Futuhat Islamiyah Di Masa ‘Umar
Bermula dari sumpah setia para sahabat Anshar di bukit ‘Aqabah, dekat kota Makkah. Beberapa bulan sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah hijrah ke Madinah. Selesai menunaikan ibadah haji, orang-orang Anshar membuat kesepakatan untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bukit ‘Aqabah.
Dalam pertemuan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan, “Aku membai’at kalian semua untuk membelaku seperti kalian membela anak istri kalian.”
Barra’ bin Ma’rur segera menggenggam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Siap. Demi Yang mengutus Anda membawa yang haq, pasti kami betul-betul membela Anda seperti kami membela keluarga kami. Bai’atlah kami, ya Rasulullah. Kami ahli perang dan ahli pertahanan yang kami warisi turun-temurun….”
Tiba-tiba Abul Haitsam bin at-Taihan memotong sambil bertanya, “Sebetulnya, antara kami dan mereka (Yahudi) ada ikatan perjanjian dan kami akan memutuskannya. Apakah kalau kami melakukannya, kemudian Allah ‘azza wa jalla memenangkan Anda, lalu Anda akan kembali kepada kerabat Anda dan meninggalkan kami?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan berkata, “Bahkan, darah darah (sama-sama luka), hancur hancur (sama-sama binasa). Aku bagian dari kalian dan kalian bagian dariku. Aku memerangi siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan siapa saja kalian berdamai.”
Setelah itu beliau meminta dua belas orang ditunjuk sebagai pemuka bagi dua masyarakat Anshar. Mereka menunjuk tiga dari Aus dan sembilan dari Khazraj.
Inilah peristiwa bersejarah yang dianggap sebagai mata rantai pertama dari Futuhat Islamiyah hingga terjadinya peristiwa Badr, sampai jatuhnya kota Makkah ke dalam pangkuan Islam. Dan kemenangan itu tidak berhenti hanya sampai di situ….
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu mengirim Pedang Allah ‘azza wa jalla menembus batas negeri Irak, setelah menundukkan orang-orang yang murtad. Kemudian, beliau mengarahkannya ke Syam untuk menghadang ambisi Romawi.
Kemudian, diteruskan oleh al-Faruq radhiallahu ‘anhu.
Sesungguhnya, Futuhat yang terjadi di beberapa wilayah yang berdekatan dengan negara Islam, ataupun yang lebih jauh, tidak lain adalah gerakan hidayah kepada manusia yang terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Gerakan besar untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kesyirikan, kekafiran, kebodohan, dan kamaksiatan menuju cahaya tauhid, keimanan, ilmu, dan ketaatan.
Kaum muslimin yang meninggalkan kampung halaman mereka, menembus padang sahara adalah untuk meninggikan Kalam Allah, menyampaikan berita gembira kepada manusia dengan agama-Nya, serta rela mengorbankan jiwa raga dan harta mereka, bukan untuk berbuat kerusakan di muka bumi.
Tujuan utama mereka adalah agar manusia terangkat derajatnya sebagai manusia, beribadah hanya kepada Rabb yang telah menciptakan manusia dan memberi mereka rezeki, bukan kepada sesama makhluk yang sarat dengan kekurangan.
Ketika negeri yang mereka datangi menolak semua pilihan yang ditawarkan, mereka mulai menyerang. Itu pun tanpa melakukan penganiayaan atau penyiksaan terhadap yang luka, dan tidak mengganggu wanita dan anak-anak serta orang-orang yang sudah renta. Tidak pula menghancurkan rumah ibadah penduduk setempat, apalagi membakar rumah penduduk.
Bukan harta rampasan yang mereka cari, bukan pula kemuliaan, ketenaran sebagai penakluk. Mereka lakukan semua hanya untuk Allah ‘azza wa jalla, meninggikan Kalimat-Nya (al-Islam). Senantiasa terbayang di depan mata mereka ketika seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Seseorang berperang demi memperoleh rampasan perang, seseorang berperang agar dikenang (sebagai pahlawan) dan seseorang berperang agar diketahui kedudukannya, maka siapakah yang dikatakan (berperang) di jalan Allah ‘azza wa jalla?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Siapa yang berperang agar Kalimat Allah itulah yang tinggi, dialah yang (dikatakan) berperang di jalan Allah.” (HR. al-Bukhari (2810) dan Muslim (1904) dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu)
Itulah tujuan utama mereka. Kekayaan negeri yang mereka taklukan, tidak menyilaukan mata mereka, hingga melalaikan mereka dari tujuan tersebut. Secantik apa pun wanita yang ada di negeri itu, tidak pula memabukkan mereka sehingga lupa dengan tujuan mulia ini.
Setelah mengalahkan semua prajurit lawan dan menembus ibu kota mereka, pasukan muslimin tidak menjadi sombong dan merendahkan orang-orang yang telah mereka taklukkan. Lebih-lebih lagi, ketika di antara penduduk pribumi ada yang menerima Islam. Kaum muslimin menyambutnya gembira, menjadikannya salah seorang saudara mereka, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Memang, pasukan muslimin di negeri taklukan tidak hanya menampakkan Islam dari ritual ibadah, tetapi juga dari akhlak dan kepribadian mereka. Karena itulah, dengan mudah penduduk setempat menerima Islam.
Itu pula sebabnya, Futuhat Islamiyah menjadi monumen abadi dalam sejarah peradaban manusia. Sudah seharusnya dunia berterima kasih kepada Islam dan kaum muslimin yang melebarkan sayapnya sampai ke negeri-negeri yang jauh, mulai dari Granada, Spanyol, Belanda, terus ke Rusia, atau ke pedalaman Afrika dan ujung timur India.
Akan tetapi, kebanyakan manusia itu ingkar kepada kebaikan. Yang mereka tonjolkan adalah dendam jahiliah. Tidak menerima kenyataan bahwa mereka dikalahkan oleh orang-orang yang menurut mereka selama ini bukan apa-apa.
Bandingkan dengan penaklukan yang dilakukan imperium Romawi dan Persia. Demikian pula yang dilakukan oleh negeri-negeri kafir ke mana saja mereka meluaskan wilayah. Apa yang terjadi di negeri taklukan?
Para pemimpin negeri-negeri yang mereka taklukan menjadi tawanan, atau budak-budak hina yang melayani dan memuaskan hawa nafsu dan keserakahan mereka. Tanah yang subur dan kaya dengan sumber alamnya, mereka kuras lalu dibawa ke negeri mereka, bukan untuk memakmurkan penduduk yang mereka taklukan.
Belum lagi perilaku dan kepribadian penduduk yang mereka datangi. Mereka merusaknya dengan akhlak dan akidah mereka yang sudah rusak. Semua itu adalah bukti yang tidak mungkin terbantah oleh mereka yang masih hidup hatinya dan sehat akalnya.
Kemenangan demi kemenangan diraih kaum muslimin, hingga akhir tiga generasi terbaik umat ini. Dan sudah menjadi sunnah (ketetapan) Allah ‘azza wa jalla, bahwa setiap kenikmatan tentu ada yang dengki terhadap mereka yang merasakannya. Begitulah sampai semesta ini diwarisi oleh Allah ‘azza wa jalla.
Orang-orang yang menekuni sejarah dari kalangan Nasrani dan orientalis berusaha menampilkan kemenangan Islam ini dengan rupa yang sangat buruk. Mereka menuduh bahwa kemenangan (Futuhat) Islam tidak lain adalah perang agama, yang kaum muslimin memaksakan Islam kepada penduduk wilayah yang mereka taklukkan. Mereka gambarkan seakan-akan, di tangan kanannya seorang muslim memegang Kitab Suci al-Quran, sedang yang lain menggenggam senjata.
Mereka menutup mata dengan kenyataan yang menjadi sebab mereka ditaklukkan oleh tentara Allah ‘azza wa jalla.
Mereka lupa, kekalahan mereka yang sangat tragis sekalipun tidak lain adalah karena dosa yang mereka lakukan. Kedurhakaan mereka kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah sumber kelemahan dan kemunduran serta kehancuran mereka. Ditambah pula kezaliman penguasa mereka terhadap rakyat, mempercepat jatuhnya kekuasaan raja-raja mereka.
Lagi pula, dengan persenjataan dan perbekalan yang serba lengkap dan terlatih, jumlah prajurit yang jauh lebih banyak daripada tentara muslimin, bagaimana mereka bisa dihancurkan? Dari mana kekalahan itu?
Alhasil, jelas tidak sama antara Futuhat dan penjajahan. Itulah realita yang ditorehkan sejarah dengan tinta emas, walaupun orangorang yang buta hatinya tidak menyukai.
Namun, di balik itu semua, kita juga tidak boleh lupa siapa tokoh yang berperan dalam berbagai Futuhat tersebut. Mulai dari panglimanya, hingga pucuk pimpinan tertinggi yang mengirim mereka ke wilayah-wilayah tersebut.
Tentu, setelah Abu Bakr ash-Shiddiq, tidak ada nama lain yang kedua kecuali ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu.
Meski tidak pernah mengenyam pendidikan olah keprajuritan seperti yang dilakukan di negara maju, Byzantium dan Persia, pasukan yang beliau kirim mampu meruntuhkan kesombongan kedua kekaisaran besar dunia saat itu.
Sebagaimana ketatnya sikap ‘Umar dalam memilih gubernur wilayah yang dikuasai kaum muslimin, begitu pula dalam memilih panglima perang untuk memimpin pasukan muslimin.
Panglima harus dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya beliau terpaksa mengangkat seseorang yang bukan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menekankan agar panglima tidak bertindak sebelum bermusyawarah dengan sahabat.
Di antara mereka, yang didahulukan oleh ‘Umar adalah para sahabat yang terdahulu dan mula-mula masuk Islam, kecuali jika dia kurang mampu dalam bidangnya.
Bagi ‘Umar, seorang panglima adalah orang yang tenang dan tidak ceroboh, sehingga mampu memanfaatkan setiap peluang, kapan dia menyerang, kapan pula dia berhenti menyerang.
Seorang panglima harus memiliki kekuatan dan pengaruh, juga harus memiliki keberanian dan ahli tempur, apakah memanah, melempar tombak, bermain pedang atau senjata lainnya.
Adalah ‘Umar, jika pasukan sudah berkumpul, beliau mengangkat seorang amir yang memiliki ilmu dan ahli fikih.
Ringkasnya, seorang panglima perang dalam kriteria ‘Umar adalah laki-laki yang ahli dalam bertempur, besar khidmatnya terhadap Islam, tenang dan cermat, memiliki kepribadian yang berpengaruh, dan pemberani.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits