ismail Arif