Mendidik dengan Keteladanan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)

Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah n telah memberi teladan, apa dan bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik untuk meneladani Rasulullah n. Allah l berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Pendidikan yang diajarkan Rasulullah n bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah l berfirman:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah n, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, dan kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan untuk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah n adalah suatu yang sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah n. Allah l berfirman:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah n? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari dan pahamkan anak dengan masalah tauhid. Lantaran misi menanamkan tauhid dan memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah l diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh q diutus kepada kaumnya, misi utamanya adalah mendakwahkan dan mendidik kaumnya dengan tauhid. Allah l berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)

Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi Hud q yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih q yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib q yang berdakwah kepada penduduk Madyan. Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu:

“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)

Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan dan pengajaran kepada umatnya dengan kalimat yang satu, yaitu tauhid. Rasulullah n memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal z, yang kala itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman dengan tauhid. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c, dia berkata: “Rasulullah n bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

“Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)

Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul Qayyim t, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah l (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah l berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka dan Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah l senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389)

Segaris dengan hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t pun menekankan pula, bahkan mewajibkan, untuk setiap muslim membekali diri dengan ilmu yang terkait dengan pengenalan terhadap Allah l. Disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah l meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal. 8)

Kenalkanlah Allah l kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui metode yang bersifat praktis dan mudah dipahami anak-anak. Satu di antara metode itu adalah dengan tanya jawab (di atas). Sebagaimana Rasulullah n bertanya kepada seorang budak wanita. Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami z, menceritakan metode dialog (tanya jawab) tersebut.

قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Rasulullah n bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah n bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah n bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.” (Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)

Demikian metode dialog yang mengalir lancar, ringan, menyentuh tanpa beban. Dialog yang lugas, tegas, menikam tajam ke dalam pusat kesadaran. Menggugah keyakinan, menumbuhkan keimanan nan makin kokoh.

Pengenalan terhadap Allah l sebagai Rabb bisa pula melalui metode pengenalan dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t, bahwa apabila engkau ditanya, dengan apa engkau mengetahui Rabbmu. Maka jawablah: dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Dari adanya ayat-ayat-Nya yang berupa malam dan siang, matahari dan bulan, para makhluk Allah l berada di langit yang tujuh dan di bumi yang berlapis tujuh, serta makhluk-makhluk Allah yang berada di antara keduanya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 22)

Kata Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami t saat memberi penjelasan terhadap perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t di atas, “Mengapa dalil, tanda-tanda dan ayat-ayat (dijadikan dasar) engkau mengetahui Rabbmu? Karena, sesungguhnya Allah l terhijab di dunia ini dan Dia (Allah l) tidak bisa dilihat. Ini berdasarkan hadits Nabi n:

فَإِنَّكُمْ لَنْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا

“Maka sungguh kalian tidak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya no. 2931)

Dengan begitu, iman kepada Allah l termasuk iman terhadap yang gaib. Karena, sesungguhnya Allah l adalah gaib dari penglihatan dan pandanganmu. Namun Dia ada bersamamu, tidak gaib darimu dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, maka Dia bersamamu. Inilah ma’iyyah khashshah atau ma’iyyah ma’nawiyah (kebersamaan secara maknawi), bukan hissiyah (inderawi). Adapun secara hissi (inderawi), Dia gaib dari dirimu. Karenanya, keimanan kepada Allah l termasuk iman pada hal yang gaib, yang membutuhkan tanda dan dalil yang menunjukkan atas wujudullah (keberadaan Allah l). (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman Al-Jami t, hal. 45)

Hikmah dari mencermati dan mengamati segenap ciptaan Allah l, selain bisa memicu rasa ingin tahu anak, juga bisa diarahkan untuk menumbuhkan keimanan kepada Allah l. Membangun kesadaran bahwa di balik semua ciptaan ini, ada yang mengatur, menjaga, memelihara dan menghidupi, yaitu Allah k.

Katakan pula kepada anak, bahwa Allah l mencipta dan mengatur setiap orang berbeda-beda. Tunjukkan karunia dan nikmat yang telah dia rasakan. Ini sebagai upaya menumbuhsuburkan rasa syukur pada diri sang anak. Sikap syukur yang tertanam dalam diri anak diharapkan akan memupus sikap tamak, rakus. Memudahkan untuk menumbuhkan sikap mau berbagi, membantu dan menolong teman, dengan izin Allah l. Dengan sikap syukur ini pula diharap makin mendekatkan anak kepada Allah l dan memupuk jiwa tawadhu’ (rendah hati) dan tidak takabur.

Perlihatkan pula kepada anak sederetan pedagang yang menjual barang dagangan yang sama. Masing-masing pedagang tidak saling berebut pembeli dan tidak saling mematikan pesaing antara pedagang yang satu dengan yang lain. Mereka bersaing secara sehat. Masing-masing mereka mendapatkan rizki sesuai kadar yang telah Allah l tentukan untuk mereka. Subhanallah! Sebuah fenomena yang memperkaya batin anak, mengasah kepekaannya dan menumbuhkan keimanan dalam aspek tauhid rububiyah. Yaitu, tauhid yang menumbuhkan keyakinan bahwa sungguh Allah l itu Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan dan mengatur alam semesta ini. Dengan keyakinan semacam ini, anak tak perlu lagi risau, hasad, iri atau benci bila melihat temannya mendapatkan sesuatu. Dia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan rizkinya oleh Allah l. Maka, pupuslah segala macam hasad, iri, benci di dalam hatinya. Kemudian terpancarlah dari diri anak akhlak nan mulia. Semua ini didasari tauhid yang lurus, bersih dari segala noda kesyirikan. Ibarat pohon, akarnya menghunjam kokoh ke dasar bumi, cabangnya menjulang menggapai angkasa raya, daunnya rimbun lebat meneduhkan suasana, dan buahnya bermunculan di setiap musim. Allah l berfirman:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”  (Ibrahim: 24-25)

Demikianlah pohon keimanan. Pokok akarnya kokoh di dalam hati seorang mukmin, secara ilmu dan i’tiqad (keyakinan). Cabangnya berupa ucapan yang baik, amal shalih, akhlak yang disukai, adab (kesantunan) yang baik (yang mengarah) pada langit, yang senantiasa menapak ketinggian kepada Allah l. Dari pohon itu mencuat amal-amal dan perkataan-perkataan yang membawa manfaat bagi seorang mukmin dan yang lainnya. Itulah syajaratul iman (pohon keimanan). Ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam Taisir Al-Karimirrahman (hal. 451).

Karenanya, pendidikan tauhid ini harus benar-benar mendapat perhatian. Nabi Ya’qub q saat menjelang ajal menjemput masih tetap memerhatikan masalah tauhid terhadap anak-anaknya. Ini dilukiskan dalam Al-Qur`an:

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)

Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah n adalah membaguskan semangat anak untuk beribadah kepada Allah l. Anak dihasung untuk senantiasa melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa, dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dalam menunaikan kewajiban ibadah. Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik untuk menunaikan yang wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah n bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menyatakan hadits ini hasan shahih.)

Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki dan perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114)

Untuk mengarahkan anak tekun dalam beribadah memerlukan pola yang mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari orangtua dan orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang ‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya. Syariat pun sangat tidak membuka peluang terhadap orang yang hanya bisa berbicara (menyuruh) namun dirinya tidak melakukan apa yang dikatakannya. Allah l berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)

Dengan demikian, keteladanan sangat mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata. Bukan sekadar berbicara tanpa aksi.

Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri untuk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai dan tidak menghiraukan seruan untuk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tidak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i.

Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik dan menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, dan lain-lain.

Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, dan lain-lain. Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila) seseorang menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut akan menjadi terpuji karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979)

Saat seseorang berbicara tentang adab, maka sesungguhnya dia berbicara masalah akhlak. Adab dan akhlak, satu hal yang tidak ada perbedaan padanya. Akhlak terhadap Allah l adalah tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Mentauhidkan-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat. Seseorang yang berbuat syirik, senyatanya dia berbuat zalim yang besar. Allah l berfirman:

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Akhlak seorang muslim terhadap Rasul-Nya n adalah tidak lancang terhadap beliau n. Allah l berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2)

Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t bahwa ayat ini meliputi kandungan adab terhadap Allah l dan Rasulullah n. Mengagungkan, menghormati, dan memuliakannya. Allah l telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dengan perkara keimanan terhadap Allah l dan Rasul-Nya n. Yaitu, menunaikan perintah-perintah Allah l dan menjauhi larangan-larangan-Nya. (Sehingga) menjadikannya berjalan di belakang perintah-perintah Allah l dan mengikuti Sunnah Rasulullah n dalam seluruh urusan mereka. Sikap mereka tidak mendahului Allah l dan Rasul-Nya n. Mereka tidak berkata sampai beliau n berkata. Mereka tidak menyuruh sampai Rasulullah n memerintahkan. Maka, sungguh inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah l dan Rasul-Nya n, yang merupakan bentuk kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannya. (Sedangkan apabila) bersikap melancanginya, dirimu akan meninggalkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang langgeng. Dalam ayat ini pun terkandung larangan yang keras mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah n di atas perkataan beliau n. Maka, sesungguhnya tatkala telah terang Sunnah Rasulullah n, wajib untuk mengikuti dan mendahulukannya atas selainnya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 889)

Selain mendidik adab terhadap Allah l dan Rasul-Nya n, anak mesti pula dididik untuk memiliki adab terhadap sesama manusia. Dalam hal ini yang utama sekali mendidik akhlak anak terhadap orangtuanya. Mendidik agar anak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, tak semata dengan memberikan asupan ilmu. Lebih dari itu, hendaknya seorang anak diberi ruang yang bebas untuk membangun ikatan emosional dengan kedua orangtuanya, sekaligus sebagai media mempraktikkan ilmu yang didapatnya. Melalui interaksi dan komunikasi yang sehat, diharapkan ikatan itu terbentuk sehingga anak memiliki rasa kepedulian terhadap orangtuanya. Bisa saja seorang anak memiliki ilmu yang cukup dan paham tentang bagaimana harus birrul walidain (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Namun manakala ikatan emosional ini tidak dibangun dan dibentuk sejak dini, jalinan kedekatan dengan orangtua pun bisa mengalami hambatan. Anak akan merasa kesulitan mengamalkan ilmu dan pemahamannya. Kepekaannya menjadi tidak tajam. Kepeduliannya pun tumpul. Padahal Allah l berfirman:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)

Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anaknya. Mendidik bukan semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak tersebut mengamalkan ilmunya secara benar dan berkesinambungan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orangtua, anak, dan pendidik, di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di pesantren, lantas orangtua tidak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang anak. Ini adalah sikap tidak tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu, bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua dan anak. Ini semua sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik. Allah l berfirman:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Ma`idah: 2)

Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak untuk shalat sejak usia tujuh tahun yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan dan pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu pula aspek pengamalan dalam masalah birrul walidain, selain penanaman ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, dan mengikatkan suasana emosional anak dengan orangtuanya. Kepedulian, perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi ‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional. Matang dalam bersikap dan dewasa dalam menghadapi masalah. Tidak reaksioner, meletup-letup dan kekanak-kanakan sehingga memperkeruh masalah yang ada. Nas`alullah as-salamah wal ‘afiyah. Wallahu a’lam.

While viewing the website, tap in the menu bar. Scroll down the list of options, then tap Add to Home Screen.
Use Safari for a better experience.