Kisah Baiat Aqabah

Beberapa orang suku Khazraj dari Madinah ketika melakukan ibadah haji akhirnya bersedia menerima dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelumnya, mereka telah mendengar dari orang-orang Yahudi bahwa akan datang seorang nabi. Ketika nabi itu benar-benar datang, mereka pun beriman kepadanya, sementara orang-orang Yahudi malah mengkufurinya.

Siang dan malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berhenti berdakwah. Setiap musim haji, beliau selalu mendatangi kabilah-kabilah dari luar Kota Makkah untuk mendakwahkan Islam. Namun tak satu pun yang menyambut seruan beliau.

Namun Allah subhanahu wa ta’ala memang ingin menampakkan dan memenangkan al-haq ini. Suatu ketika, di musim haji, datanglah beberapa orang dari suku Khazraj Madinah, yaitu Abu Umamah As’ad bin Zurarah, ‘Auf bin al-Harits, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin ‘Amir, ‘Uqbah bin ‘Amir, dan Jabir bin Abdullah bin Ri’ab.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menemui mereka, menerangkan ajaran Islam dan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Sebelum ini, para pemuka suku tersebut sebenarnya telah sering mendengar berita dari orang-orang Yahudi, sekutu mereka, bahwa akan datang seorang nabi yang dengannya mereka memerangi orang-orang kafir seperti memerangi ‘Aad dan Iram.

Pada tahun berikutnya, datanglah 12 orang, termasuk enam orang pertama selain Jabir. Bersama rombongan ini, ikut serta Mu’adz bin al-Harits bin Rifa’ah saudara ‘Auf, juga ‘Ubadah bin ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abul Haitsam bin at-Taihan, ‘Uwaimir bin Malik, dan Dzakwan bin ‘Abdul Qais.

Tentang peristiwa ini Jabir radhiallahu ‘anhu menceritakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Makkah dan mengajak manusia kepada Islam, beliau mendatangi mereka di setiap musim haji, di pasar ‘Ukkaz, Majannah, sambil berkata, ‘Siapakah yang akan membantuku menyebarkan risalah Rabbku ini? Bagiannya adalah jannah (surga).’ Namun, tidak ada yang mau menyambut seruan itu. Sampai akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala mengirim kami kepada beliau, dan bertemu di ‘Aqabah. Ketika itu beliau bersama ‘Abbas pamannya.

Kami berkata kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, atas dasar apa kami bersumpah setia (bai’at) kepadamu?’ Kata beliau, ‘Kalian berbai’at untuk tetap mendengar dan taat, baik di waktu semangat maupun berat, dalam keadaan lapang maupun sempit (susah), menolongku kalau aku datang kepada kalian dan membelaku seperti kalian membela anak, istri, dan diri kalian sendiri, serta kalian akan mendapat balasan surga.’

Kami pun segera membai’atnya. Yang pertama menggenggam tangan beliau adalah As’ad bin Zurarah padahal dia adalah yang paling muda di antara kami, dan dia berkata, ‘Tunggu dulu, wahai orang-orang Yatsrib (Madinah). Kita tidak melakukan perjalanan ini melainkan kita tahu betul bahwa dia adalah Rasulullah. Membawanya keluar (dari Makkah, red.) pada hari ini berarti menghadapi bangsa Arab seluruhnya dan sebab terbunuhnya orang-orang terbaik dari kalian, serta siap menghadapi peperangan. Kalau kalian sabar terhadap hal ini, ambil sumpah setia ini, dan balasan bagi kalian di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau kalian takut dan mengkhawatirkan diri kalian, maka tinggalkan dia. Ini adalah udzur bagi kalian di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.’

Serempak yang lain berkata, ‘Wahai As’ad, lepaskan tanganmu. Demi Allah, kami tidak akan biarkan bai’at ini berlalu begitu saja dan kami tidak membencinya.’
Kemudian satu per satu dari kami berdiri menggenggam tangan beliau mengucapkan bai’at, lantas beliau memberi syarat, dan menjanjikan surga bagi kami.”

Setelah itu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ibnu Ummi Maktum dan Mush’ab bin ‘Umair radhiallahu ‘anhuma untuk berdakwah di Madinah. Akhirnya, Islam tersebar menembus pintu-pintu setiap rumah di Madinah. Melalui dakwahnya, berimanlah beberapa tokoh seperti Usaid bin Hudhair, Sa’d bin Mu’adz, yang kemudian diikuti seluruh suku Bani Abdil Asyhal, laki-laki dan perempuan, kecuali ‘Amru bin Tsabit bin Qais yang baru masuk Islam ketika terjadi perang Uhud dan dia gugur sebagai syuhada sebelum sempat sujud satu kali pun. Tentang dia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَمِلَ قَلِيْلاً، وَأُجِرَ كَثِيْرًا

“Dia beramal sedikit, tapi diberi pahala berlimpah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari al-Bara’ radhiallahu ‘anhu)

Kemudian Mush’ab radhiallahu ‘anhu kembali ke Makkah. Pada musim haji berikutnya, datanglah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar 73 orang laki-laki dan dua orang perempuan dari Madinah di bawah pimpinan al-Bara’ bin Ma’rur. Mereka berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana halnya yang dikisahkan Jabir radhiallahu ‘anhu. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mereka segera kembali ke kemah-kemah mereka.

Keesokan harinya, orang-orang kafir Quraisy mendatangi mereka dan menanyakan apa yang telah dilakukan mereka semalam. Termasuk mencari kebenaran berita bahwa orang-orang Madinah itu akan memerangi mereka. Abdullah bin Ubai bin Salul yang ketika itu ikut bersama rombongan dari Madinah menampik dan menegaskan ketidakbenaran berita tersebut.

Sekilas tentang Aus dan Khazraj

Ibnu Hisyam menukilkan dari keterangan Hassan bin Tsabit radhiallahu ‘anhu bahwa orang-orang Anshar (penduduk Madinah) adalah keturunan Aus dan Khazraj, yang keduanya adalah anak dari Haritsah bin Tsa’labah bin ‘Amru.

Kedua kabilah ini sesungguhnya pada masa jahiliah selalu bermusuhan dan saling memerangi. Masing-masing dibantu oleh sekutu-sekutu mereka dari golongan Yahudi. Setiap kali mereka berperang, masing-masing dari Yahudi tersebut mengancam, bahwa telah tiba masanya akan datang seorang nabi, dan mengatakan, “Kami akan memerangi kalian bersamanya seperti memerangi ‘Ad dan Iram.”

Setelah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Anshar segera menyambut seruan tersebut, sementara Yahudi justru mengingkarinya. Tentang hal ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan:

وَلَمَّا جَآءَهُمۡ كِتَٰبٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٞ لِّمَا مَعَهُمۡ وَكَانُواْ مِن قَبۡلُ يَسۡتَفۡتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُواْ كَفَرُواْ بِهِۦۚ فَلَعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ ٨٩

“Dan tatkala telah datang kepada mereka sebuah kitab dari sisi Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal mereka sebelumnya senantiasa mengharap-harap kemenangan atas orang-orang kafir. Tapi setelah datang kepada mereka sesuatu yang telah mereka ketahui, mereka mengingkarinya, maka laknat Allah terhadap orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 89)

Ibnu Ishaq mengatakan, “Telah bercerita kepada kami ‘Ashim bin ‘Amr bin Qatadah dari beberapa orang tokoh dari kaumnya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya beberapa faktor yang mendorong kami masuk Islam—dengan rahmat dan hidayah Allah subhanahu wa ta’ala—tatkala kami mendengar dari beberapa orang Yahudi—sedangkan kami waktu itu masih musyrik penyembah berhala—mereka mempunyai ilmu yang tidak ada pada kami. Antara kami dengan mereka sering terjadi permusuhan. Apabila kami mencaci-maki mereka dengan sesuatu yang tidak disukai mereka, mereka berkata, ‘Sungguh hampir tiba masanya sekarang ini, akan diutusnya seorang nabi. Kami akan memerangi kalian bersamanya seperti memerangi bangsa ‘Aad dan Iram.’

Inilah yang selalu kami dengar dari mulut mereka. Namun tatkala Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami segera menyambut seruan beliau ketika mengajak kami untuk beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, apalagi setelah kami tahu ancaman mereka itu. Maka kami mendahului mereka beriman kepada beliau, sedangkan mereka justru mengingkarinya. Dan ayat ini turun berkaitan dengan keadaan kami dan mereka.”

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib


Sumber Bacaan:

  1. Tafsir Ibnu Katsir
  2. Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim
  3. Sirah Ibnu Hisyam
  4. Shahih as-Sirah an-Nabawiyyah, asy-Syaikh al-Albani

Comments are closed.