Syubhat Seputar Pinjam Meminjam Ribawi

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu secara marfu’,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Setiap pinjaman yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”

Derajat Hadits

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,

“Hadits ini diriwayatkan oleh Harits ibnu Abi Usamah[1]. Di dalam sanadnya ada seorang rawi yang gugur periwayatannya (saqith). Hadits ini memiliki syahid (pendukung) yang dha’if pula dari Fadhalah bin Ubaid yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi[2]. Pendukung lainnya adalah hadits mauquf, diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abdullah bin Salam radhiallahu anhu[3].”

Al-Hafizh juga mengatakan dalam at-Talkhish (3/997), “Dalam sanad hadits ini ada Sawar ibnu Mush’ab[4]. Dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya).”

Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah al-Badrul Munir (2/78), Abdul Haq dalam al-Ahkam, Ibnu Abdil Hadi dalam at-Tanqih (3/192), dan Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil (5/236, hadits no. 1398).

Baca juga: Macam-macam Riba

Ketahuilah, setiap pinjam-meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba[5]. Salah satu argumentasinya adalah hadits di atas. Namun, karena haditsnya dha’if, tentu kita tidak boleh memakainya sebagai hujah. Hanya saja, makna hadits di atas terpakai, diperkuat oleh ushul syariat. Telah dinukilkan adanya ijmak para ulama dalam masalah ini.

Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah (dan yang lainnya[6]) menukilkan bahwa setiap pinjam-meminjam yang di dalamnya mempersyaratkan sebuah keuntungan, penambahan kualitas atau kuantitas, itu termasuk riba. Pinjam-meminjam pada asalnya adalah perbuatan kebaikan. Seseorang memberi kepada orang lain suatu barang atau uang, untuk dikembalikan dengan nilai yang sama pada waktu yang telah disepakati. Namun, manakala dikembalikan dengan penambahan jumlah atau dengan sesuatu yang lebih bagus/baik, terjadilah riba. (al-Muhalla bil Atsar, 6/348, dan Maratibul Ijma’, hlm. 165)

Syubhat dan Bantahan

Dalam masalah ini, ada beberapa syubhat yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin. Kami nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut jawabannya dari kitab Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari (hlm. 146—148) yang ditulis oleh guru kami Syaikh Abdurrahman bin Umar bin Mar’i al-Adani rahimahullah.

Beliau rahimahullah menyatakan, ada pihak-pihak yang tidak menganggap pinjam-meminjam (qardh) yang memberi faedah sebagai riba. Dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:

  1. Riba yang diharamkan hanyalah riba jahiliah, yaitu riba dalam utang piutang.

Misalnya, seseorang mengutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu. Namun, sampai tempo yang ditentukan, orang yang berutang belum melunasinya. Akibatnya, si pemberi piutang memberi denda dengan jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama utang. Akhirnya, bertambahlah jumlah utang dari orang yang berutang tersebut. (Istilahnya, engkau bayar sekarang atau utangmu bertambah).

Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan (dipersyaratkan) pada awal akad pinjam-meminjam, mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yang diharamkan.

Mereka yang berpendapat seperti ini di antaranya Muhammad Rasyid Ridha, penulis Tafsir al-Manar dan murid Muhammad Abduh, Abdurrazzaq as-Sanhawuri, seorang “pakar” hukum masa ini. Mereka menguatkan pendapat mereka dengan beberapa dalil/perkara berikut.

a. Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan tentangnya hanyalah berupa “engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau utangmu bertambah”.

Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:

  • Hal ini tidak bisa diterima karena sebenarnya riba jahiliah itu memiliki dua bentuk.

Yang pertama adalah bentuk yang masyhur, yaitu “engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau utangmu bertambah.”

Bentuk kedua adalah penetapan adanya tambahan pembayaran/pengembalian dari jumlah yang semestinya dibayarkan sejak awal akad. Bentuk seperti ini adalah riba jahiliah, disebutkan dalam Ahkamul Qur’an (1/563—564) karya Imam al-Jashshash.

  • Kalaupun dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yang ada dalam surah al-Baqarah hanya mencakup bentuk yang pertama, sebenarnya ayat tersebut juga bisa dijadikan sebagai dalil akan haramnya ziyadah (tambahan nominal) yang dipersyaratkan pada awal akad. Sebab, kedua bentuk ini sama-sama menerima ziyadah hanya bila telah jatuh tempo.
  • Ziyadah yang dipersyaratkan dalam akad utang piutang khususnya pada mata uang (dinar/emas dan dirham/perak) serta alat pembayaran yang serupa seperti uang kertas, memang tidak dinyatakan keharamannya oleh ayat-ayat yang berbicara tentang riba. Namun, pengharamannya disebutkan dalam As-Sunnah.

Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah contoh berikut ini.

Seseorang datang ke bank dan berkata, “Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp100.000,00.” Pihak bank mengatakan, “Kami akan memenuhi permintaan Anda. Namun, kami mencatat dalam pembukuan kami jumlah Rp120.000,00 sampai akhir tahun.”

Baca juga: Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah

Memang ayat-ayat tentang riba tidak menunjukkan keharaman bentuk seperti ini. Hanya saja, hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam menunjukkan secara jelas keharamannya. Dalam hadits tentang enam macam barang yang terkena hukum riba disebutkan,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرّ ِوَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (satu jenis gandum) dengan burr, sya’ir (satu jenis gandum juga) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus sama timbangannya, dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat). Barang siapa menambah atau minta tambah, berarti dia jatuh dalam riba.” (HR. Muslim no. 1587)

Apabila pihak bank memberikan pinjaman Rp100.000,00 kepada orang tersebut dan dicatat jumlahnya Rp120.000,00 hingga tempo setahun, berarti pihak yang berutang dan yang memberi piutang tidak berpegang dengan dua ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu

مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ

“Harus sama timbangannya dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat).”

Mereka yang melakukan muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan dua macam riba, riba fadhl dan riba nasi’ah.

b. Menurut mereka, riba jahiliah dilarang karena mengambil tambahan nominal dari pokok harta (yang dipinjamkan). Hal itu terjadi karena tertundanya pembayaran utang kepada pihak yang memberi piutang, bukan karena ingin memberikan kemanfaatan kepada si pemberi utang.

Jawabannya, sebab yang disebutkan ini juga ada pada akad pinjam-meminjam yang mensyaratkan pembayaran tambahan nominal (ziyadah).

c. Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa.

Dia berkata, “Huruf alif dan lam adalah lil ’ahd. Jadi, riba yang dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal, dimaklumi, dan diketahui oleh orang-orang jahiliah; yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau utangmu bertambah’.”

Jawabannya, kalaulah alif dan lam yang ada pada kata riba tersebut dianggap lil ’ahd, artinya Rabb kita menyebutkan (dalam ayat) tentang keharaman riba atas sesuatu tertentu yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Di sisi lain, As-Sunnah telah menyebutkan keharaman bentuk riba yang lain (tidak hanya yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an). Jadi, lafaz riba menjadi sebuah hakikat syariat yag berlaku pada seluruh bentuk riba. Apalagi di antara mereka memang ada yang mengatakan, “Riba adalah lafaz yang global dan penafsirannya disebutkan dalam As-Sunnah.”

d. Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dengan akal.

Dia berkata, “Ancaman yang keras dan cercaan yang demikian menikam tidaklah mungkin diberikan kecuali kepada dosa-dosa yang besar. Apabila seseorang menukar satu real perak dengan empat real perak dengan serah terima yang ditunda sampai waktu tertentu, apakah bisa diterima oleh akal bahwa perbuatan seperti ini terkena ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat yang melarang riba berupa diperangi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal hanyalah apabila bentuknya seperti bentuk yang awal, yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau utangmu bertambah’.”

Baca juga: Kedudukan Akal dalam Islam

Jawabannya, menggunakan akal dan pendapat dalam urusan yang telah disebutkan nasnya oleh syariat adalah sia-sia. Sungguh, keumuman dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah telah mencakup hal yang ditolak tersebut.

e. Muhammad Rasyid Ridha berdalil bahwa riba jahiliah adalah riba yang menyebabkan kerusakan, kemudaratan, meruntuhkan rumah-rumah, dan memutuskan silaturahim.

Jawabannya, mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian pada awal akad justru lebih besar dan lebih tampak kezalimannya daripada tambahan yang ditetapkan setelah jatuh tempo. Sebab, dalam riba jahiliah, seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain untuk dikembalikan dalam tempo sebulan, misalnya. Ketika telah jatuh tempo, orang yang meminjamkan berkata kepada pihak yang dipinjami, “Engkau bayar sekarang atau utangmu bertambah (didenda).” Jadi, persyaratan tambahan di awal akad tentunya lebih gamblang dan lebih jelas kezalimannya.

Berikutnya, yang dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dengan nas. Tidak sepantasnya ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” terhadap nas. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ

“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Allah dan Rasul-Nya menghukumi (memutuskan perkara) di antara mereka, mereka akan mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’.” (an-Nur: 51)

Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

f. Muhammad Rasyid Ridha berargumen dengan ucapan-ucapan ulama untuk membatasi riba yang dilarang hanyalah ‘engkau bayar atau utangmu bertambah’.

Di antara ulama yang dia sebutkan adalah Malik, ath-Thabari, al-Qurthubi, ath-Thahawi, asy-Syathibi, Ibnu Rusyd, al-Mawardi, an-Nawawi, dan Ibnu Hajar al-Haitsami.

Jawabannya, dalam hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dan membatasi hukum. Tatkala para ulama di atas menyebutkan hal itu, yang mereka maksud adalah menerangkan tentang riba yang masyhur dan dikenal/dimaklumi, yaitu riba ‘engkau bayar atau utangmu bertambah’. Mereka tidak bermaksud membatasi hukum riba hanya pada bentuk ini. Berbeda halnya dengan pendapat yang dipegangi oleh Muhammad Rasyid Ridha.

Baca juga: Hukum Menunda-nunda Membayar Utang

Ketahuilah, pada sebagian ucapan ulama yang disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha. Para ulama itu menyatakan bahwa ini adalah bentuk riba jahiliah dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bentuk-bentuk riba lain yang diharamkan, seperti riba fadhl dan riba nasi’ah.

  1. Membatasi riba hanya dalam jual beli saja. Adapun dalam pinjam-meminjam, riba (qardh) tidak berlaku.

Berikut ini dalil-dalil mereka.

a. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun, hadits hanya menyebutkan jual beli dan tidak ada penyebutan qardh (pinjam-meminjam).

Jawabannya, ada ijmak (kesepakatan ulama) tentang berlakunya riba dalam qardh.

b. Mereka berdalil dengan penukilan dari fuqaha dan ulama mazhab Hanafi yang membatasi riba hanya dalam jual beli.

Jawabannya, terdapat penukilan yang lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang penetapan adanya riba dalam qardh sebagaimana dalam jual beli.

c. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha mazhab Hanafi menjadikan qardh sebagai analogi dari berderma sehingga tidak ada riba padanya. Sebab, riba hanya berlangsung pada sesuatu yang mengandung penggantian.

Jawabannya, walaupun para fuqaha tersebut menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awalnya, mereka tetap menjadikannya perlu penggantian. Artinya, riba bisa terjadi pada pinjam-meminjam. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.

Adapun ucapan mereka bahwa qardh adalah berderma apabila tujuannya untuk memberikan manfaat dan berbuat baik. Sementara itu, qardh yang disyaratkan adanya tambahan nominal padanya, maksud atau tujuannya adalah meminta penggantian. Adanya syarat ‘meminta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dengan jual beli, bukan lagi semata-mata qardh. Sebab, qardh hanyalah dilakukan dalam rangka berbuat ihsan dan memberikan manfaat bagi yang dipinjami.

Baca juga: Berbuat Baik kepada Sesama

Berbeda halnya dengan qardh yang ada syarat ‘meminta tambah’. Qardh yang seperti ini tidak bertujuan berbuat ihsan dan kanmemberi manfaat, tetapi meminta ganti, mendapat untung dan tambahan.

d. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya pengembalian dengan tambahan dalam masalah qardh.

Di antaranya, hadits

خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pembayarannya.”

Jawabannya, hadits seperti ini dimaknai qardh yang tidak ada persyaratan minta tambah dalam pengembalian. Sebagaimana orang yang meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yang dipinjami, disyariatkan pula bagi orang yang dipinjami untuk berbuat ihsan kepada orang yang meminjamkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ

“Tidaklah balasan kebaikan (perbuatan ihsan) melainkan kebaikan pula (perbuatan ihsan pula).” (ar-Rahman: 60)

Jadi, hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.

Penutup

Demikian beberapa syubhat tentang pinjam-meminjam (qardh) yang mengandung unsur riba. Sebagai akhir, kita nukilkan nasihat Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata,

“Seorang muslim wajib memperhatikan dan berhati-hati dari qardh (pinjam-meminjam) yang mensyaratkan adanya tambahan. Hendaklah dia mengikhlaskan niatnya dalam pinjam-meminjam tersebut dan dalam amal saleh yang lain. Sebab, tujuan qardh bukanlah menambah harta secara hakiki, melainkan menambah harta secara maknawi, yaitu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan memenuhi hajat orang yang membutuhkan; dan hanya menginginkan pengembalian yang sesuai dengan besarnya pinjaman (tanpa ada syarat meminta tambah atau syarat mendapatkan kemanfaatan lainnya, pent.). Apabila tujuan pinjam-meminjam seperti ini, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menurunkan keberkahan, penambahan/pertumbuhan, dan kebaikan pada harta.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/53)

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki:

[1] Dalam Musnad-nya (1/500 no. 437). (-pen.)

[2] Dalam as-Sunanul Kubra (5/350) dan Ma’rifatus Sunan wal Atsar (4/391). (-pen.)

[3]  Bulughul Maram, “Kitabul Buyu”, “Bab as-Salam wal Qardh war Rahn”, hadits no. 812. (-pen.)

Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini tidak ditemukan dalam Shahih al-Bukhari pada “Bab al-Istiqradh”. Al-Hafizh juga tidak menisbahkannya kepada al-Bukhari dalam kitabnya, at-Talkhish…. Seandainya hadits ini ada dalam Shahih al-Bukhari, tentu beliau tidak akan menghilangkan penisbahannya kepada al-Bukhari.” (Subulus Salam, 3/82)

[4] Nama lengkapnya Sawar ibnu Mush’ab al-Hamdani al-Kufi Abu Abdillah al-A’ma al-Muadzdzin. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia munkarul hadits. An-Nasai dan yang selainnya mengatakan bahwa dia matruk. Adapun Abu Dawud mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak bisa dipercaya. (Mizanul I’tidal, 3/343)

[5] Sama saja, apakah minta tambah (ziyadah) ini dinamakan keuntungan, faedah, hadiah, atau berupa izin menempati sebuah rumah bagi yang meminjamkan, atau izin mengendarai mobil; selama ziyadah, hadiah, atau manfaat ini diberikan sebagai persyaratan. Demikian pernyataan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab beliau, al-Mulakhkhash al-Fiqhi (2/52).

[6] Al-Hafizh Abul Hasan Ibnul Qaththan rahimahullah mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa persyaratan pengembalian utang dengan tambahan atau yang lebih baik daripada pinjaman tersebut adalah haram, tidak dihalalkan.” (al-Iqna’ fi Masail al-Ijma’, 2/196)

Demikian pula pernyataan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, dan Ibnul Mundzir dalam al-Ijma’.

(Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari)