Arti Sebuah Niat

arti sebuah niat

Fungsi niat dalam ibadah sangatlah penting. Karena itu, setiap muslim harus senantiasa memperbaiki niat dalam ibadahnya, yaitu ikhlas untuk Allah semata.

 

Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

‘Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi, hijrahnya itu menuju apa yang dia niatkan’.”

Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam beberapa tempat di kitab Shahih-nya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953) dan Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 1908).

Penjelasan Sanad Hadits

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata tentang hadits ini,

“Yahya bin Sa’id al-Anshari bersendiri meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi, dari Alqamah bin Waqqash al-Laitsi, dari Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu. Tidak ada jalan lain yang sahih dari hadits ini kecuali jalan ini. Demikian yang dikatakan oleh Ali bin al-Madini dan selainnya.”

Al-Khaththabi rahimahullah berkata,

“Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ahli hadits dalam hal ini. Hadits ini juga diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri dan selainnya.” Dikatakan pula, “Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak, tetapi tidak ada satu pun yang sahih dari jalan-jalan tersebut menurut para huffazh (para penghafal hadits).”

Setelah Yahya bin Sa’id al-Anshari, banyak sekali perawi yang meriwayatkan darinya. Sampai dikatakan, lebih dari 200 perawi telah meriwayatkan dari Yahya al-Anshari. Bahkan, ada yang mengatakan jumlahnya mencapai 700 rawi. Yang terkenal di antaranya ialah Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnul Mubarak, al-Laits bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, Syu’bah, dan Ibnu Uyainah.

Ulama bersepakat menilai hadits ini sahih dan menerimanya dengan baik dan mantap. Imam al-Bukhari membuka kitab Shahih-nya dengan hadits ini dan menempatkannya layaknya mukadimah bagi kitab beliau. Hal ini menjadi isyarat bahwasanya setiap amalan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala, maka amalan itu batil; tidak akan memperoleh hasil di dunia, terlebih lagi di akhirat.

Karena itulah, Abdurrahman bin Mahdi berkata,

“Seandainya aku membuat bab-bab dalam sebuah kitab, niscaya pada setiap bab aku menempatkan hadits Umar tentang amalan itu dengan niatnya.”

Beliau juga mengatakan, “Siapa yang ingin menulis sebuah kitab, hendaklah ia memulai dengan hadits

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

(Jam’iul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, hlm. 59—60, Muassasah ar-Risalah, cet. ke-4, th. 1413 H/1993 M)

Selain diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, hadits ini juga diriwayatkan oleh para imam yang lain. Komentar tentang hadits ini kami cukupkan dengan menukil ucapan Ibnu Rajab al-Hambali di atas.

Penjelasan Hadits

Dari hadits di atas kita memahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan dari amalan yang dilakukan sesuai dengan niatnya.

Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah berkata,

“Setiap amalan yang dilakukan seseorang, baik berupa kebaikan maupun kejelekan, tergantung pada niatnya. Apabila perbuatan tersebut ia lakukan untuk niatan yang baik, ia akan mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, apabila maksudnya jelek, ia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”

Beliau juga mengatakan, “Hadits ini mencakup seluruh amalan. Maksudnya, setiap amalan harus disertai niat. Niat inilah yang membedakan antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan pahala di negeri akhirat, dan orang yang beramal karena ingin dunia, baik berupa harta, kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan, dan selainnya.” (Makarimul Akhlaq, hlm. 26 dan 27)

Di sini kita bisa melihat arti pentingnya niat sebagai roh amal, inti, dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Sebaliknya, amal menjadi rusak karena niat yang rusak.

Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna, “Barang siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukannya, hendaklah ia memperbaiki niatnya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala memberi pahala kepada seorang hamba apabila baik niatnya, sampaipun satu suapan yang dia berikan (akan diberi pahala).”

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,

“Betapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat. Sebaliknya, betapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 71)

Perlu diketahui, suatu perkara yang sifatnya mubah, pelakunya bisa diberi pahala karena niat yang baik. Misalnya, orang yang makan dan minum. Jika ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan agar bisa menegakkan ibadah kepada-Nya, ia akan diberi pahala.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Hal mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin (yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Allah) bisa berubah menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya) karena niat.” (Madarijus Salikin, 1/107)

Ketika menjelaskan hadits,

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.”

An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (7/92) menyatakan,

“Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya hal-hal mubah bisa menjadi amalan ketaatan dengan niat yang baik. Jimak (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah, apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yang saleh, menjaga kehormatan dirinya dan istrinya, mencegah keduanya dari melihat perkara yang haram, memikirkan hal haram, atau berkeinginan melakukan perkara haram, serta tujuan-tujuan tidak baik lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 3/44)

Meluruskan Niat

Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niat dan meluruskannya. Dengan demikian, apa yang dia lakukan berbuah kebaikan. Memperbaiki niat perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan mencurahkan segala daya upaya).

Sedemikian sulitnya meluruskan niat ini, sampai-sampai Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Bagiku, tidak ada sesuatu yang paling berat aku obati daripada meluruskan niatku. Sebab, niat pada diriku berubah-ubah.” (Hilyatul Auliya, 7/5 dan 62)

Niat harus ditujukan semata untuk Allah subhanahu wa ta’ala, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat, ia tertolak. Demikian pula apabila ibadah itu tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang ikhlas dalam ibadah ini,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (al-Bayyinah: 5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu‘ Fatawa (10/49),

“Mengikhlaskan agama untuk Allah subhanahu wa ta’ala adalah pokok ajaran agama ini, yang Allah tidak menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus rasul yang pertama sampai rasul yang terakhir. Karena hal ini pula, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam ahli iman. Ia merupakan inti dakwah para nabi dan poros Al-Qur’an.”

Yang perlu diingat bahwasanya tempat niat adalah di hati sehingga tidak boleh dilafazkan dengan lisan. Melafazkan niat termasuk perbuatan bid’ah.

Pelajaran dari Hadits Ini

  1.  Niat itu termasuk bagian dari keimanan karena niat termasuk amalan hati.
  2.  Seorang muslim wajib mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukannya, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunah. Sebab, hadits ini menunjukkan bahwa amalan bisa tertolak apabila luput darinya niat yang disyariatkan.
  3.  Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus ditakyin (ditentukan). Maksudnya, apabila seseorang ingin shalat, ia harus menentukan dalam niatnya shalat yang akan ia kerjakan, apakah shalat sunnah atau shalat wajib, Zuhur atau Ashar, dst. Apabila ingin berpuasa, ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha, atau yang lainnya.
  4.  Amal tergantung pada niat, termasuk dalam hal sah-tidaknya, sempurna-tidaknya, taat-maksiatnya.
  5.  Seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Namun, perlu diingat, niat yang baik tidaklah mengubah perkara mungkar (kejelekan) menjadi makruf (kebaikan). Niat juga tidak bisa mengubah yang bid’ah menjadi sunnah.
  6.  Wajibnya berhati-hati dari riya, sum‘ah (beramal karena ingin didengar orang lain), dan tujuan dunia lainnya, karena perkara tersebut merusakkan ibadah kepada Allah subahanahu wa ta’ala.
  7.  Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah apabila diniatkan karena Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim