(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
Dari Ibnu Abbas c, Rasulullah n bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali iman yang terkuat adalah muwalah (berkasih sayang) karena Allah l dan mu’adah (bermusuhan) karena Allah l. Cinta karena Allah, benci pun karena Allah l.”
Hadits Ibnu Abbas c di atas diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (11537) melalui jalur Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas c.
Hadits ini juga datang dari beberapa sahabat lain, seperti hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh ath-Thayalisi (378), ath-Thabarani, dan yang lain; hadits al-bara’ yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (4/286) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Iman (110).
Asy-Syaikh al-Albani t berkata, “Hadits tersebut, dengan seluruh jalur periwayatannya, naik menjadi derajat hasan, minimalnya. Wallahu a’lam.” (ash-Shahihah 4/306 nomor 1728)
Makna al-Wala’ dan al-Bara’
Al-wala’ adalah pembelaan, cinta, penghormatan, memuliakan, dan kebersamaan. Adapun al-bara’ adalah kebencian, permusuhan, menjauhi, dan berlepas diri.
Al-wala’ bagi seorang muslim adalah cinta kepada Allah l, Rasul-Nya, agama Islam, dan kaum muslimin; membela dan menolong Allah l, Rasul-Nya, agama Islam, dan kaum muslimin. Adapun al-bara’ bagi seorang muslim adalah membenci thaghut (peribadatan selain Allah l), kekafiran, dan para pengikut kekafiran serta memusuhi mereka.
Asy-Syaikh al-Fauzan berkata, “…Setiap muslim wajib meyakini akidah Islam, berwala’ kepada orang yang berakidah Islam dan memusuhi orang yang menentangnya. Ia mencintai orang yang bertauhid dan ikhlas serta berwala’. Ia membenci pelaku kesyirikan dan memusuhi mereka.”
Beliau melanjutkan pembicaraan tentang bentuk wala’ (loyalitas) seorang mukmin, “Kaum mukminin, dari awal penciptaan hingga akhirnya, meskipun tempat tinggalnya berjauhan dan dipisahkan oleh waktu, mereka adalah bersaudara yang saling mencintai. Yang datang belakangan mengikuti yang sebelumnya. Mereka saling mendoakan kebaikan dan saling memohonkan ampun.” (al-Wala’ wal Bara’, hlm. 1—2)
Hakikat al-Wala’ dan al-Bara’
Syaikhul Islam t berkata, “Al-wilayah adalah lawan dari al-‘adawah. Dasar al-wilayah adalah cinta dan taqarrub (mendekatkan diri). Adapun dasar al-‘adawah adalah benci dan menjauh.” (al-Furqan, 1/82)
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Karena al-wala’ dan al-bara’ terkait dengan cinta dan benci, dasar keimanan adalah engkau mencintai segenap nabi dan para pengikutnya, karena Allah l. Engkau pun membenci musuh-musuh Allah l dan musuh-musuh seluruh nabi, karena Allah l.” (Fatawa as-Sa’diyyah, 1/98)
Syaikhul Islam t berkata, “Seorang mukmin, wajib berwala’ dan bara’ karena Allah l. Jika ada seorang mukmin yang lain, ia wajib mencintainya, meskipun ia dizalimi. Karena, perbuatan zalim tidak dapat memutuskan cinta yang berdasarkan keimanan. Apabila satu orang memiliki kebaikan dan keburukan sekaligus, ketaatan dan kedurhakaan, maksiat, sunnah dan bid’ah, ia tetap berhak mendapatkan cinta sesuai dengan kebaikan yang ada padanya. Ia pun berhak mendapatkan kebencian dan hukuman sesuai dengan kadar keburukan yang ada padanya.” (Majmu’ Fatawa, 28/208—209)
Letak Prinsip al-Wala’ dan al-Bara’ dalam Islam
Akidah al-wala’ dan al-bara’ memiliki kedudukan yang sangat urgen dan strategis dalam keislaman seseorang. Ia sangat kuat terhubung dengan keimanan. Bahkan, al-wala’ dan al-bara’ adalah wujud dari hakikat kalimat syahadat La Ilaha Illallah dan Muhammad Rasulullah n.
Ibnu Umar c berkata, “Cinta dan bencilah karena Allah l, kasihi dan musuhi karena Allah l pula. Karena, sesungguhnya engkau tidak akan meraih cinta Allah l melainkan dengan cara demikian. Seorang hamba tidak akan mendapatkan rasa keimanan, walau banyak shalat dan puasanya, melainkan dengan cara tadi.” (Hilyatul Auliya, 1/312)
Syaikhul Islam t berkata, “Hati tidak akan merasakan kebahagiaan dan kelezatan melainkan dengan cara mencintai Allah l dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang Dia cintai. Cinta kepada Allah l tidak akan terlaksana melainkan dengan berpaling dari kekasih selain Allah l. Inilah hakikat La Ilaha Illallah. Inilah millah (agama) Ibrahim al-Khalil q dan seluruh nabi serta rasul. Semoga shalawat dan salam Allah l terlimpah untuk mereka semua.
Adapun syahadat bagian kedua, Muhammad utusan Allah l, maknanya adalah benar-benar hanya mengikuti setiap perintah beliau dan menjauhi semua yang beliau larang. Dari sinilah, Laa Ilaha Illallah menjadi bentuk al-wala’ dan al-bara’, nafyan (bentuk penafian) dan itsbatan (bentuk penetapan).” (Majmu’ Fatawa 28/32)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Menjadi jelaslah bahwa makna La Ilaha Illallah adalah mentauhidkan Allah l dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, dan berlepas diri dari selain-Nya. Allah l telah menjelaskan bahwa bara’ (berlepas diri) semacam ini dan wala’ (cinta) semacam ini adalah wujud syahadat La Ilaha Illallah.” (Fathul Majid hlm. 79)
Bersama Keindahan Islam dalam al-Wala’ dan al-Bara’
Sebagian orang menyangka, prinsip al-wala’ dan al-bara’ mendidik umat Islam untuk tumbuh dan hidup dalam kebencian. Dalam anggapan mereka, Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan buas, tidak mengenal kompromi, dan mengajarkan kezaliman terhadap sesama.
Berikut ini adalah contoh-contoh sikap, cermin dari akidah al-wala’ dan al-bara’, yang membuktikan bahwa ada keindahan dan kenyamanan dalam berprinsip al-wala’ dan al-bara’.
Pertama: Tidak ada paksaan bagi siapa pun untuk masuk Islam.
Allah l berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (al-Baqarah: 256)
Oleh sebab itu, banyak wilayah yang dikuasai Islam terjaga darah penduduknya dan mereka masih tetap memeluk agama mereka sendiri. Namun, mereka berkewajiban untuk menunaikan jizyah. Jizyah adalah sejumlah harta yang ditentukan oleh penguasa muslim, diwajibkan bagi penduduk nonmuslim yang menetap di daerah muslim untuk menunaikannya, tanpa memberatkan atau menzalimi. (Ahkam Ahli Dzimmah 1/34—39)
Jizyah tidak boleh memudaratkan ahli dzimmah sehingga sama sekali tidak diambil dari anak kecil, wanita, atau orang gila. Tentang hal ini, telah dinukilkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama). Demikian pula, jizyah tidak diambil dari orang fakir. Bahkan, orang fakir dari kalangan ahli dzimmah mendapatkan santunan dari baitul mal kaum muslimin. Jizyah juga tidak diambil dari orang tua yang renta, orang yang berpenyakit menahun, orang buta, dan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, walaupun mereka mampu untuk membayar jizyah. Jizyah juga tidak diambil dari pendeta yang menghabiskan waktunya untuk bersembahyang. (Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnul Qayyim, 1/42—51, al-Ijma’ Ibnul Mundzir nomor 230)
Kedua: Seorang ahli dzimmah diperkenankan untuk berpindah-pindah di negeri kaum muslimin, sesuai dengan keinginannya.
Tidak ada wilayah yang terlarang baginya selain tanah al-Haram. Mereka pun boleh menetap di wilayah mana pun yang dikuasai oleh kaum muslimin, selain jazirah Arab. Semua hal ini adalah ijma’ ulama. (Ahkam Ahli Dzimmah 1/175—191, Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, no. 122)
Ketiga: Menjaga kesepakatan yang telah dibuat oleh kaum muslimin dengan orang-orang kafir.
Allah l berfirman:
“Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (at-Taubah: 4)
Abu Rafi’ mengatakan bahwa kaum Quraisy pernah mengutusnya untuk menemui Rasulullah n. Setelah bertemu dan melihat beliau n, muncul keinginan dalam hatinya untuk masuk Islam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya saya tidak ingin kembali kepada mereka selama-lamanya.” Rasulullah n bersabda:
إِنِّي لَا أَخِيسُ بِالْعَهْدِ وَلَا أَحْبِسُ الْبُرُدَ وَلَكِنِ ارْجِعْ فَإِنْ كَانَ فِي نَفْسِكَ الَّذِي فِي نَفْسِكَ الْآنَ فَارْجِعْ
“Sesungguhnya aku tidak bersifat melanggar kesepakatan yang telah dibuat atau menahan utusan musuh. Kembalilah kepada mereka. Jika nanti masih ada keyakinan seperti saat ini, kembalilah kemari.”
Setelah itu, aku kembali kepada kaum Quraisy. Aku lalu kembali menemui Rasulullah n dan masuk Islam. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (no. 23857), Abu Dawud (no. 2752), an-Nasai (no. 8621), dan disahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (no. 702).
Tentang menjaga kesepakatan yang telah dibuat antara kaum muslimin dan orang-orang kafir ini, Ibnu Hazm t menyebutkan adanya ijma’. (Maratibul Ijma’, no. 123)
Keempat: Haramnya darah ahli dzimmah dan orang kafir mua’had (yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin), selama mereka menunaikan kewajiban-kewajiban sebagai ahli dzimmah dan kafir mu’ahad.
Rasulullah n bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا يُوْجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَاماً
“Barang siapa membunuh seorang kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium harumnya surga. Padahal, sesungguhnya harumnya surga dapat tercium dari jarak (perjalanan) empat puluh tahun.” (HR. al-Imam Bukhari no. 3166)
Ibnu Hazm t berkata, “Mereka bersepakat bahwa darah seorang ahli dzimmah yang tidak melanggar adalah haram.” (Maratibul Ijma’, 138)
Kelima: Perbedaan agama tidak menghilangkan hak kerabat.
Allah l berfirman:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, serta ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Asma’ bintu Abi Bakr c berkata, “Ibuku yang masih musyrik datang menjengukku setelah terjadi perjanjian dengan orang-orang Quraisy. Aku pun memohon fatwa dari Rasulullah n. ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang menjengukku dalam keadaan senang. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?’ Rasulullah n menjawab:
نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
“Benar, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. al-Bukhari 2620 dan Muslim 1003)
Rasulullah n juga menjenguk pamannya, Abu Thalib, saat sakit. Ini sebagaimana keterangan Ibnu Abbas c dalam riwayat Ahmad (no. 2008).
Al-Imam al-Bukhari t menyebutkan sebuah riwayat dalam Shahih-nya (no. 886) bahwa Rasulullah n pernah memberi hadiah kepada Umar bin al-Khaththab z sebuah pakaian sutra yang sangat mahal. Kemudian Umar bin al-Khaththab z menghadiahkan pakaian tersebut kepada seorang saudaranya yang masih musyrik di kota Makkah.
Keenam: Berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin atau menampakkan permusuhan terhadap kaum muslimin, selama tidak merugikan.
Allah l berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8—9)
Al-Imam Ibnu Jarir t berkata, “Maksudnya, Allah l tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir, dari seluruh jenis agama dan keyakinan, yang tidak memerangi kalian karena agama. Berbuat baik dan berlaku adil yang dilakukan oleh seorang mukmin terhadap mereka, baik yang memiliki hubungan kerabat/nasab maupun tidak, bukanlah sesuatu yang diharamkan atau dilarang. Selama hubungan tersebut tidak menjadikan mereka mengetahui kekurangan kaum muslimin atau membantu orang-orang kafir dengan perlengkapan dan persenjataan.”
Adapun berlaku adil, wajib hukumnya terhadap siapa pun, terhadap musuh sekalipun. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akan kamu kerjakan.” (al-Maidah: 8)
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Baqarah: 190)
Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan berbuat khianat terhadap orang yang mengkhianati. Sebab, khianat bukan termasuk sikap adil.
Antara Sikap Bara’ terhadap Orang Kafir dan Perintah Berbuat Baik terhadap Ahli Dzimmah
Dari sedikit penjelasan di atas, tentu akan muncul anggapan, “Mengapa ajaran Islam saling bertentangan? Di satu sisi terdapat perintah untuk membenci dan berlepas diri dari orang kafir. Namun, dalam kesempatan yang lain ada juga perintah untuk berbuat baik kepada orang kafir.”
Sungguh, ajaran Islam tidak akan mengalami kontradiksi dan penyimpangan karena Islam diturunkan dari sisi Allah, Dzat Yang Mahabenar dan Mahabijaksana. Islam disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah n, yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Semua adalah wahyu, yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya.
Anggapan di atas, sesungguhnya telah ditepis dan dijawab oleh para ulama. Intinya, masing-masing sikap perwujudan al-wala’ dan al-bara’ hendaknya diletakkan tepat pada tempatnya. Benci dan cinta hendaknya diberikan pada saatnya masing-masing.
Di dalam al-Furuq (3/15—16), Syihabuddin al-Qarafi menjelaskan bahwa apabila demikian ketentuan terhadap hak dzimmah, menjadi sebuah kepastian bagi kita untuk berbuat baik terhadap mereka (ahli dzimmah) dengan sikap lahiriah yang tidak menunjukkan kecintaan hati, sekaligus tanpa sikap yang menunjukkan ta’zhim (pengagungan) terhadap syi’ar kekafiran.
Jika sikap baik terhadap mereka berakibat pada salah satu dari dua hal tersebut, sikap tersebut dilarang oleh ayat atau dalil lainnya.
Hal ini akan semakin jelas dengan contoh. Mengosongkan tempat untuk mereka (ahli dzimmah) ketika datang, bangkit menyambut kedatangan mereka, atau memanggil mereka dengan nama-nama besar yang akan mengangkat derajat, semua ini adalah haram. Demikian juga, jika kita bertemu mereka di jalan, lalu memberi mereka sisi jalan yang luas, baik, dan datar, kemudian kita sendiri memilih jalan yang sempit, tidak baik, dan tidak rata, hal ini juga terlarang.
Di antara yang terlarang juga, memberi mereka kesempatan untuk menduduki pos-pos pemerintahan yang penting dan strategis. Mereka pun tidak boleh menjadi wakil bagi penguasa di dalam penentuan hukum kaum muslimin.
Adapun contoh sikap berbuat baik kepada mereka yang diperintahkan dan tidak menunjukkan kecintaan hati adalah lemah lembut kepada orang lemah di antara mereka, membantu orang fakir, memberi makan yang lapar, memberi pakaian, santun dalam berkata sebagai bentuk rahmat—bukan karena takut atau terhina—, menahan diri ketika diganggu dalam bertetangga (padahal mampu membalas, sebagai bentuk rahmat, bukan karena takut atau hormat), mendoakan hidayah untuk mereka, menjaga harta dan hak-hak mereka, memberi nasihat dan sebagainya.
Kita pun harus selalu mengingat bahwa mereka selalu membenci kita dan mendustakan Nabi Muhammad n. Andai mampu, mereka tentu akan menghancurkan kita dan menghalalkan darah serta harta kita. Mereka adalah makhluk yang paling besar kedurhakaannya kepada Allah l. Kita berbuat baik, seperti contoh di atas, karena melaksanakan perintah Allah l dan Nabi-Nya n, bukan karena cinta dan menghormati mereka.
Sikap Ekstrem dalam al-Wala’ dan al-Bara’
Dalam hal al-wala’ dan al-bara’, terjadi beberapa bentuk sikap ekstrem yang dilarang. Di antaranya:
1. Menghalalkan darah dan harta orang-orang kafir yang telah mendapatkan jaminan keamanan, seperti kafir mu’ahad dan ahli dzimmah; atau bersikap kasar dan zalim kepada mereka tanpa sebab yang syar’i.
2. Menentang akidah al-wala’ dan al-bara’, bahkan menuntut penghapusannya. Alasannya, akidah ini mengajarkan umat Islam untuk membenci orang lain.
3. Memerangi akidah al-wala’ dan al-bara’ dengan taklid (membebek) dan menyebarkan adat orang-orang kafir di tengah-tengah kaum muslimin.
(al-Wala’ wal-Bara’ bainas Samahah wal Ghuluw)
Keberlangsungan Akidah al-Wala’ dan al-Bara’
Akidah al-wala’ dan al-bara’ tetap berlangsung wujudnya bersamaan dengan keberadaan Islam itu sendiri. Selama di muka bumi ini masih ada seorang muslim, al-wala’, cinta, dan loyalitas wajib diberikan untuknya. Ia wajib dibela, ditolong, dan dibantu karena muslim satu dengan yang lain ibarat sebuah bangunan yang tiap-tiap bagiannya saling mendukung dan menopang. Seorang muslim harus merasakan kesedihan dan kesempitan yang dialami oleh saudaranya yang lain. Ia pun harus turut berbahagia di atas kebahagiaan saudaranya. Ia tidak boleh menzalimi, menyakiti, dan melanggar kehormatannya. Harta dan darahnya harus dijaga.
Akidah al-bara’ juga akan selalu berlaku selama di muka bumi masih terdapat satu orang kafir sekalipun. Ia wajib dibenci. Ia tidak boleh diberi cinta dan loyalitas. Setiap muslim harus selalu mengingat dan menyadari bahwa kebencian orang kafir terhadap umat Islam sangatlah mendalam. Mereka selalu berharap dan menunggu kelemahan serta kehancuran umat Islam. Mereka tidak akan pernah ridha, meskipun sesaat, sampai kita mau mengikuti jalan mereka. Segala daya dan upaya, waktu dan tenaga, biaya serta dana, diusahakan untuk memerangi umat Islam, dengan berbagai cara, baik kita sadari maupun tidak.
Maka dari itu, seorang muslim dituntut untuk selalu meningkatkan kekuatan akidah dan keimanan. Caranya adalah dengan memperdalam pengetahuan tentang Islam, bersemangat menuntut ilmu, dan memperbanyak ibadah berdasarkan ilmu yang telah ia peroleh. Dengan demikian, diharapkan ia mampu menempatkan prinsip al-wala’ dan al-bara’ tepat pada tempat dan timbangannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.