Benarkah Syafaat Diminta kepada Selain Allah? (Bagian 1)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah)

 

Satu di antara sekian hal yang selalu dipertentangkan antara ahli tauhid dan musuh-musuhnya adalah syafaat. Karena, dengan berlindung di balik kata syafaat inilah, para penentang tauhid berupaya melanggengkan amalan-amalan kesyirikan yang justru tengah dan terus diupayakan untuk diberantas oleh para ahli tauhid.

Paham yang Berbahaya
Upaya “mempertahankan ajaran-ajaran nenek moyang” masih berlangsung di sekitar kita. Bahkan kian meruak dan menjadi-jadi, seakan-akan hal itu telah menjadi sumber kebenaran dan tidak ada salahnya. Hari demi hari, kaum muslimin ditarik menuju keterbelakangan dan kehinaan yang akan berujung pada “mengembalikan dinasti Fir’aunisme”, yaitu dinasti pengkultusan terhadap insani yang lemah dan serba kekurangan menjadi sesembahan selain Allah I, keangkuhan dan kesombongan, kejahilan dan kedzaliman.
Bermunculannya orang-orang angkuh di hadapan kebenaran dan tidak mau tahu tentangnya, merupakan hasil peneluran paham ajaran nenek moyang yang sudah menetas dan berkembang pada sebagian kaum muslimin. Sehingga tidak heran jika ada orang-orang yang sangat sulit menerima kebenaran, sekalipun hujjah di hadapannya laksana malam bagaikan siang, yakni telah jelas dengan sejelas-jelasnya. Padahal Allah I mengatakan di dalam firman-Nya:

“Ikutilah segala apa yang diturunkan dari Rabb kalian, dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya sebagai penolong. Dan amatlah sedikit dari kalian yang mau mengambil pelajaran.” (Al-A’raf: 3)
Seruan untuk kembali mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah I, mereka tangkal dengan ucapan “Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.” Apa yang mereka inginkan dari ucapan tersebut, sementara sebagian mereka mengetahui keadaan agama nenek moyang mereka yang sesungguhnya?
Tidak ada tujuan mereka selain menolak kebenaran dan menghalangi orang lain dari jalan Allah I. Ucapan mereka ini telah diabadikan oleh Allah I di dalam Al-Qur`an, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ikutilah apa-apa yang telah diturunkan kepada kalian oleh Rabb kalian, mereka menjawab: ‘Bahkan yang kami ikuti adalah apa yang kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami,’ sekalipun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui dan tidak mendapatkan petunjuk.” (Al-Baqarah: 170)
Apakah mereka akan mengakhiri perjalanan hidup mereka sebagaimana Fir’aun, yang mengaku beriman dan mengakui kebenaran setelah dia tidak berdaya dan ajal berada di tenggorokan? Tentu bukan itu harapan kita semua. Yang kita harapkan adalah agar kaum muslimin berada di atas bashirah (ilmu) dalam menjalankan syariat agama, sehingga tidak menjadi mangsa pembodohan oleh orang-orang bodoh dan menjadi bebek dari dinasti kejahiliyahan.
Oleh karena itu, memerangi paham “mempertahankan ajaran nenek moyang” merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Hal itu dilaksanakan dengan mengembalikan syi’ar dakwah Rasulullah n dan meninggalkan segala paham yang menyelisihi syariatnya. Karena kewajiban ini juga merupakan wujud cinta kita kepada segenap kaum muslimin, maka kita harus menyingkirkan kerancuan semacam ini:
“Demi terjaganya ukhuwwah Islamiyah, kita jangan menimbulkan gesekan di masyarakat dalam bentuk apapun.”
Sungguh, pemahaman ini sangat ber-bahaya bila didalami dan dicermati dengan kaca mata ilmu. Dan hanya akan menjadi indah bila dipahami dengan kaca mata akal yang sudah rusak dan dzauq (perasaan) yang sudah mati karena kejumudan dalam taqlid. Ini adalah konsep Iblis yang ditebarkan oleh kaum sufiyah modern yaitu Jama’atut Tabligh wad Da’wah. Juga seper-ti konsep Ikhwanul Muslimin dalam amal dakwah mereka. Prinsip ini mengharuskan setiap orang untuk diam dari menyuarakan kebenaran, terlebih kebenaran itu akan menimbulkan friksi dan tidak mengun-tungkan “dakwah”. Diakui atau tidak, demikianlah hakikat dakwah mereka di masyarakat.
Dan konsep Iblis ini dibungkus dengan bahasa Islami yaitu demi ukhuwwah. Apakah demikian definisi ukhuwwah dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Sementara Al-Qur`an dinamakan Al-Furqan (pembeda) karena Al-Qur`an memisahkan antara yang haq dan yang batil berikut pengikut keduanya, antara syirik dan tauhid berikut pengikut keduanya, antara sunnah dan bid’ah berikut pengikut keduanya, dan antara hidayah dan kesesatan, berikut pemilik keduanya.

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kalian mengambil kepu-tusan?” (Al-Qalam: 35-36)

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 28)
Dan konsep iblis ini sangat batil, dilihat dari beberapa sisi:
a. Merupakan sunnatullah bahwa perjalanan dakwah yang haq akan men-dapatkan perlawanan sengit dari kebatilan dan pelakunya, yang berawal sejak keberadaan bapak manusia yaitu Nabi Adam u sampai akhir jaman. Pertempuran antara ahli kebatilan dan kebenaran tidak akan pupus selama kehidupan masih ada di dunia ini. Allah I telah menceritakan dalam kitab-Nya tentang perjalanan dakwah Nabi Nuh u sebagai rasul yang pertama, yang mendapatkan penentangan hebat dari istri dan kaumnya, Nabi Ibrahim u dari ayah dan kaumnya, Nabi Luth u dari istri dan kaumnya, Nabi Hud u dari kaum‘Ad, Nabi Shalih u dari kaumnya Tsamud, Nabi Syu’aib u dari kaumnya Madyan, Nabi Musa dan ‘Isa e dari kaumnya Bani Israil, dan Rasulullah n dari keluarga dan umat beliau. Allah I menjelaskan sunnah ini di dalam firman-Nya:

“Dan demikianlah kami menjadikan musuh bagi setiap nabi, yaitu (musuh) dari kalangan setan manusia dan jin, yang sebagiannya membisikkan kepada sebagian yang lain (dengan) ucapan yang dihiasi dengan penuh penipuan.” (Al-An’am: 112)

“Demikianlah kami telah menjadikan musuh bagi setiap nabi dari para pelaku maksiat, dan cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (Al-Furqan: 31)
As-Sa’di t menjelaskan dalam tafsir beliau: “(Sebagai sebuah penghibur bagi Rasul-Nya Muhammad n), Allah I berfirman: ‘Sebagaimana Kami telah menjadikan bagimu musuh-musuh yang akan membantah, memerangi dan hasad terhadap dakwahmu (maka) inilah sunnah Kami, yaitu menjadikan musuh-musuh bagi setiap nabi yang Kami utus dari kalangan setan manusia dan jin yang akan melawan segala apa yang dibawa oleh para rasul’.” (lihat Taisirul Karimirrahman, hal. 232)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan: “Termasuk hikmah Allah I yaitu, tidaklah Allah I mengutus seorang nabi melainkan Dia menjadikan musuh dari kalangan manusia dan jin bagi mereka. Hal itu untuk membuktikan bahwa dengan adanya musuh, kebenaran itu akan terbersihkan (dari kebatilan, -pen.) dan kebenaran itu akan menjadi jelas. Karena dengan adanya lawan dari setiap perkara (misal: syirik dengan tauhid, kemaksiatan dengan ketaatan, -red.) tentu akan menguatkan hujjah yang lain. Apabila sesuatu itu berjalan polos (tanpa ada yang menentang, -pen.) tidaklah akan menjadi jelas (dibandingkan) bila padanya ada penentangan, sampai akhirnya kebenaran itu melumatkan kebatilan dan menjadi terang-benderang. Dan sunnah yang menimpa para nabi juga telah menimpa segenap pengikut mereka.” (Syarah Kasyfus Syubhat, hal. 23)
Apakah setelah semuanya ini mereka akan berusaha untuk menghilangkan sunnatullah, atau menyembunyikannya di balik layar ‘demi ukhuwwah’?
b.    Prinsip di atas akan menghan-curkan prinsip dasar di dalam agama, yaitu prinsip ingkarul mungkar (mengingkari kemungkaran dan pelakunya). Ini adalah sebuah fenomena kebatilan di atas kebatilan, yang dikemas dengan rapi dalam peti Iblis: ‘demi ukhuwwah Islamiyah’. Prinsip ingkarul mungkar telah dijelaskan oleh Allah I dan Rasul-Nya dalam banyak ayat dan hadits, di antaranya:

“Dan hendaklah ada sekelompok orang dari kalian yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran.” (Ali ‘Imran: 104)

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemung-karan.” (Ali ‘Imran: 110)
Rasulullah n bersabda:

“Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Dan bila dia tidak sanggup, hendaklah dia mengubahnya dengan lisannya. Dan bila dia tidak sanggup maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”
Di atas prinsip inilah, Islam diturunkan oleh Allah I. Adapun jika Islam di atas prinsip batil di atas, niscaya:
1. Tidak akan terang dan jelas kebenaran dan kebatilan, sampai sekarang ini.
2.    Tidak akan ada amanat jihad melawan ahli kebatilan.
3.    Tidak ada perintah ingkarul mungkar.
4.    Tidak ada hak dan batil di dalam Islam, sehingga pada akhirnya semua agama adalah sama.
Ibnu Syubrumah t mengatakan: “Menyeru kepada yang ma’ruf dan men-cegah dari kemungkaran sama dengan jihad. Dan setiap orang wajib bersabar dari dua orang yang akan mengganggu, tidak boleh lari dari keduanya dan tidak boleh bersabar lebih dari itu (diam). Meskipun dia takut terhadap caci makian atau dia takut mendengar ucapan yang jelek, (tetap) tidak akan gugur kewajiban ingkarul mungkar sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Imam Ahmad. Dan bila dia menanggung beban gangguan dan dia tetap kokoh menghadapinya, maka itu adalah lebih utama.” (lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 436)
Ibnu Rajab t mengatakan: “Keta-huilah bahwa menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran terkadang dilakukan karena mengharapkan pahala dari Allah I. Terkadang dilakukan karena takut dari adzab Allah I bila meninggalkannya. Terkadang karena marah ketika keharaman Allah I dilanggar. Terkadang bertujuan menasehati kaum mukminin, kasih sayang kepada mereka dan berharap agar mereka terbebaskan dari perkara yang menjatuhkan mereka pada murka Allah I baik di dunia ataupun di akhirat. Terkadang dilakukan sebagai satu bentuk pengagungan, pemulia-an dan kecintaan kepada Allah I, di mana Allah I harus ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dasn tidak dikufuri, dan agar setiap orang menebus dosa-dosa yang pernah dilakukan dengan jiwa dan harta.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 440)
Apakah mereka akan membangun sebuah prinsip batil lalu menumbangkan prinsip yang asasi di dalam agama? Tentu ini adalah sebuah kebatilan yang harus diingkari dan diperangi.
Di antara kemungkaran besar dari sekian kemungkaran yang melanda kaum muslimin adalah meminta syafaat kepada selain Allah I.

Hakikat Syafaat
Ibnul Atsir t menjelaskan: “Dan tentang syafaat, telah disebutkan berulang-ulang di dalam banyak hadits, baik yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia ataupun akhirat. (Yang dimaksud dengan syafaat) yaitu: Meminta agar dimaafkan dari segala dosa dan kesalahan di antara mereka. Juga dikatakan:

Al-Musyaffi’ artinya orang yang menerima syafaat, dan al-musyaffa’ artinya orang yang diterima syafaatnya.” (An-Nihayah, 2/485)
Gambaran makna yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir t ini menjadi jelas dengan hadits yang mauquf pada Az-Zubair bin Al-‘Awwam z, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitab Asy-Syafa’ah (hal.13):

“Apabila telah sampai hukuman penguasa (terhadap seseorang) maka Allah melaknat orang yang memberi syafaat (pembelaan) dan orang yang menerima syafaat.”
Asy-Syaikh Muqbil (Asy-Syafa’ah, hal. 13) menukilkan dari kitab Al-Qamus dan Taajul ‘Arus: “Asy-Syafii’ artinya pemilik syafaat. Bentuk jamaknya adalah syufa’aa` yaitu orang yang meminta orang lain untuk membela apa yang diinginkannya.”

Dalil-dalil tentang Syafaat
Permasalahan syafaat diakui adanya, bahkan oleh orang-orang kafir sekalipun. Bahkan mereka berusaha untuk merebut syafaat di sisi Allah I dengan cara batil yaitu memintanya kepada selain Allah I. Mereka mengharapkan syafaat dari tuhan-tuhan yang mereka sembah. Allah I telah menjelaskan tujuan mereka mendekatkan diri kepada sesembahan selain Allah I, yang tidak berakal dan tidak bisa berbuat apa-apa, padahal mereka meyakini bahwa yang meciptakan, memberi rizki, menghi-dupkan, mematikan, mendatangkan man-faat, menolak mudharat dan sebagainya adalah Allah I. Dua tujuan tersebut adalah:
Pertama: Agar tuhan-tuhan yang mereka sembah itu mendekatkan mereka kepada Allah I dengan sedekat-dekatnya. Dan tujuan ini telah disebutkan oleh Allah I di dalam firman-Nya, bahwa mereka mengatakan:

“Tidaklah kami menyembah mereka kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3)
Kedua: Agar tuhan-tuhan yang mereka sembah itu memberikan pembelaan di hadapan Allah I. Dan tujuan ini telah disebutkan oleh Allah I di dalam firman-Nya:

“Dan mereka menyembah kepada selain Allah sesuatu yang tidak bisa memberikan kemudharatan dan manfaat kepada mereka, dan mereka mengatakan bahwa sesembahan itu adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (Yunus: 18)
Di dalam Al-Qur`an disebutkan pembagian syafaat, yaitu syafaat yang mutsbatah (yang ditetapkan) dan yang manfiyyah (ditiadakan). Penetapan dan peniadaan itu terkait dengan syafaat itu sendiri atau dengan orang yang akan memberikan syafaat. Kita akan menukilkan beberapa di antaranya:
1. Ayat-ayat yang menafikan (meniadakan) syafaat dan pemberinya.
Firman Allah I:

“Dan jagalah dirimu dari (adzab) pada hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikitpun, dan tidak diterima syafaat dan tebusan darinya dan tidaklah mereka akan ditolong.” (Al-Baqarah: 48)

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rizki yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang dzalim.” (Al-Baqarah: 254)

“Mengapa aku akan menyembah sesembahan selain-Nya, jika (Allah I) yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak akan memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyela-matkanku.” (Yasin: 23)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semisal dengan di atas seperti dalam surat Al-An’am ayat 51 dan 70, Yunus ayat 18, Asy-Syu’ara‘ ayat 100-102, As-Sajdah ayat 4, Az-Zumar ayat 43-44, dan Ghafir ayat 18.
2. Ayat-ayat yang menetapkan syafaat dan pemberinya.

“Tidak ada seorangpun yang memberi syafaat di sisi-Nya melainkan dengan seidzin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)

“Tidak ada seorangpun yang akan memberikan syafaat melainkan dengan seizin-Nya.” (Yunus: 3)

“Dan berapa banyaknya malaikat yang ada di langit, syafaat mereka sedikipun tidak berguna kecuali setelah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai.” (An-Najm: 36)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semisal dengan di atas seperti dalam surat Al-Anbiya` ayat 26-28, Thaha ayat 105-109, Az-Zukhruf ayat 86.

Cara men-jama’ (mengkompromi-kan) kedua macam ayat di atas adalah sebagai berikut:
Pertama: Sesungguhnya syafaat yang dinafikan oleh Allah I adalah syafaat yang diminta kepada selain Allah I, sebagai-mana firman Allah I:

“Katakan bahwa syafaat itu semuanya milik Allah.” (Az-Zumar: 44)
Kedua: Adapun syafaat yang kebera-daannya ditetapkan oleh Allah I yaitu syafaat yang memenuhi beberapa syarat:
1.    Kemampuan orang yang akan memberikan syafaat, sebagaimana firman Allah I ketika menjelaskan ketidak-sanggupan orang-orang yang dimintai syafaat:

“Dan mereka menyembah selain Allah sesuatu yang tidak bisa memberikan kemudaratan bagi mereka dan tidak pula manfaat. Dan mereka mengatakan: ‘Mereka adalah para pensyafaat kami di sisi Allah’.” (Yunus: 18)

“Dan tidaklah orang-orang yang mereka seru selain Allah memiliki syafaat akan tetapi (orang yang akan bisa memberi syafaat adalah) orang yang mengakui hak (tauhid) dan meyakini-(nya).” (Az-Zukhruf: 86)
Dari kedua ayat di atas diketahui bahwa syafaat yang diminta dari orang yang telah mati adalah permintaan kepada mereka yang tidak memilikinya.
2.    Yang akan diberikan syafaat adalah muslim yang bertauhid.
Allah I berfirman:

“Orang-orang yang dzalim tidak memiliki teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.” (Ghafir: 18)
Yang dimaksud dengan orang dzalim di sini adalah orang kafir, dengan dalil hadits mutawatir tentang adanya syafaat bagi pelaku dosa besar. Al-Imam Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’abul Iman (1/205) menjelaskan: “Orang-orang dzalim yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir. Dan hal ini dikuatkan oleh awal ayat yang menjelaskan tentang orang kafir.”
Ibnu Katsir t menjelaskan: “Artinya, tidaklah orang-orang yang mendzalimi dirinya dengan kesyirikan kepada Allah I akan mendapatkan manfaat dari teman dekat mereka, dan tidak pula ada seorang penolong yang akan memberikan pembela-an. Sungguh telah terputus segala hubungan dekat dari segala kebaikan.”
Dikecualikan dari semuanya itu adalah Abu Thalib, paman Rasulullah n. Sesung-guhnya Rasulullah n memberikan syafaat kepadanya sehingga dia berada di bagian atas (bagian yang teringan, -red.) api neraka.
3.    Ada izin bagi pemberi syafaat.
Sebagaimana firman Allah I:

“Tidak ada seorangpun yang memberi syafaat di sisi-Nya melainkan dengan seizin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
4.    Yang akan mendapatkan syafaat adalah yang diridhai oleh Allah I.
Sebagaimana firman Allah I:

“Dan berapa banyaknya malaikat yang ada di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali setelah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai.” (An-Najm: 36)1
Adapun dalil-dalil dari Sunnah Rasulullah n sangatlah banyak, dan cukup kita menukilkan beberapa di antaranya:
1.    Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah z, beliau berkata: Rasulullah n bersabda:

“Aku adalah sayyid (pimpinan) anak Adam pada hari kiamat dan orang yang pertama kali dibangkitkan dari kuburnya, dan orang yang pertama kali memberi syafaat dan yang diberikan hak syafaat.”2
2.    Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah z, tentang firman Allah I:

“Semoga Allah membangkitkan kamu (Rasulullah n) pada kedudukan yang terpuji.” (Al-Isra`: 79)
Rasulullah n ditanya tentang ayat ini, beliau pun menjawab:

“Itulah syafaat.”3
3.    Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Jabir bin Abdullah z bahwa Nabi n bersabda:

“Aku diberikan lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelumku: Aku diberi kemenangan dengan takutnya musuh dari jarak satu bulan perjalanan; dijadikan bumi sebagai masjid (tempat shalat) dan alat bersuci, sehingga di mana saja seseorang dijumpai (oleh waktu) shalat maka hendaklah dia shalat; dihalalkan bagiku memakan harta ghanimah yang tidak dihalalkan (kepada seorang nabi pun) sebelumku; aku diberikan syafaat; dan nabi-nabi sebelumku diutus kepada kaumnya sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.”4
(bersambung, insya Allah)


1 Lihat muqaddimah kitab Asy-Syafa’ah karya Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t
2 Dan juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4673) dan Ahmad (2/540) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no. 3908), Syarah Ath-Thahawiyyah (no.107), dan dalam Azh-Zhilal (792)
3 HR. Ahmad (2/441, 444, 528), At-Tirmidzi (no. 3358), Ibnu Jarir (15/145), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (8/372) dan dalam Akhbar Ashbahan. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2508), Ash-Shahihah (no. 2639) dan dalam Azh-Zhilal (784), dan Asy-Syaikh Muqbil t menghasankannya dalam kitab beliau Asy-Syafa’ah (hal. 41).
4 Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Imam Muslim (no. 521), An-Nasa`i (no. 419), Ad-Darimi (1/322, 323) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (8/316).