Hukum Berkurban Atas Nama Orang Tua yang Sudah Meninggal

Pertanyaan:

Kalau berkurban atas nama orang tua yang sudah meninggal, boleh atau tidak ya?

Jawaban:

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab sebagai berikut.

“(Kurban) disunnahkan dari orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah meninggal.

Oleh sebab itulah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah berkurban atas nama seorang pun yang telah mati. Tidak pula untuk istrinya, Khadijah radhiallahu anha, yang paling beliau cintai. Pun tidak untuk Hamzah radhiallahu anhu, paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk putra-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka adalah bagian dari beliau. Beliau hanya berkurban atas nama diri dan keluarganya.

Barang siapa memasukkan orang yang telah meninggal pada keumuman (keluarga), pendapatnya masih ditoleransi. Namun, berkurban atas nama orang yang telah mati di sini statusnya hanya mengikut, bukan berdiri sendiri.

Oleh karena itu, tidak disyariatkan berkurban atas nama orang yang mati secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (asy-Syarhul Mumti’, 3/423—424, cet. Darul Atsar, lihat pula hlm. 389—390)

Baca juga: Kurban Atas Nama Diri Sendiri dan Keluarga

Berkurban atas nama orang yang telah mati hanya diperbolehkan pada keadaan berikut.

  1. Apabila orang yang telah mati tersebut pernah bernazar sebelum wafatnya. Nazar tersebut dipenuhi karena termasuk nazar ketaatan.
  2. Apabila orang yang telah mati tersebut berwasiat sebelum wafatnya. Wasiat tersebut dapat terlaksana dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 harta sang mayit. (Lihat Syarh Bulughil Maram, 6/87—88, karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Hadits yang menunjukkan kebolehan berkurban atas nama orang mati adalah dha’if (lemah). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2790) dan at-Tirmidzi (no. 1500) dari jalan Syarik, dari Abul Hasna, dari al-Hakam, dari Hanasy, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.

Hadits ini dha’if karena beberapa sebab:

  1. Syarik adalah Ibnu Abdillah an-Nakha’i al-Qadhi. Dia dha’if karena hafalannya jelek setelah menjabat sebagai qadhi (hakim).
  2. Abul Hasna majhul (tidak dikenal).
  3. Hanasy adalah Ibnul Mu’tamir ash-Shan’ani. Pada haditsnya ada kelemahan walau dirinya dinilai shaduq lahu auham(jujur, tetapi punya beberapa kekeliruan) oleh al-Hafizh dalam Taqrib-nya.

Hadits ini dimasukkan oleh Ibnu Adi dalam al-Kamil (2/844) sebagai salah satu kelemahan Hanasy.

Adapun apabila ada yang berkurban atas nama orang yang telah mati, amalan tersebut dinilai sebagai sedekah atas namanya. Amalan ini termasuk keumuman hadits,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ  …

“Apabila seseorang telah mati, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ….” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Wallahul Muwaffiq.

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)