Bernazar Tanpa Melafazkan

Pertanyaan:

Wajibkah saya menunaikan kafarat nazar yang hanya tebersit dalam hati (nazar tersebut tidak saya ucapkan dengan lisan)? Apakah pilihan kafarat juga harus urut, sedangkan saya belum bekerja?

Jawaban:

Apa yang terbersit dalam kalbu (hati) tidak teranggap sebagai nazar hingga seseorang melafazkan dengan lisan. Hal itu hanya sebatas niat untuk bernazar dan tidak menjadi nazar sampai benar-benar dia ucapkan dengan lisan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam audio Syarah Bulughil Maram,

“Nazar adalah mewajibkan sesuatu atas dirinya, sama saja baik dengan lafaz nazar, ‘ahd (janji), atau yang lainnya.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata,

“Nazar menurut bahasa adalah mewajibkan. Jika dikatakan, ‘Aku menazarkan hal ini atas diriku’, artinya aku mewajibkannya atas diriku.

Adapun secara syariat, nazar adalah mewajibkan sesuatu dengan sifat yang khusus, yaitu amalan seorang mukalaf mewajibkan atas dirinya sesuatu yang dimilikinya dan bukan sesuatu yang mustahil.

Suatu nazar dianggap sah (sebagai nazar) dengan ucapan (melafazkannya), dan tidak ada shighah (bentuk ucapan) tertentu untuk itu. Seluruh shighah yang menunjukkan makna “mewajibkan sesuatu atas dirinya” dikategorikan sebagai nazar. Bisa dengan mengucapkan,

لِلهِ عَلَيَّ عَهْدٌ

‘Wajib atas diri saya suatu janji karena Allah.’

Atau mengucapkan,

لِلهِ عَلَيَّ نَذْرٌ

‘Wajib atas diri saya suatu nazar karena Allah.’

Atau lafaz-lafaz serupa yang menunjukkan bahwa seseorang mewajibkan sesuatu atas dirinya, seperti,

لِلهِ عَلَيَّ أَنْ أَفْعَلَ كَذَا

‘Wajib atas diri saya untuk melakukan demikian,’ meskipun dia tidak menyebut kata janji atau nazar.” (asy-Syarhul Mumti’, 6/450—451, cet. Darul Atsar)

Baca juga: Hukum Nazar

Berdasarkan keterangan ini, apa yang tebersit dalam kalbu Anda tidak teranggap sebagai nazar. Dengan sendirinya, tidak ada pembicaraan tentang kafarat nazar.

Wallahu a’lam.

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini al-Makassari)