(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf)
Memahami ajaran Islam secara menyeluruh adalah bagian dari manhaj Islam itu sendiri. Kita diperintahkan untuk menyelami seluk-beluk Islam, mulai dari hal yang sangat penting dan mendasar seperti akidah atau tauhid, hingga masalah hukum, ibadah, muamalah, dan lain-lain. Allah l berfirman:
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan yang hak) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Muhammad: 19)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 30)
Salah satu ajaran Islam yang dewasa ini nyaris ditinggalkan dan dianggap tabu oleh sebagian orang, serta oleh sebagian lainnya digembar-gemborkan secara membabi-buta tanpa bimbingan dan ketentuan syar’i, adalah al-muwalah (sikap loyal/setia) dan al-mu’adah (permusuhan), atau yang diistilahkan dengan al-wala’ wal bara’.
Pengertian al-Wala’ wal Bara’
Al-wala’ atau disebut juga al-walyu, secara bahasa mengandung arti berdekatan. Seluruh arti dari kata al-wala’ pada prinsipnya kembali kepada makna dasar ini, yaitu berdekatan. Kata al-wala’ dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar. Kata ini sering pula digunakan untuk memaknai wujud pertolongan dan pembelaan. Adapun al-bara’ atau disebut juga bari’a mengandung arti membebaskan atau melepaskan dan menjauh. Ini adalah salah satu makna dasarnya, di samping makna dasar yang lain yaitu al-khalqu yang berarti penciptaan. Oleh karena itu, salah satu nama Allah l adalah al-Bari.
Para ulama menggunakan dua kata ini, al-wala’ wal bara’, dalam masalah akidah atau keyakinan. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, memaknai kata al-wala’ dengan kecintaan dan pertolongan atau sikap loyal/setia. Adapun al-bara’ adalah kebalikan dari keduanya.
Dengan demikian, al-wala’ secara istilah adalah kecintaan dan sikap loyal kepada Allah l, Rasul-Nya, dienul Islam, dan para pemeluknya dari kalangan kaum muslimin. Adapun al-bara’ adalah membenci segala sesuatu yang diibadahi selain Allah l, membenci kekafiran berikut seluruh ajarannya, dan membenci para pemeluknya serta menampakkan permusuhan kepada semua itu.
Inilah makna al-wala’ wal bara’ dalam Islam. Ia merupakan akidah atau keyakinan dalam hati, yang harus tampak wujudnya melalui perbuatan yang dilakukan oleh anggota badan, seperti keyakinan-keyakinan lainnya yang tidak diakui keberadaannya dalam hati tanpa terlihat wujudnya dalam perbuatan anggota badan.
Apabila semakin menguat wujud akidah ini dalam hati, semakin bertambah pula bukti yang menunjukkan hal tersebut pada perbuatan seorang hamba. Sebaliknya, jika akidah ini melemah, akan berkurang pula bukti keberadaannya pada perbuatan seorang hamba. Selanjutnya, jika akidah ini hilang sama sekali dari hati, hilanglah keimanan secara keseluruhan. Tidak akan tampak wujud keimanan pada anggota badan.
Dengan demikian, kecintaan, pertolongan, dan sikap loyal yang merupakan makna al-wala’, serta kebencian dan pemusuhan yang merupakan makna dari al-bara’, berkaitan dengan hati.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ tentang Akidah al-Wala’ wal Bara’
Sesungguhnya akidah al-wala’ wal bara’ adalah sesuatu yang harus diyakini secara pasti, tidak boleh ada keraguan sedikit pun tentangnya. Berikut ini dalil-dalil yang menjelaskan hal tersebut.
Di antara dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah l tentang al-wala’ wal bara’ adalah sebagai berikut.
”Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah). Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55—56)
Ibnu Jarir ath-Thabari t (wafat tahun 310 H) mengemukakan, “Wahai orang-orang yang beriman, kalian tidak punya penolong selain Allah l, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Adapun orang-orang Yahudi dan Nasrani—yang Allah l telah memerintahkan kalian untuk bara’ (berlepas diri) dari mereka dan melarang kalian untuk menjadikan mereka sebagai penolong—bukanlah pemimpin dan penolong kalian. Justru sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian lainnya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin dan penolong.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)
Allah l juga berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Ibnu Jarir t menerangkan, “Kaum mukminin dan mukminah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah l, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya, serta beriman kepada kitab-kitab-Nya. Ciri khas mereka adalah sebagiannya menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)
Allahlberfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa persaudaraan yang berlandaskan dien akan melahirkan kecintaan, kasih sayang, pembelaan, dan saling menolong. Di samping itu, ayat ini juga menerangkan hakikat hubungan antara kaum mukminin yang menyamai atau bahkan terkadang melebihi hubungan nasab, sehingga tidak ada ukhuwah (persaudaraan) sejati melainkan antara kaum mukminin.
Kemudian tentang al-bara’, Allah l berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya (untuk murka terhadap kalian). Dan hanya kepada Allah kembali (kalian).” (Ali Imran: 28)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
Ibnu Jarir t mengatakan, “Sesungguhnya Allah l melarang seluruh kaum mukminin untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan pemimpin atas orang-orang yang beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya. Allah l juga mengabarkan bahwa sebagian orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi penolong bagi sebagian yang lain sehingga hendaklah sebagian kalian (orang yang beriman) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Kemudian Allah l menegaskan bahwa barang siapa memberikan kecintaan kepada Yahudi dan Nasrani, ia dicap sebagai bagian dari mereka.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)
Dalil-Dalil dari As-sunnah
Dalil dari As-Sunnah tentang al-wala’ antara lain sabda Nabi n:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR. al-Bukhari no. 2446 dan Muslim no. 2585)
Rasulullah n bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَفَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang kalau kalian lakukan niscaya kalian akan saling mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no.54)
Adapun dalil tentang al-bara’, di antaranya hadits Jarir bin Abdillah al-Bajali z, ketika dia datang untuk berbaiat kepada Nabi n atas Islam. Nabi n bersabda, “Aku membaiatmu agar engkau beribadah kepada Allah l dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim, serta memisahkan diri dari orang musyrik.
Dalam riwayat lain:
“Berlepas diri (bara’) dari orang kafir.” (HR. Ahmad no. 19153, 19162, 19163, 19165, 19182, 19219, 19233 dan an-Nasai 7/147—148, no. 4175, 4176, 4177)
إِنَّ أَوْسَطَ عُرَى الْإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ وَتُبْغِضَ فِي اللهِ
“Sesungguhnya cabang keimanan yang paling pokok adalah kamu mencintai sesuatu karena Allah l dan membenci juga karena Allah l.” (HR. Ahmad no. 17793)
Rasulullah n bersabda, “Janganlah kalian tinggal bersama orang-orang musyrik, jangan pula bergabung dengan mereka. Barang siapa tinggal dan bergabung bersama mereka, dia bagian dari mereka.” (HR. al-Hakim 2/141—142, dari Samurah bin Jundub z)
Masih banyak dalil lainnya yang menyebutkan perintah Rasulullah n untuk menyelisihi orang-orang kafir dalam banyak hal.
Dalil Ijma’
Ibnu Hazm t mengatakan, “Memang benar bahwa firman Allah l:
”Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, sesungguhnya dia termasuk golongan mereka….” (al-Maidah: 51)
itu sesuai dengan kenyataannya, yakni dihukumi kafir, masuk ke dalam golongan orang-orang kafir. Masalah ini adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan pendapat, meski oleh dua orang dari kaum muslimin.” (al-Muhalla, 11/138)
Allah l berfirman:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Fatihah: 6—7)
Para ahli tafsir sepakat bahwa orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang yang sesat adalah Nasrani.
Ini adalah doa yang dipanjatkan oleh setiap muslim pada tiap rakaat shalatyang wajib dan sunnah. Ia memohon agar Allah k menunjukinya sehingga dapat menempuh jalan orang-orang yang beriman dalam hal akidah, ucapan, dan amalannya. Ia memohon pula agar dijauhkan dari jalan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan yang semisalnya.
Ini adalah jenis al-wala’ wal bara’ yang sangat jelas, karena mengandung ketundukan kepada Allah l agar dapat mewujudkannya dalam hati setiap muslim. (Lihat al-Wala’ wal Bara’ baina as-Samahah wal Ghuluw)
Hubungan al-Wala’ wal Bara’ dengan Landasan Iman
Akidah al-wala’ wal bara’ dalam Islam berhubungan dengan wujud keislaman. Selama di muka bumi ini ada seorang muslim, bertauhid, dan ada seorang kafir atau musyrik, selama itu pula harus ada wujud al-wala’ wal bara’. Oleh karena itu, al-wala’ wal bara’ adalah akidah, keyakinan, bahkan tuntutan dari kalimat tauhid La Ilaha Ilallah.
Akidah al-wala’ wal bara’ mempunyai kedudukan yang tinggi, terkait dengan dasar-dasar keimanan. Tidak seperti anggapan dan sikap sebagian orang yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu sehingga sengaja menolak dan melupakannya. Padahal tidak akan tersisa iman seseorang tanpa ada al-wala’ wal bara’. Hilangnya al-wala’ wal bara’ berarti hilangnya keimanan. Allah l berfirman:
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa), dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah: 80—81)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t (wafat tahun 728 H) mengatakan, “Keimanan yang ada harus mendorong seseorang untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin atau penolong, karena keimanan dan menjadikan mereka sebagai penolong (adalah dua hal) yang tidak dapat bersatu dalam hati. Maka dari itu, siapa pun yang menjadikan mereka sebagai pemimpin atau penolong berarti belum mewujudkan keimanan yang seharusnya terhadap Allah l, Nabi-Nya, dan apa yang telah diturunkan kepadanya.” (Kitabul Iman hlm. 14)
Allah l berfirman:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah (golongan Allah) adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)
Korelasi atau hubungan antara dasar keimanan dengan al-wala’ wal bara’ adalah sesuatu yang diakui oleh fitrah manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa nonmuslim menyimpan permusuhan dalam hatinya terhadap kaum muslimin dan menanamkan kecintaan kepada sesamanya. Hal ini menuntut kaum muslimin untuk memberikan kecintaan (wala’) kepada kaum mukminin dan menanam kebencian (bara’) kepada orang-orang kafir. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, ’Kami beriman’; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka), ’Matilah kamu karena kemarahanmu itu.’ Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.” (Ali-Imran: 118—119)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu), serta mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.” (al-Mumtahanah: 1—2)
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (al-Baqarah: 120)
“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 109)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Jika mereka berpaling (dari berhijrah), tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya1, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (an-Nisa: 89)
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Catatan Kaki:
1 Ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok orang yang mengaku masuk Islam, namun kemudian bergabung dengan sebuah negeri kafir harbi karena penentangannya. Ayat ini tidak berbicara tentang kaum munafik yang hidup bersama kaum mukminin di Madinah. (Zubdatut Tafsir)