APABILA PERSAKSIAN HILAL DITOLAK

Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam hal melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain? Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui oleh pemerintah?
Jawab:
Ibnu Taimiyyah t dalam Majmu’ Fatawa (25/202—208) ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah, tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu (pemerintah setempat). Apakah boleh mereka melakukan puasa yang tampaknya tanggal 9 padahal hakikatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab, “Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang tampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakikatnya tanggal 10 (yakni ‘Idul Adha) meskipun ru’yah itu benar-benar ada.
Hal ini berlandaskan hadits yang terdapat dalam kitab-kitab Sunan dari sahabat Abu Hurairah z dari Nabi n bahwasanya beliau berkata,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi, dan beliau menyatakannya sahih)
Dari ‘Aisyah x ia berkata, Rasulullah n bersabda,
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
“Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau mengatakan bahwa inilah yang diamalkan oleh para imam kaum muslimin seluruhnya)
Seandainya manusia melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 10 karena salah (menentukan waktu), maka wukuf itu cukup (sah) menurut kesepakatan para ulama. Hari itu tetap dianggap sebagai hari Arafah bagi mereka. Apabila mereka wukuf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, tentang sah atau tidaknya wukuf ini ada perbedaan pendapat. Yang tampak, wukufnya juga sah. Ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Malik, Ahmad, dan yang lainnya.
‘Aisyah x berkata,
إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ
“Sesungguhnya, hari Arafah adalah hari yang diketahui oleh manusia.”
Asal permasalahan ini adalah Allah k menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah k berfirman,
Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (al-Baqarah: 189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara untuknya. Dengan demikian, apabila hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya, hal ini tidak disebut sebagai hilal. Demikian pula sebutan syahr, ia diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran/tersohor). Apabila tidak masyhur (tersohor) di antara manusia, berarti bulan belum masuk.
Banyak orang keliru dalam hal ini karena menganggap bahwa jika telah muncul hilal di langit berarti malam itu adalah awal bulan, sama saja baik hilal ini tampak, masyhur (tersohor) di kalangan manusia, diumumkan maupun tidak. Padahal hakikatnya tidak seperti itu. Terlihatnya hilal oleh manusia dan diumumkannya adalah perkara yang harus terwujud (disyaratkan). Oleh karena itu, Nabi n bersabda, “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka, dan ‘Idul Adha. Artinya, jika (umumnya) kalian tidak mengetahui, tidak berakibat adanya hukum. Berpuasa pada hari yang diragukan apakah itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan, tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama. Hal ini karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada, sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum.
Dalam keadaan semacam ini, mereka tetap berpuasa pada hari yang mereka ragukan tersebut, menurut kesepakatan para imam. Adapun hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci berpuasa pada hari tersebut adalah permulaan Ramadhan karena pada asalnya adalah Sya’ban1.
Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua hal.
1. Seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
2. Apabila dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari oleh sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya, apakah ini berarti hari Arafah dan hari nahr baginya adalah tanggal 9 serta10 sesuai dengan ru’yah ini—yang tidak diketahui oleh keumuman orang—ataukah hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui oleh manusia (secara umum)?

Masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka ia tidak boleh berbuka dengan terang-terangan, menurut kesepakatan ulama. Lain halnya jika ia mempunyai uzur yang membolehkan berbuka, seperti karena sakit atau safar.
Berikutnya, apakah ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat di antara ulama dalam hal ini. Yang paling benar adalah tidak berbuka walaupun sembunyi-sembunyi. Ini adalah yang masyhur dari mazhab al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada mazhab mereka berdua yang membolehkan berbuka secara sembunyi-sembunyi, seperti yang masyhur dari mazhab Abu Hanifah dan asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada zaman ‘Umar z melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita ini sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka, “Kalau bukan karena temanmu, aku akan menyakitimu dengan pukulan.”2
Hal itu karena berbuka adalah hari saat manusia umumnya berbuka, yaitu hari ‘Ied (hari raya). Adapun hari yang orang tersebut—yang melihat hilal sendiri—berbuka bukanlah hari raya yang Nabi n melarang manusia untuk berpuasa pada hari itu. Hal ini karena sesungguhnya beliau n melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (kurban) (dengan sabdanya), “Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.”
Jadi, yang beliau larang untuk berpuasa pada hari itu adalah hari ketika kaum muslimin tidak berpuasa dan hari ketika mereka melakukan penyembelihan. Hal ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga merupakan pendapat asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65, dan pendapat al-Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 398)
Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wukuf sebelum hari yang tampak bagi manusia yang lain sebagai tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wukuf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia secara umum. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Bisa jadi, seseorang akan mengatakan bahwa imam (penguasa) yang menetapkan masalah hilal menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil karena meremehkannya dalam hal menyelidiki ‘adalah (kesalehan agama) para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau sebab-sebab lain yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli perbintangan yang mengaku bahwa hilal tidak terlihat.
Jawabannya, sesuatu yang telah tetap hukumnya maka keadaannya tidak berbeda antara (pihak) yang diikuti dalam hal ru’yatul hilal, baik dia itu mujtahid yang benar ijtihadnya, salah ijtihadnya, maupun menyepelekan.

Yang penting, jika hilal tidak tampak dan tidak terkenal sehingga manusia mencari-carinya (berarti awal bulan belum tetap). Apalagi telah terdapat dalam kitab ash-Shahih bahwa Nabi n bersabda tentang para imam (penguasa),
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka itu shalat untuk (mengimami) kalian. Jika mereka benar, (pahala shalat) itu untuk kalian dan untuk mereka. Namun, jika mereka salah, pahalanya untuk kalian dan kesalahannya ditanggung oleh mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Dengan demikian, kesalahan dan peremehannya ditanggung oleh imam (pemerintah), tidak ditanggung oleh kaum muslimin yang tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum terlihat padahal udara cerah hukumnya tidak wajib, menurut kesepakatan (ijma’) umat. Telah sahih pula dari mayoritas para sahabat dan tabi’in bahwa mereka membenci puasa pada hari itu. Ibnu Hajar t mengatakan, “Demikianlah beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak membedakan antara ahli hisab dan yang lainnya (mereka semua sepakat). Maka dari itu, barang siapa membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma’.” (Fathul Bari, 4/123)

2 Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah al-Jarmi, dari ‘Umar bin al-Khaththab z. Hanya saja, Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar z. Artinya, sanad ini terputus. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah t tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.