Hukum Nazar Mubah

Pertanyaan:

Bagaimana jika seseorang bernazar untuk membuka toko makanan dahulu sebelum membuka toko lainnya, tetapi ternyata dia ingin membuka toko lainnya?

Jawaban:

Nazar seperti ini termasuk dalam kategori nazar mubah, yaitu bernazar untuk melakukan sesuatu yang hukumnya mubah (boleh). Sebab, membuka toko makanan atau toko lainnya bukan ibadah dan bukan pula maksiat, selama yang dijual adalah sesuatu yang halal dan sistem jual belinya bukan sistem yang haram.

Para ulama menerangkan bahwa nazar mubah tidak wajib ditunaikan dan tidak haram untuk ditunaikan. Nazar mubah tidak wajib ditunaikan karena tidak termasuk kategori nazar ketaatan. Di sisi lain, nazar mubah tidak haram ditunaikan karena tidak termasuk kategori nazar maksiat.

Jadi, nazar mubah tidak masuk dalam hadits Aisyah radhiallahu anha,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

“Barang siapa bernazar untuk menaati Allah, hendaklah dia melaksanakannya. Barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada-Nya, janganlah dia melakukannya.” (HR. al-Bukhari no. 6700)

Baca juga: Hukum Nazar

Berdasarkan hal ini, pelaku nazar mubah memiliki kebebasan untuk memilih, antara melaksanakan nazarnya atau membatalkannya dengan cara membayar kafarat. Kafaratnya sama dengan kafarat sumpah, berdasarkan hadits Uqbah bin Amir radhiallahu anhu,

كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِيْنِ

“Kafarat nazar adalah kafarat sumpah.” (HR. Muslim no. 1645)

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan kafarat sumpah dalam surah al-Maidah: 89. Rinciannya adalah sebagai berikut.

1. Memberi makan sepuluh orang fakir/miskin dengan makanan yang layak sebagaimana yang dihidangkan untuk keluarganya.

Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara:

a. Menyediakan makanan yang sudah siap disantap, kemudian mengundang sepuluh orang miskin/fakir untuk makan siang atau makan malam.

b. Memberikan beras kepada sepuluh orang miskin/fakir, masing-masing 1 kg. Sebaiknya menyertakan lauk-pauknya berupa daging, ikan, telur, sayur, atau yang semacamnya.

2. Memberikan pakaian yang layak dan sesuai dengan keadaan kepada masing-masing dari sepuluh orang miskin atau fakir. Kalau laki-laki dewasa (misalnya) berupa baju gamis dan sirwal atau sarung ukuran orang dewasa.

3. Membebaskan seorang budak, dengan syarat mukmin menurut jumhur, dan ini pendapat yang rajih (kuat).

4. Berpuasa tiga hari berturut-turut menurut sebagian ulama berdasarkan qiraah (bacaan) Ibnu Mas’ud. Ini yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan inilah yang rajih (kuat), insya Allah.

Baca juga: Kafarat Tebusan Sumpah

Inilah kafarat yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tiga perkara yang disebut pertama, bebas dipilih salah satunya. Apabila tidak memungkinkan salah satu dari ketiganya, barulah melangkah ke perkara yang keempat. Apabila seseorang langsung melakukan perkara yang keempat padahal salah satu dari ketiga perkara yang pertama memungkinkan untuk dilakukan, kafaratnya tidak sah. Dia masih dituntut kewajiban membayar kafarat. Adapun puasanya dianggap sebagai amalan tathawwu’ (sunnah) yang diberi pahala atasnya.[1]

Berdasarkan penjelasan ini, jika Anda ingin membatalkan nazar dan bermaksud untuk membuka toko lain sebelum toko makanan, hendaklah Anda membayar kafarat nazar dengan rincian yang telah kami uraikan di atas.

Wallahul Muwaffiq.


Catatan Kaki:

[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, asy-Syarhul Mumti’ (6/422—428, cet. Darul Atsar), Fathu Dzil Jalali wal Ikram Syarah Bulughul Maram. (-pen.)

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari)