Imam “Asy-Syahid” Hasan Al-Banna. Nama yang ditulis lengkap dengan gelar “spektakuler” itu adalah sosok yang sangat lekat dengan sebuah pergerakan Islam bernama Ikhwanul Muslimin (IM). Selain sebagai founding father, Hasan Al-Banna bisa diibaratkan sebagai guru besar yang menjadi sumber inspirasi gerakan. Bahkan, bagi pengikut setia IM, segala perkataan dan pemikirannya menjadi “titah agung” yang bisa mengalahkan hadits-hadits Rasulullah r sekalipun. Sehingga teramat “wajar” setelah Hasan Al-Banna mangkat, para pemujanya lantas menggelarinya dengan Asy-Syahid. Sebuah gelar yang sejatinya hanya pantas disandang oleh mereka yang telah mendapat jaminan surga dari Allah I.
Sebagai sebuah pergerakan, IM jelas tak bisa dilepaskan dari sepak terjangnya di dunia politik. Di negara-negara yang basis massanya cukup kuat, IM dengan partai yang diusungnya juga berlaga dalam pesta demokrasi untuk memperebutkan pos-pos kekuasaan.
Argumen yang selalu dikemukakan mengapa mereka terjun ke kancah politik adalah bagaimana agar umat Islam (baca: aktivis IM) menguasai kursi mayoritas di parlemen. Logikanya, jika menguasai mayoritas, maka akan menjamin lahirnya pemimpin (berakhlak) Islam, produk perundang-undangannya dijamin Islami, dan seterusnya. Namun pertanyaannya, masihkah argumen ini digunakan jika pemimpin negara ini benar-benar berakhlak Islam tapi bukan dari golongan mereka, produk-produk hukumnya pun juga sesuai syariat tapi jajaran eksekutif dan legislatifnya tidak dihuni mayoritas dari mereka? Segala “dalil” di atas jelas merupakan alasan klasik yang digunakan semua parpol yang merasa partainya adalah yang paling benar, paling bersih, (dan Islami).
Inilah yang ironi. Ketika para aktivisnya rajin mengkampanyekan aksi boikot produk Amerika, mereka justru mewarisi sistem politik Barat (demokrasi) yang notabene adalah “produk” AS yang coba dipaksakan untuk diterapkan di negara-negara muslim. Dengan demokrasi itulah, umat Islam dipaksa mendewakan jumlah. Padahal sejarah membuktikan, betapa banyak peperangan yang dimenangi pasukan Islam meskipun jumlah personil dan teknologi persenjataan kalah jauh dibandingkan musuhnya. Dan sebaliknya, dalam Perang Hunain, umat Islam yang di atas kertas unggul segala-galanya justru kalah karena sebagian kaum muslimin terbuai dengan banyaknya jumlah mereka.
Di panggung “dakwah”, IM pun mengusung dakwah gaya baru yang dianggap lebih membumi. Digelarlah konser nasyid dan sinetron-sinetron “Islami”. Diterbitkan pula novel dan cerpen-cerpen “Islami”. Semua diatasnamakan “dakwah”. Bagi IM, dakwah tauhid atau yang bertemakan fiqih adalah dakwah “penuh resiko” yang hanya akan membuat umat “terpecah” dan lari dari “dakwah”. Dalilnya, apalagi kalau bukan “ukhuwah”. Mereka seolah-olah buta atau sengaja tutup mata dengan sejarah dakwah para Nabi dan Rasul yang penuh ujian dan penentangan yang luar biasa dari kaumnya. Padahal tugas da’i hanyalah menyampaikan dengan hikmah diiringi keikhlasan dan ittiba’ (mengikuti tuntunan) Rasulullah r. Soal hidayah, menjadi hak Allah I semata. Wajar jika kemudian para aktivisnya, selain menjadi dangkal ilmu, juga lebih asyik dengan perebutan kursi senat di kampus atau legislatif di DPR (D).
Oleh karena itu pembaca, sudah semestinya kita terus mengilmui Islam yang benar. Semangat memang perlu, tapi tentu semangat yang dilahirkan oleh ilmu. Sehingga ketika beramal dan beraktivitas dalam bidang apapun kita masih dalam koridor syariat.
Di rubrik lainnya, banyak sajian menarik yang dapat anda simak, pembaca. Semua insya Allah “bergizi” karena selalu dilengkapi dalil-dalil, sesuai motto kami yang mengedepankan keilmiahan.
Selamat membaca!
IM: Badut Dakwah dan Politik
- by Redaksi
- 16/11/2011
- 1 Comment
- 2 minutes read
- 1050 Views
Comments are closed.