Hukum Nazar

Pertanyaan:

Saya pernah bernazar untuk puasa Dawud tanpa melafazkannya secara jahar (dengan suara keras) dan tidak menentukan batas waktunya sampai kapan. Sementara itu, orang tua saya melarang untuk melakukannya karena kondisi tubuh saya yang lemah. Saya sendiri memang merasakannya cukup berat. Apakah wajib bagi saya untuk puasa Dawud seumur hidup?

Afaf m_m…@yahoo.com

Jawaban:

Alhamdulillah.

Jika yang dimaksud dengan ‘tanpa melafazkannya’ adalah Anda hanya bertekad dalam hati tanpa mengucapkannya sama sekali, hal itu tidak termasuk dalam kategori nazar. Namun, apabila yang dimaksud bahwa Anda melafazkannya secara sir (dengan suara pelan), tidak secara jahar (dengan suara keras, didengar orang lain), hal itu termasuk dalam kategori nazar. Sebab, tidak ada perbedaan antara sir dan jahar, yang jelas sudah dilafazkan (diucapkan).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam kaset Syarah Bulughul Maram mengatakan, “Nazar adalah meng-ilzam-kan (mewajibkan) sesuatu atas dirinya, baik dengan lafaz nazar, ahd (perjanjian), atau yang lainnya.”

Dalam kitabnya, asy-Syarhul Mumti’ (6/450—451), setelah menerangkan pengertian nazar, beliau mengatakan,

“Suatu nazar dianggap sah (dihitung sebagai nazar) dengan ucapan (melafazkannya), dan tidak ada konteks tertentu untuk itu. Seluruh konteks kalimat yang menunjukkan makna mewajibkan sesuatu atas dirinya, maka dikategorikan sebagai nazar. Sama saja, apakah dengan mengucapkan,

لِلهِ عَلَيَّ عَهْدٌ

‘Wajib atas diri saya suatu janji karena Allah.’

atau mengucapkan,

لِلهِ عَلَيَّ نذَرٌ

‘Wajib atas diri saya suatu nazar karena Allah.’

atau lafaz-lafaz serupa yang menunjukkan pewajiban. Misalnya,

لِلهِ عَلَيَّ أَنْ أَفْعَلَ كَذَا

‘Wajib atas diri saya untuk melakukan demikian.’

meskipun tidak menyebut kata janji atau nazar.”

Baca juga: Lupa Janji, Harus Bayar Kafarat?

Jadi, seandainya Anda sudah mengucapkan, baik dengan jahar maupun sir, mohonlah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk menunaikan nazar tersebut. Sebab, nazar Anda termasuk dalam kategori nazar ketaatan (نَذْرُ الطَّاعَةِ). Nazar ini dinamakan pula dengan nazar tabarrur (نَذْرُ التَّبَرُّرِ), yaitu nazar untuk melakukan suatu amalan saleh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Jenis nazar seperti ini hukumnya wajib ditunaikan dan tidak bisa dibayar dengan kafarat. Dalilnya ialah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Aisyah radhiallahu anha,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

“Barang siapa bernazar untuk menaati Allah, hendaklah dia melaksanakannya. Barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada-Nya, janganlah dia melakukannya.” (HR. al-Bukhari)

Berdasarkan hadits ini, suatu amalan yang hukumnya sunnah (mustahab) ketika dinazarkan berubah menjadi wajib. Jadi, puasa Dawud yang asalnya sunnah menjadi wajib bagi Anda. Karena Anda menazarkannya secara mutlak tanpa batasan waktu, Anda wajib berpuasa Dawud selamanya.

Baca juga: Haruskah Memberitahukan Nazar kepada Orang Lain?

Ada sebuah hadits dari Uqbah bin Amir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِيْنِ

“Kafarat nazar sama dengan kafarat sumpah.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang bernazar untuk suatu perkara, dia memiliki dua pilihan: melaksanakan isi nazarnya atau membatalkannya dengan membayar kafarat.

Sebagian ulama—sebagaimana dinukilkan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (11/88)—mengambil lahiriah (tekstual) hadits ini yang mencakup seluruh jenis nazar tanpa kecuali.

Namun, pendapat ini keliru. Sebab, meskipun lahiriah hadits menunjukkan hal itu, nazar ketaatan dikecualikan darinya, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha yang disebutkan sebelumnya.

Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah (hlm. 141). Demikian pula Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam kaset Syarah Bulughul Maram.

Namun, apabila Anda sudah berusaha melaksanakan nazar tersebut dan ternyata sangat menyiksa diri Anda serta mengakibatkan Anda sulit menunaikan kewajiban yang lain sebagaimana biasanya, berarti Anda terhitung tidak mampu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

“Tidaklah Allah membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ

“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)

Baca juga: Kafarat Tebusan Sumpah

Mungkin kita dapat mengategorikannya dalam jenis nazar dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan (نَذْرٌ بِمَا لاَ يُطَاقُ). Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat seorang lelaki tua dipapah oleh kedua anaknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Ada apa dengan orang ini?”

Mereka menjawab, “Dia bernazar untuk berjalan.” (An-Nasa’i menambahkan dalam sebuah riwayatnya, “Dia bernazar untuk berjalan ke Baitullah.”[1])

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Mahacukup (tidak butuh) dari perbuatan orang ini menyiksa dirinya.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu memerintahkan dia untuk berkendaraan.

Akan tetapi, Anda wajib membayar kafarat berdasarkan hadits Uqbah bin Amir yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini juga dikuatkan oleh atsar mauquf dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya,

وَمَنْ نَذَرَ نَذْراً لاَ يُطِيْقُهُ فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ

“Barang siapa bernazar dengan sesuatu yang tidak sanggup dilakukannya, dia wajib membayar kafarat sumpah.”

Sebenarnya, Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkannya secara marfu’ dari ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tetapi riwayatnya syadz (ganjil)[2]. Demikian diisyaratkan oleh Abu Dawud dan dibenarkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tahdzib Sunan Abi Dawud serta Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil (8/210—211).

Baca juga:  Bolehkah Kafarat Diangsur?

Adapun kafarat yang dimaksud sebagaimana dalam hadits Uqbah bin Amir radhiallahu anhu adalah kafarat sumpah. Kafarat sumpah yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Maidah: 89 ialah

  1. Memberi makan sepuluh orang fakir/miskin[3] dengan makanan yang layak sebagaimana yang dihidangkan untuk keluarga.

Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara:

  • Menyediakan makanan yang sudah siap disantap, kemudian mengundang sepuluh orang miskin/fakir untuk makan siang atau makan malam.
  • Memberikan beras atau yang semacamnya kepada sepuluh orang miskin/fakir, masing-masing 1 kg. Sebaiknya menyertakan lauk-pauknya berupa daging, telur, sayur, atau semacamnya.
  1. Memberi sepuluh orang miskin atau fakir pakaian yang layak dan sesuai dengan keadaannya. Kalau laki-laki dewasa, misalnya, berupa baju dan sirwal atau sarung ukuran orang dewasa.

  2. Membebaskan seorang budak, dengan syarat mukmin menurut jumhur ulama, dan ini pendapat yang rajih (lebih kuat).

  3. Berpuasa tiga hari berturut-turut, menurut sebagian ulama. Mereka berdalil dengan qiraah (bacaan) Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan ini yang rajih, insya Allah.

Inilah kafarat yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tiga perkara yang disebut pertama bebas dipilih salah satunya. Apabila tidak memungkinkan salah satu dari ketiganya, barulah melangkah ke perkara yang keempat. Apabila seseorang langsung melakukan perkara yang keempat padahal salah satu dari ketiga perkara yang pertama memungkinkan untuk dilakukan, kafaratnya tidak sah. Dia masih dituntut kewajiban membayar kafarat. Adapun puasanya dianggap sebagai amalan tathawwu’ (sunnah) yang dia diberi pahala atasnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, asy-Syarhul Mumti’, 6/422—428, dan kaset Syarah Bulughul Maram)

Nazar Hukumnya Makruh

Sebagai kesempurnaan faedah, saya mengingatkan kepada Anda dan yang lainnya bahwa perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menunaikan nazar ketaatan tidak menunjukkan bahwa bernazar adalah amalan terpuji yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam justru melarangnya. Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنِ النَّذْرِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari nazar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (11/578) sangat heran terhadap sebagian ulama yang berpendapat bahwa nazar hukumnya sunnah (mustahab), seperti an-Nawawi. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarangnya.

Maka dari itu, yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa bernazar hukumnya makruh. Pendapat Ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (35/354) dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam berbagai kitabnya, di antaranya asy-Syarhul Mumti’ (6/451).

Sesungguhnya larangan yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada asalnya menunjukkan haram. Jika ada qarinah (dalil) yang memalingkan dari hukum asal itu, hukumnya menjadi makruh. Dalam hal ini, qarinah itu adalah perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits-hadits lain untuk menunaikan nazar. Apabila nazar itu haram, bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikannya?!

Bahkan, sebagian ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa nazar hukumnya haram, sebagaimana dalam Fathul Bari. Syaikh Ibnu Utsaimin menukilkan bahwa Ibnu Taimiyah condong kepada pendapat ini.

Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa pendapat ini kuat[4] dengan beberapa alasan berikut.

1. Orang yang bernazar mewajibkan atas dirinya suatu amalan yang sebelumnya dia terbebas darinya.

Betapa banyak orang yang bernazar akhirnya menyesal, dan bahkan boleh jadi dia tidak menunaikannya.

2. Allah azza wa jalla berfirman,

وَأَقۡسَمُواْ بِٱللَّهِ جَهۡدَ أَيۡمَٰنِهِمۡ لَئِنۡ أَمَرۡتَهُمۡ لَيَخۡرُجُنَّۖ

“Dan mereka (kaum munafikin yang tidak ikut berjihad) bersumpah demi Allah dengan penuh kesungguhan, jika engkau memerintahkan mereka (untuk keluar berperang) sungguh mereka akan melakukannya.” (an-Nur: 53)

Ayat ini menunjukkan sifat orang-orang munafik, yaitu mewajibkan atas diri mereka suatu amalan yang dipertegas dengan sumpah. Ini serupa dengan nazar. Kemudian. Allah subhanahu wa ta’ala membantahnya dalam lanjutan ayat tersebut,

قُل لَّا تُقۡسِمُواْۖ طَاعَةٌ مَّعۡرُوفَةٌۚۖ

Katakanlah (wahai Muhammad), “Janganlah kalian bersumpah, (atas kalian) ketaatan yang makruf.” (an-Nur: 53)

Maksudnya, hendaklah kalian melaksanakan ketaatan tanpa disertai sumpah.

Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang tidak melaksanakan ketaatan kecuali dengan bernazar atau bersumpah atas dirinya, berarti ketaatan tersebut berat baginya.

3. Menggantungkan ketaatan pada terwujudnya sesuatu yang diinginkan, khususnya pada nazar ketaatan yang bentuknya mu’allaq.

Artinya, seakan-akan dia tidak percaya kepada Allah azza wa jalla. Seakan-akan dia berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memberikan kesembuhan (misalnya) kecuali jika dia memberikan sesuatu kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai balasannya. Oleh karena itu, jika mereka sudah putus asa dari kesembuhan, mereka pun bernazar[5]. Hal yang seperti ini merupakan buruk sangka terhadap Allah azza wa jalla. (Lihat al-Qaulul Mufid, 1/247—248)

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki:

[1] Riwayat ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih an-Nasai no. 3604.

[2] Riwayat yang syadz (ganjil) bukanlah hujah karena tergolong riwayat yang dha’if (lemah).

[3] Lahiriah ayat ini mencakup laki-laki dan perempuan, baik dewasa maupun masih kecil. (Lihat asy-Syarhul Mumti’, 6/422—423)

[4] Tidak berarti bahwa Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin menilai kuat tentang haramnya nazar. Sebab, sebagaimana dalam kaset Syarah Bulughul Maram, Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Sulit bagi seseorang untuk mengatakan dengan tegas bahwa hukumnya (nazar) adalah haram.”

Hanya saja, hal ini menunjukkan tingkat kemakruhan yang besar.

[5] Dengan mengatakan (misalnya), “Jika saya sembuh, saya akan berpuasa tujuh hari.”

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari)

Comments are closed.