Nasihat untuk Semua Pihak yang Menyertai Tenaga Kesehatan

semua pihak yang menyertai tenaga medis

Artikel ini adalah seri kelima dari tulisan yang dibagi menjadi beberapa seri. Bagi yang belum membaca seri 1, 2, 3, dan 4, mohon berkenan membaca tautan berikut:

Seri 1: Tidak Ada yang Sia-Sia di Sisi Allah

Seri 2: Ikhlas untuk Allah dalam Bertugas

Seri 3: Pahala Besar Menanti Anda

Seri 4 Agar Kesedihan Berbuah Keutamaan

Saudaraku, segenap tenaga kesehatan yang sedang berjuang merawat masyarakat, rahimakumullah.

Saat menghadapi wabah penyakit, memang benar bahwa dokter, perawat, dan tim medis adalah yang terdepan. Namun, banyak pihak yang sebenarnya juga termasuk garda terdepan. Tanpa andil dan peran mereka, tim medis juga tidak akan maksimal dalam merawat pasien. Sepintar dan setinggi apa pun ilmu kesehatan dan kedokteran seseorang, tidak akan bisa bekerja sendiri tanpa bantuan siapa pun.

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada yang tidak penting. Semuanya ikut berkontribusi sesuai dengan kapasitas masing-masing. Seluruhnya bersatu padu, bahu-membahu dalam ta’awun (tolong-menolong, gotong royong) di atas kebaikan dan ketakwaan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)

Bagian gizi, konsumsi, laboratorium, farmasi, petugas kamar jenazah, keamanan, satpam, administrasi, juru bicara, humas, keuangan, cleaning service, office boy, juru parkir, teknisi, laundry, kebersihan, perlengkapan, kelistrikan, air, genset, sopir, transportasi, komunikasi, pembukuan, dll. (yang tidak bisa disebutkan satu per satu); semuanya adalah bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Apabila satu saja dari bagian tersebut tidak menjalankan tugasnya dengan amanah dan profesional, bisa mengacaukan semuanya. Tidak ada yang sepele dalam hal ini. Semua berperan penting.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala juga mencatat bagi mereka semua pahala yang berlipat dan ganjaran yang besar.

Saudaraku, segenap pihak yang terlibat membantu tenaga kesehatan, semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan kelancaran kepada Anda, apa pun tugas Anda.

Perhatikan dengan cermat dan saksama kisah berikut. Sahabat Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu anhu bercerita,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي أُبْدِعَ بِي فَاحْمِلْنِي. قَالَ: لَا أَجِدُ، وَلَكِنِ ائْتِ فُلَانًا، فَلَعَلَّهُ أَنْ يَحْمِلَكَ، فَأَتَاهُ فَحَمَلَهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ

Seorang lelaki mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam seraya berkata, “Tungganganku tidak bisa kunaiki (lagi). Oleh karena itu, berilah aku tumpangan!”

Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Aku tidak bisa memberimu tumpangan. Akan tetapi, cobalah kau datangi si Fulan! Barangkali dia bisa memberimu tumpangan.”

Orang tersebut melaksanakan saran beliau shallallahu alaihi wa sallam dan berhasil mendapatkan tumpangan. Kemudian, dia kembali mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam seraya mengabarkan bahwa dia telah mendapatkan tumpangan.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barang siapa menunjuki/menjadi perantara terwujudnya sebuah kebaikan, dia mendapat pahala seperti orang yang melakukan kebaikan tersebut.”

(HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 181 dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adab al-Mufrad 1/108)

Coba kita renungi kembali kisah dalam hadis tersebut! Baca dan ulangi lagi serta pahami sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barang siapa menunjuki/menjadi perantara terwujudnya sebuah kebaikan, dia mendapat pahala seperti orang yang melakukan kebaikan tersebut.”

Allahu akbar! Betapa luas karunia-Mu, ya Allah…. Subhanallah!

Oleh karena itu, apapun peran Anda dalam membantu para dokter dan perawat merawat pasien, jangan lupa ikhlaskan niat Anda! Sungguh, pahala berlipat dan keutamaan yang agung menanti Anda!

Profesional Menjalankan Tugas Masing-Masing

Saudaraku, apa pun amanat yang ada di pundak Anda, laksanakan dengan sebaik-baiknya. Walaupun peran Anda kecil, sungguh tidak ada yang kecil di sisi Allah jika dilakukan dengan ikhlas dan ihtisab (mengharap pahala-Nya). Tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk iri atau meri dengan tugas saudaranya yang lain.

“Enaknya tugasnya si fulan, cuma gitu-gitu.”

“Coba aku kerjaannya kayak si fulan. Cuma ringan.”

“Beruntungnya yang dapat tugas di sana. Fasilitasnya lebih lengkap.”

Saudaraku, kaum muslimin. Perhatikan kisah berikut. Rasulullah shallallahu alaihi wa salllam bersabda,

طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ أَشْعَثَ رَأْسُهُ مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ، إِنْ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ

“Sungguh, telah beruntung seorang hamba yang memegang tali kekang kudanya dalam jihad fi sabilillah. Rambut kepalanya kusut. Kakinya berbalut debu. Jika dia mendapat tugas untuk berjaga, dia terima tugas tersebut dan dia laksanakan dengan baik. Begitu pula jika ditugaskan di posisi pasukan paling belakang, dia pun menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila dia memohon izin, tidak diizinkan. Apabila meminta syafaat (sebagai perantara), tidak diterima (karena tidak terkenal).” (HR. al-Bukhari no. 2887 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Dari hadits di atas bisa diambil beberapa kesimpulan:

  1. “Rambut kepalanya kusut. Kakinya berbalut debu.

Artinya, dia tidak terlalu peduli dengan (kondisi) tubuhnya karena capai dan lelah (sesuai dengan kemampuan masing-masing), selama hal tersebut adalah akibat dari kesungguhannya dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Yang paling dia pedulikan adalah bagaimana dia bisa semaksimal mungkin beramal dan ikhlas untuk Allah.

  1. “Jika dia mendapat tugas untuk berjaga, dia terima tugas tersebut dan dia laksanakan. Begitu pula jika ditugaskan di posisi pasukan paling belakang, dia pun menjalankan tugasnya.”

Kita ketahui bersama, dalam jihad, orang yang memiliki tugas hirasah (berjaga) bukanlah termasuk muqaddamul jaisy (pasukan yang berada di depan). Jadi, tentu saja dia tidak terlalu tampak sebagaimana pasukan yang berada di lini depan.

Artinya, terkadang dia bertugas dalam keadaan tidak ada yang menyadarinya. Namun, hal ini tidak lantas membuatnya malas atau sedih. Dia tetap profesional, sebab yang dia harapkan adalah pahala dan ridha Allah.

  1. Dia tidak terlalu peduli mendapat jenis tugas apa atau pun ditempatkan di mana pun.

Yang dia pentingkan adalah bagaimana dia bisa amanah dan profesional menjalankan tugas tersebut.

  1. Dia tidak terkenal maupun dikenal oleh manusia.

Begitu pula, dia tidak terlalu peduli apakah dia terkenal atau tidak. Yang dia pentingkan adalah kecintaan Allah ‘azza wa jalla.

Rasullullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda,

إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

“Sungguh, Allah mencintai hamba-Nya yang bertakwa, al-ghaniy (merasa cukup dari manusia dan bersandar hanya kepada Allah), al-khafiy (tersembunyi dan tidak suka mengusahakan diri untuk terkenal).” (HR. Muslim no. 2965 dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu)

Apakah dari hadis tersebut dipahami bahwa sebaiknya kita melakukan uzlah (menyendiri) supaya termasuk hamba-Nya yang al-khafiy (tersembunyi)?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan, “Maksud hadis tersebut bukanlah, Menyendirilah (uzlah) dari manusia!? Namun, kita katakan kepadanya, ‘Janganlah engkau bersemangat untuk berusaha menampak-nampakkan dirimu agar terkenal!’”

(Lihat keseluruhan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam al-Qaul al-Mufid ‘Ala Kitab at-Tauhid [2/145—146] dan Fath Dzil Jalal Wal Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram hlm. 343)

Saudaraku, apa pun amanat dan tugas Anda, jalankah dengan profesional, ikhlas, dan amanah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberikan kemudahan dan kelancaran.

Berhati-Hati dan Teliti ketika Melaksanakan Tugas

Saudaraku, segenap tenaga kesehatan dan seluruh pihak yang sedang berjuang merawat masyarakat, semoga Allah membalas Anda dengan pahala yang berlipat-lipat.

Dalam menjalankan tugas, hendaklah kita berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

التَّأَنِّي مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Kehati-hatian adalah karunia dari Allah, sedangkan tergesa-gesa berasal dari setan.(HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 20270. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1795)

Sebanyak apa pun pasien dan sesulit apa pun kondisinya, kita tidak boleh tergesa-gesa hingga mungkin terlewatkan sebagian SOP dalam bertugas. Saudaraku, teliti dan cermatlah dalam menjalankan SOP tugas. Niatkan kehati-hatian Anda tersebut sebagai bentuk amanah dan ikhtiar. Sebab, SOP tugas dibuat sebenarnya untuk kemaslahatan diri Anda sendiri yang pertama, demikian pula untuk kemaslahatan semuanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberikan perlindungan.

Apabila pada suatu kondisi yang dalam SOP harus menggunakan APD, tetapi karena satu dan lain hal ternyata APD-nya tidak tersedia, atau tersedia tetapi tidak standar; janganlah Anda memaksakan diri untuk terjun. Mohon jangan terkalahkan dengan perasaan. Jangan sampai Anda memudaratkan diri sendiri dan orang lain walau niatnya baik. Tetaplah bertugas sesuai dengan SOP yang ada.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh berbuat sesuatu yang menimbulkan mudarat dan tidak boleh memudaratkan.” (HR. Ibnu Majah no. 2341 dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibn Majah no. 1910)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan perbedaan antara “dharar” dan “dhirar”.

  1. “Dharar” adalah kemudaratan yang terjadi tanpa niat.

  2. “Dhirar” adalah kemudaratan yang terjadi dengan niat (dalam keadaan mengetahui).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menafikan dan meniadakan keduanya (baik “dharar” ataupun “dhirar”). Keduanya tidak boleh. (Lihat Ta’liqat ‘Ala al-Arba’in an-Nawawiyyah hlm. 107)

Hati-Hati dari Perselisihan; Mudah Memberi dan Meminta Maaf

Saudaraku, segenap tenaga kesehatan dan seluruh pihak yang sedang berjuang merawat masyarakat, semoga Allah senantiasa memberikan perlindungan kepada Anda.

Dalam kondisi banyak pasien dan keadaan kacau, terkadang saudara kita melakukan kesalahan atau keteledoran. Hal yang manusiawi. Jangan lupa, hal tesebut juga sangat mungkin terjadi pada kita. Siapa manusia yang sempurna? Semua manusia pasti melakukan kesalahan dan sebaik-baik manusia yang terjatuh dalam kesalahan, adalah yang segera bertobat.

“Maaf, ya.” Jangan sampai lisan kita berat mengucapkan kalimat tersebut. Perhatikan kisah yang disampaikan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berikut ini.

Umar bin al-Khaththab menceritakan ketika putrinya, Hafshah binti Umar, menjanda karena meninggalnya Khunais bin Hudzafah as-Sahmi. Beliau termasuk sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ikut serta dalam Perang Badr dan wafat di Madinah.

Umar berkata, “Aku mendatangi Utsman bin Affan dan kutawarkan Hafshah kepadanya. Aku berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar.’”

Utsman hanya memberi jawaban, “Aku akan melihat perkaraku dulu (meminta waktu untuk berpikir, -pent.).”

Aku pun menunggu beberapa malam. Lalu Utsman menemuiku seraya berkata, “Tampaknya aku belum ingin menikah dalam waktu dekat ini.”

Umar berkata, “Kemudian aku menemui Abu Bakar dan kukatakan padanya, ‘Jika engkau menghendaki, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar.’”

Abu Bakar hanya terdiam dan tidak memberi jawaban sedikit pun kepadaku. (Waktu itu) kemarahanku kepada Abu Bakar lebih daripada kepada Utsman. Kemudian aku menunggu beberapa malam. Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meminang Hafshah. Aku pun menikahkannya dengan beliau.

Setelah itu, Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Sepertinya engkau marah kepadaku ketika engkau menawarkan Hafshah kepadaku dan aku tidak memberi jawaban sedikit pun.”

Aku menjawab, “Ya.”

Abu Bakar berkata, “Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk memberi jawaban kepadamu tawaranmu kepadaku, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering menyebut-nyebut Hafshah. Sementara itu, aku tidak mungkin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kalaulah beliau tidak jadi meminang Hafshah, tentu aku akan menerima tawaranmu.” (HR. al-Bukhari no. 4005)

Dari kisah di atas, ada beberapa faedah yang bisa dipetik:

  1. Sebagaimana kita ketahui, para sahabat Nabi adalah manusia yang paling mulia setelah para Nabi dan Rasul. Namun, di tengah-tengah mereka tetap terjadi kemarahan antara satu dengan yang lain.

Bahkan, dalam kisah di atas, hal tersebut terjadi pada tiga sahabat yang paling mulia: Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Ini membuktikan bahwa hal tersebut adalah manusiawi. Akan tetapi, cara mereka mengatasi permasalahan itulah yang membuat mereka semakin mulia dan harus kita teladani.

  1. Umar pernah marah kepada Utsman dan Abu Bakar.

Bayangkan, Umar bukanlah menawarkan sesuatu yang remeh. Beliau menawarkan putrinya, buah hatinya. Coba renungkan kalau kita sendiri yang menawarkan putri kita. Bagaimana rasanya kalau tawaran kita tidak diterima. Namun, bersamaan dengan marahnya Umar, beliau tetap tidak menampakkan kemarahannya.

  1. Pentingnya meminta uzur dan menyampaikan alasan kita kepada saudara kita.

Saudaraku, ketika kita melakukan sesuatu yang menurut kita menyinggung saudara kita (walaupun kedudukan saudara kita tersebut berada di bawah kita), hendaklah kita meminta maaf seraya menyampaikan uzur dan alasan kita. Jangan kita hanya diam. Pada akhir kisah di atas, Abu Bakar tetap menemui Umar untuk menyampaikan uzurnya, padahal kejadian sudah berlalu beberapa waktu.

  1. Yakinlah bahwa saudara kita memiliki uzur atau alasan yang kuat atas ucapan atau tindakannya.

Terkadang, karena alasan tertentu, saudara kita belum bisa menyampaikan uzurnya. Oleh karena itu, hendaknya kita memiliki sifat mudah memaafkan dan mudah memberi uzur. Pada kisah di atas, bisa kita bayangkan posisi Abu Bakar. Dalam keadaan beliau harus menjaga rahasia karena beliau tahu Rasulullah menyebut-nyebut Hafshah, tetapi di sisi yang lain beliau harus menjawab tawaran Umar.

Akhirnya, beliau memilih diam dan tidak mengucapkan satu ucapan pun. Beliau benar-benar menjaga lisannya. Subhanallah, Abu Bakar adalah sahabat yang sangat mulia.

  1. Walaupun terjadi apa yang terjadi pada para sahabat Nabi, mereka tetap menjaga ukhuwah dan persatuan, di atas sunnah Nabi.

Inilah yang patut kita teladani.

Saudaraku, segenap tenaga kesehatan dan seluruh pihak yang sedang berjuang merawat kaum masyarakat, hafizhakumullah (semoga Allah menjaga Anda semua).

Pada saat-saat seperti ini, dalam menghadapi COVID-19, sangat dibutuhkan kekompakan dan solidaritas. Oleh karena itu, hendaknya Anda berhati-hati dari sifat dan perangai yang bisa menyebabkan rusaknya ukhuwah. Di antaranya adalah mudah marah dan suuzan/berburuk sangka (tanpa bukti yang jelas).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يَمْضِيَهُ أَمْضَاهُ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa menahan amarahnya, niscaya Allah akan menutupi aurat (kesalahan)-nya. Barang siapa menahan amarahnya padahal ia mampu melampiaskannya, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memenuhi hatinya dengan rasa harap (kepada Allah) kelak di hari kiamat.” (Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, 2/575)

Dalam hadits di atas disebutkan “padahal ia mampu melampiaskannya” menunjukkan keutamaan yang besar bagi seseorang yang sebenarnya mampu untuk marah dan bisa melampiaskan amarahnya, tetapi dia memilih cinta dan ridha Allah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَغْضَبْ

“Janganlah engkau marah!” (HR. al-Bukhari no. 6116)

Berikut ini penjelasan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahulllah tentang sabda Nabi, “Janganlah engkau marah.”

Sebagian ulama menjelaskan bahwa maknanya ada dua:

  1. Latih dan biasakan diri Anda untuk senantiasa bersikap sabar dan pemaaf. Jangan menjadi orang yang mudah marah.

  2. Jika timbul perasaan marah dalam diri Anda, kendalikan diri, tahan ucapan dan perbuatan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang Anda akan sesali nantinya. Kekanglah diri agar jangan sampai berkata atau berbuat hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah.

(Lihat Bahjah Qulub al-Abrar wa Qurrah ‘Uyun al-Akhyar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar hlm. 299)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan,”Apabila engkau marah, kendalikan dirimu dan janganlah menuruti amarahmu dengan melampiaskannya.” (Lihat at-Ta’liqat al-Arba’in an-Nawawiyyah hlm. 49)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

“Hati-hatilah kalian dari prasangka karena prasangka adalah ucapan yang paling dusta.” (HR. al-Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seyogianya engkau menjauhi buruk sangka kepada temanmu. Hendaklah engkau menakwilkan perbuatannya kepada kemungkinan yang baik. Ketahuilah, buruk sangka akan menggiring untuk melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan orang), yang merupakan perbuatan terlarang. Sungguh, menutup aib dan tidak mencari-cari aib orang adalah salah satu ciri orang yang baik agamanya.” (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin 2/38)

Saudaraku, segenap tenaga kesehatan dan seluruh pihak yang sedang berjuang merawat kaum muslimin, semoga Allah membalas Anda dengan pahala yang berlipat-lipat.

Lupakanlah perselisihan dan permasalahan yang sifatnya pribadi. Saat ini yang kita butuhkan adalah kekompakan dan fokus menghadapi wabah COVID-19. Insya Allah, dengan pertolongan Allah semata, kemudian kerja sama yang baik dari Anda semua, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan jalan keluar.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala segera mengangkat wabah penyakit ini dan menggantinya dengan kesehatan dan kelapangan.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ismail Arif