Najiskah Tubuh Orang Kafir?

Pertanyaan:

Bismillah. Apakah orang kafir dianggap najis?

Jawaban:

Masalah orang kafir najis secara fisik atau tidak, termasuk masalah khilafiah di antara alim ulama.

Pendapat bahwa fisik orang kafir yang bernyawa dan mayatnya adalah najis merupakan mazhab sebagian fuqaha mazhab Zahiri, seperti Ibnu Hazm az-Zahiri dalam kitab al-Muhalla.

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

        يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28)

Maksudnya, fisik orang kafir adalah najis sehingga tidak boleh mendekati Masjidil Haram, apalagi memasukinya.

Ada pula yang berpendapat bahwa fisik orang kafir yang bernyawa adalah suci seperti kesucian fisik muslim.

Pendapat ini adalah mazhab jumhur (mayoritas) ulama, termasuk empat imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad).

Pendapat ini ditarjih oleh an-Nawawi, Ibnu Qudamah, as-Sa’di, asy-Syaukani, dan al-Utsaimin.

Dalilnya adalah,

  1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,

بَعَثَ النَّبِيُّ خَيْلاً قِبَلَ نَجْدٍ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ فَقَالَ: أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ !فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirim pasukan berkuda ke arah Najd. Kemudian, pasukan tersebut kembali dengan membawa seorang tawanan dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka lantas mengikatnya di salah satu tiang Masjid Nabawi.

Saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar menemuinya, beliau berkata, “Bebaskan Tsumamah!”

Lalu Tsumamah beranjak ke pohon kurma yang tidak jauh dari Masjid Nabawi, mandi, dan masuk masjid. Lantas, dia berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (Muttafaq alaih)

Di dalam hadits ini, para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengikat tubuh Tsumamah yang masih kafir di salah satu tiang masjid. Seandainya fisik orang kafir itu najis, tidak mungkin ia dimasukkan ke Masjid Nabawi yang suci.

  1. Allah subhanahu wa ta’ala membolehkan memakan sembelihan ahli kitab dan menikah dengan wanita mereka, sebagaimana pada surah al-Ma’idah ayat 5.

Tidak bisa dimungkiri bahwa ahli kitab menjamah sembelihan mereka. Demikian pula, muslim yang menikahi wanita ahli kitab akan menjamah tubuh istrinya. Sementara itu, tidak ada perintah untuk menyucikan diri dari najis akibat persentuhan itu.

  1. Nabi shallallahu alaihi wa sallam membolehkan penggunaan bejana-bejana makan/minum bekas orang kafir tanpa harus dicuci.

Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiallahu anhu,

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ فَنُصِيبُ مِنْ آنِيَةِ الْمُشْرِكِينَ وَأَسْقِيَتِهِمْ فَنَسْتَمْتِعُ بِهَا فَلَا يَعِيبُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ

“Adalah kami biasa berperang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian, kami berhasil merampas bejana-bejana dan wadah-wadah air dari kulit milik orang-orang musyrik. Lantas kami menggunakannya (untuk makan dan minum). Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mencela mereka karena hal itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani dan al-Wadi’i)[1]

Dalam hadits Imran bin Hushain radhiallahu anhu yang panjang, di antara isinya Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sahabatnya berwudhu dari mazadah (kantong air yang terbuat dari kulit bangkai yang telah disamak) milik wanita musyrik. (Muttafaq alaih)[2]

Namun, Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiallahu anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَمَّا مَا ذَكَرْتَ أَنَّكَ بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ الْكِتَابِ تَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَ آنِيَتِهِمْ فَلاَ تَأْكُلُوا فِيهَا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا، ثُمَّ كُلُوا فِيهَا

“Adapun yang kamu sebutkan bahwa kamu berada di daerah ahli kitab, yang kamu makan dari bejana-bejana mereka; Jika kamu bisa mendapatkan selain bejana-bejana mereka, jangan makan dari bejana-bejana mereka. Jika kamu tidak bisa mendapatkan selain dari bejana-bejana mereka, cucilah terlebih dahulu lalu makanlah darinya.” (Muttafaq alaih)

Jawabannya, terdapat dua tafsir dalam memahami hadits ini.

  1. Larangan pada hadits ini bersifat makruh, tidak haram.
  2. Hadits ini tertuju kepada orang-orang kafir yang sering makan daging babi dan mereka menampakkan hal itu secara terang-terangan.

Ibnu Utsaimin rahimahullah mendukung tafsir yang kedua. Al-Albani rahimahullah juga memilih tafsir yang kedua berdasarkan riwayat lain dari hadits tersebut dengan lafaz, Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiallahu anhu berkata,

يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنَّ أَرْضَنَا أَرْضُ أَهْلِ كِتَابٍ وَإِنَّهُمْ يَأْكُلُونَ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَيَشْرَبُونَ الْخَمْرَ، فَكَيْفَ أَصْنَعُ بِآنِيَتِهِمْ وَقُدُورِهِمْ؟ قَالَ: إِنْ لَمْ تَجِدُوا غَيْرَهَا فَارْحَضُوهَا وَاطْبَخُوا فِيهَا وَاشْرَبُوا

“Wahai Nabi Allah, sesungguhnya daerah kami adalah daerah ahli kitab dan mereka makan daging babi dan minum khamr. Apa yang mesti saya lakukan dengan bejana-bejana dan panci-panci mereka?”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian tidak mendapatkan selainnya, cucilah terlebih dahulu, memasaklah dengannya, dan minumlah darinya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani menurut syarat al-Bukhari & Muslim)[3]

Berdasarkan dalil-dalil di atas, tampak jelas bahwa fisik orang kafir tidak najis.

Tampak pula bahwa yang dimaksud oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28)

Najis dalam ayat di atas adalah najis maknawi (akidah dan amalan mereka). Artinya, mereka najis dengan kekufuran dan kesyirikan mereka sehingga tidak pantas dan tidak boleh mendekati Masjidil Haram, apalagi memasukinya. Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.

Adapun mayatnya, jumhur ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan suci dan ada yang mengatakan najis.

Di kalangan fuqaha mazhab Hanbali dan Syafi’i, terdapat dua pendapat tersebut. Akan tetapi, yang dianggap benar dan menjadi pegangan mazhab Hanbali dan Syafi’i adalah pendapat yang mengatakan suci.

Ulama yang berpendapat najis berdalil dengan ayat di atas dan berhujah bahwa mayat orang kafir tidak disyariatkan dimandikan. Hal itu menunjukkan kenajisannya. Sebab, sesuatu yang substansinya najis, tidak ada gunanya dicuci/dimandikan.

Yang berpendapat suci menjawab bahwa yang dimaksud dengan najis pada ayat itu adalah najis maknawi sebagaimana telah diulas di atas. Adapun mayat kafir tidak dimandikan, itu bukan karena kenajisannya. Ilat (faktor) hukum mayat muslim dimandikan adalah untuk memuliakannya, sedangkan orang kafir tidak pantas dan tidak berhak dimuliakan sehingga mayatnya tidak dimandikan.

An-Nawawi, Ibnu Qudamah, as-Sa’di, dan Ibnu Utsaimin menilai bahwa pendapat yang terkuat adalah mayat orang kafir adalah suci.

Wallahu a’lam.[4]


Catatan Kaki

[1] al-Irwa’ (1/76) dan al-Jami’ ash-Shahih (1/429).

[2]  Bulughul Maram (“Bab al-Aniyah” no. 22), al-Irwa’ (1/no. 36), dan ats-Tsamar al-Mustathab (1/8).

[3] ats-Tsamar al-Mustathab (1/8).

[4] al-Muhalla (1/no.134), al-Mughni (1/63), al-Inshaf (1/337—338), Manhajus Salikin karya as-Sa’di, al-Majmu’ (2/579—581), al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (4/”Kitab al-Haidh”, “Bab ad-Dalil ‘ala Anna al-Muslima La Yanjusu”), Fathul Bari (1/”Kitab al-Ghusli”, “Bab Araq al-Junub wa Anna al-Muslima La Yanjus”, 3/”Kitab al-Jana’iz”, “Bab Ghusli al-Mayyit wa Wudhu’ihi”), Majmu’ al-Fatawa (21/67), Nailul Authar (1/”Kitab ath-Thaharah”, “Bab Thaharah al-Ma’i al-Mutawadhdhai bihi”, syarah hadits Hudzaifah radhiallahu anhu), as-Sail al-Jarrar (1/38—39), Fathul Qadir (tafsir at-Taubah ayat ke-28), Tafsir Ibni Katsir (tafsir at-Taubah ayat ke-28), dan asy-Syarh al-Mumti’ (1/447—448).

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)