(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari)
Membaca Surah Al-Qur’an Setelah al-Fatihah
Setelah membaca al-Fatihah, Rasulullah n membaca surah-surah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hukum qiraah (membaca surah-surah Al-Qur’an) setelah al-Fatihah adalah mustahab (sunnah) menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Malik, ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Ahmad. (al-Majmu’ 3/353—354, al-Mughni, Kitab ash-Shalah, “Fashl Saktatul Imam Ba’dal Fatihah, mas’alah: Qala Tsumma Yaqra’ Suratan fi Ibtida’iha …”)
Jika shalat fardhu itu dikerjakan pada malam hari, yaitu maghrib dan isya1 serta shalat subuh, demikian pula shalat Jum’at, shalat ‘Iedain, shalat dua gerhana (gerhana matahari dan bulan), shalat istisqa’, dan shalat nafilah seperti shalat tarawih, beliau mengeraskan bacaan beliau (jahr). Adapun dalam shalat fardhu di siang hari, zhuhur dan ashar2, juga shalat nafilah seperti shalat rawatib, shalat dhuha, dan selainnya, Rasulullah n tidak mengeraskan bacaan beliau (sirr).
Tentang masalah shalat fardhu yang bacaannya jahr dan sirr, al-Imam an-Nawawi t telah menyebutkan adanya ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan khalaf (generasi belakangan) maupun salaf (generasi terdahulu yang saleh). Terlebih lagi, banyak hadits sahih yang menunjukkan hal ini. (al-Majmu’, 3/355)
Demikian pula pendapat Ibnu Hazm t sebagaimana dalam Maratibul Ijma’. (hlm. 60)
Hikmah Jahr dan Sirr dalam Bacaan Shalat
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Perbedaan jahr dan sirr antara shalat malam hari dan shalat siang hari sungguh merupakan puncak keselarasan dan hikmah. Hal ini karena malam hari (yang bacaan diucapkan dengan jahr, pen.) adalah saat suara-suara menjadi tenang, gerakan pun tenang, dan hati kosong dari berbagai kesibukan. Begitu pula, konsentrasi yang terpencar pada siang hari dapat terkumpul di waktu malam. Adapun siang hari adalah tempat kesibukan yang panjang bagi hati dan badan. Malam adalah tempat bertemunya hati dengan lisan dan bertemunya lisan dengan telinga.
Oleh karena itulah, As-Sunnah mengajarkan bacaan pada shalat fajar (shalat subuh) lebih panjang daripada bacaan dalam shalat-shalat fardhu yang lain. Dalam shalat subuh, Rasulullah n membaca sekitar 60—100 ayat. Abu Bakr ash-Shiddiq z membaca surah al-Baqarah dalam shalat fajar. Umar ibnul Khaththab z membaca surah an-Nahl, Hud, Bani Israil, dan Yunus serta surah-surah semisalnya. Saat itu adalah saat seseorang bangun dari tidurnya, hati sangat kosong dari berbagai kesibukan. Oleh karena itu, jika yang pertama kali mengetuk pendengaran hati adalah Kalamullah yang berisi kebaikan seluruhnya, bertepatan dengan kosongnya hati dari berbagai kesibukan, tentu kebaikan tersebut akan mendapatkan tempat di dalam hati dengan mapan, tanpa ada yang mendesaknya.
Adapun siang hari, keadaannya berlawanan dengan apa yang kita sebutkan di atas sehingga bacaan shalat di siang hari itu dilakukan dengan sirr. Namun, bacaan sirr ini dilakukan jika tidak berhadapan dengan hal lain yang lebih kuat, seperti adanya kumpulan orang banyak dalam dua shalat Id dan shalat Jum’at, shalat istisqa’ dan kusuf (gerhana). Menjahrkan bacaan ketika itu lebih bagus dan lebih pantas agar tujuan tercapai dan lebih bermanfaat bagi banyak orang. Sementara salah satu tujuan risalah yang paling agung adalah membacakan Kalamullah kepada mereka dan menyampaikannya pada kumpulan manusia yang banyak. Wallahu a’lam. (I’lamul Muwaqqi’in, 2/91)
Berita para Sahabat g tentang Bacaan Nabi n
Para sahabat g bisa mengetahui Rasulullah membaca surah Al-Qur’an dalam shalat sirriyah dari gerakan jenggot beliau. Hal ini dikabarkan oleh sejumlah sahabat, seperti Khabbab ibnul Arat z ketika ditanyakan kepadanya apakah Nabi n membaca surah ketika shalat zhuhur dan ashar. Khabbab mengiyakan dan menyatakan bahwa mereka mengetahui hal tersebut dari gerakan jenggot beliau n. (HR. Al-Bukhari no. 760)
Surah yang dibaca Rasulullah n juga diketahui dari bacaan yang terkadang beliau perdengarkan kepada para sahabat yang shalat di belakang beliau. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah z yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya (no. 759) yang akan dibawakan dalam bacaan shalat zhuhur, insya Allah.
Terkadang Rasulullah n membaca surah yang panjang. Namun, pada kesempatan yang lain beliau membaca surah yang pendek. Bisa jadi, karena sedang dalam perjalanan/safar, atau beliau sedang sakit, atau beliau memutus bacaannya karena batuk. Pernah pula beliau n memendekkan shalat dan bacaannya karena mendengar tangisan anak kecil yang ibunya ikut shalat di belakang beliau. Hal ini diceritakan oleh Anas bin Malik z:
“Suatu hari dalam shalat fajar, Rasulullah n meringankan shalat. Beliau n membaca surah yang paling pendek dari dua surah dalam Al-Qur’an. Ditanyakan kepada beliau:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، لِمَ جَوَّزْتَ؟ قَالَ: سَمِعْتُ بُكَاءَ صَبِيٍّ فَظَنَنْتُ أَنَّ أُمَّهُ مَعَنَا تُصَلِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أُفْرِغَ لَهُ أُمَّهُ
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau memendekkan/meringankan pelaksanaan shalat?” Beliau menjawab, “Aku mendengar tangisan anak kecil. Aku sangka ibunya ikut shalat bersama kita sehingga aku ingin memberikan kesempatan kepada ibunya untuk anaknya.” (HR. Ahmad 3/257, sanadnya sahih menurut syarat Syaikhani [al-Bukhari dan Muslim, red.], kecuali Ali bin Zaid, riwayatnya mutaba’ah (dalam kitab Shahih hanya sebagai pendukung), sebagaimana kata al-Imam al-Albani t dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/ 391)
Dalam riwayat al-Bukhari (no. 708) disebutkan bahwa Anas bin Malik z berkata:
مَا صَلَّيْتُ خَلْفَ إِمَامٍ أَخَفَّ صَلاَةً مِنْ رَسُوْلِ اللهِ n وَلاَ أَتَمَّ، وَإِنْ كَـانَ رَسُوْلُ اللهِ n لَيَسْمَعُ بُكاَءَ الصَّبِيِّ فَيُخَفِّفُ مَخَافَةَ أَنْ تُفْتَنَ أُمُّهُ
“Aku tidak pernah shalat di belakang imam yang paling ringan namun paling sempurna shalatnya daripada Rasulullah n. Pernah beliau mendengar tangisan anak kecil, beliau pun meringankan shalat karena khawatir tangisan bayi tersebut memfitnah3 ibunya.”
Kebiasaan Rasulullah n ketika membaca surah dalam Al-Qur’an adalah memulai dari awal surah. Sering kali beliau membaca satu surah sampai selesai dalam satu rakaat. (Zadul Ma’ad, 1/209)
Terkadang pula beliau n membagi satu surah dalam dua rakaat. Bahkan, pernah pula beliau n mengulangi satu surah secara sempurna dalam rakaat kedua padahal telah dibaca dalam rakaat pertama4. Kadang-kadang dalam satu rakaat beliau menggabungkan dua surah atau lebih. Hal ini beliau lakukan dalam shalat sunnah. Akan tetapi, dalam shalat fardhu tidak didapatkan (riwayat) bahwa beliau n melakukannya. (Zadul Ma’ad, 1/209)
Disebutkan, ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang bernama Kultsum ibnul Hidm atau Kultsum ibnu Zahdam atau Kurz ibnu Zahdam5. Ia biasa mengimami mereka di masjid Quba’. Setiap kali hendak membaca bacaan Al-Qur’an dalam shalat setelah membaca al-Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surah al-Ikhlas sampai selesai. Setelahnya, barulah ia membaca surah yang lain. Demikian yang dilakukannya dalam setiap rakaat. Teman-temannya pun menegurnya. Namun, ia bersikukuh untuk meneruskan kebiasaannya tersebut sembari mempersilakan mereka mencari imam yang lain. Orang-orang lalu mengadukan hal ini kepada Rasulullah n. Beliau n lalu berkata:
يَا فُلاَنُ، مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ؟ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُوْمِ هَذِهِ السُّوْرَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ؟ فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّهَا. قَالَ: حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ
“Wahai Fulan (Rasulullah menyebut namanya), apa yang menghalangimu untuk melakukan saran teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk senantiasa membaca surah al-Ikhlas dalam setiap rakaat?” Dia menjawab, “Aku mencintai surah tersebut.” Beliau n pun bersabda, “Kecintaanmu kepada surah tersebut memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari no. 774)
Penggabungan Surah-Surah Mufashshal
Rasulullah n pernah menggabungkan dua surah mufashshal6 yang semakna dalam hal nasihat, atau hukum, atau kisah yang ada di dalamnya. Surah-surah yang pernah dibaca bersama dalam satu rakaat itu adalah sebagai berikut.
1. Ar-Rahman (78 ayat) dan an-Najm (62 ayat)
2. Al-Qamar (55 ayat) dan al-Haqqah (52 ayat)
3. Ath-Thur (49 ayat) dan adz-Dzariyat (60 ayat)
4. Al-Waqi’ah (96 ayat) dan al-Qalam (52 ayat)
5. Al-Ma’arij (44 ayat) dan an-Nazi’at (46 ayat)
6. Al-Muthaffifin (36 ayat) dan ‘Abasa (42 ayat)
7. Al-Mudatstsir (56 ayat) dan al-Muzammil (20 ayat)
8. Al-Insan (31 ayat) dan al-Qiyamah (40 ayat)
9. An-Naba’ (40 ayat) dan al-Mursalat (50 ayat)
10. Ad-Dukhan (59 ayat) dan at-Takwir (29 ayat)
Demikian yang disebutkan oleh hadits Ibnu Mas’ud z yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 775) dan Muslim (no. 1910), tanpa perincian surah-surah di atas. Perinciannya disebutkan oleh riwayat Abu Dawud (no. 1396).
Terkadang Rasulullah n menggabungkan surah-surah yang panjang dalam satu rakaat, seperti yang pernah beliau n lakukan dalam shalat malam. Dalam satu rakaat, beliau n membaca surah al-Baqarah, an-Nisa, dan Ali Imran7. Rasulullah n pernah bersabda:
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُوْلُ الْقِيَامِ
“Shalat yang paling utama adalah yang panjang berdirinya.” (HR. Muslim no. 1765)
Ketika Rasulullah n membaca surah al-Qiyamah dan sampai pada ayat yang akhir:
“Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (al-Qiyamah: 40)
Beliau n mengatakan:
سُبْحَانَكَ فَبَلَى
“Mahasuci Engkau, tentu Engkau mampu.”
Jika beliau n membaca:
”Sucikanlah nama Rabbmu Yang Mahatinggi.” (al-A’la: 1)
Setelahnya beliau berkata:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
“Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi.” (HR. Abu Dawud no. 883 dari Ibnu Abbas c)
Al-Imam al-Albani t menyatakan, secara zahir mengucapkan seperti ini hukumnya mustahab bagi setiap orang yang shalat kecuali makmum dalam shalat jahriyah, karena kalau ia mengucapkan سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى ia akan tersibukkan dari mendengarkan bacaan imam. Sementara Allah l berfirman:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah dan diamlah kalian, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (al-A’raf: 204) (Ashlu Shifat Shalatin Nabi n, 1/408)
Bolehnya Mencukupkan Qiraah dengan al-Fatihah saja
Telah disebutkan di atas bahwa hukum qiraah setelah al-Fatihah adalah mustahab. Oleh karena itu, jika ada orang shalat hanya membaca surah al-Fatihah dan tidak membaca surah yang lain setelahnya maka dia tidak disalahkan. Bahkan hal ini hukumnya boleh, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat berikut ini.
Adalah Mu’adz ibnu Jabal z biasa shalat isya bersama Rasulullah n. Setelah itu, ia pulang ke tempatnya dan mengimami teman-temannya. Suatu malam, ia pulang dari shalat jamaah bersama Rasulullah n lalu mengimami orang-orang seperti biasanya. Sulaim, seorang pemuda dari Bani Salamah, ikut shalat bersama orang-orang tersebut. Ketika shalat Mu’adz terasa panjang oleh si pemuda, ia pun keluar dari jamaah lalu shalat sendirian di sisi masjid. Kemudian ia keluar dan memegang tali kekang untanya. Selesai shalat, hal tersebut disampaikan kepada Mu’adz. “Sungguh ada kemunafikan pada dirinya! Aku pasti akan mengabarkan perbuatannya kepada Rasulullah n,” kata Mu’adz. Si pemuda juga mengatakan, “Aku pun sungguh akan mengabarkan perbuatan Mu’adz kepada Rasulullah n.”
Keesokan harinya, mereka mendatangi Rasulullah n. Mu’adz mengabarkan kepada beliau perbuatan si pemuda. Si pemuda pun berkata, “Wahai Rasulullah, Mu’adz lama berada di sisimu. Kemudian dia pulang ke tempat kami untuk mengimami kami, lalu dipanjangkannya shalat.”
Mendengar keluhan si pemuda, Rasulullah n menegur Mu’adz, “Apakah engkau hendak menjadi juru fitnah, wahai Mu’adz?”
Beliau n juga mengatakan kepada si pemuda, “Engkau wahai anak saudaraku, apa yang engkau perbuat (engkau baca) bila engkau shalat?”
“Aku membaca Fatihatul Kitab (surah al-Fatihah) dan aku memohon surga kepada Allah serta berlindung dari neraka8. Aku tidak tahu apa yang sayup-sayup diucapkan olehmu, begitu pula yang diucapkan oleh Mu’adz!” jawab si pemuda.
Rasulullah n menjawab, “Aku dan Mu’adz di antara dua ini atau yang semisalnya.”
Si pemuda berkata, “Akan tetapi, Mu’adz akan mengetahui jika kaum yang akan menyerang telah datang.”
Sungguh dikabarkan bahwa musuh telah datang. Mereka pun maju menghadapi musuh, termasuk si pemuda. Akhirnya, ia menemui syahidnya. Setelahnya, Rasulullah n berkata kepada Mu’adz, “Apa yang telah dilakukan oleh pemuda yang mendebatku dan mendebatmu?” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, Mahabenar Allah, sedangkan aku telah salah. Pemuda itu syahid.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1634 dan al-Baihaqi. Al-Imam al-Albani menyatakan sanadnya jayyid [bagus])
Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 793) meriwayatkan pula ucapan si pemuda dalam shalatnya dan haditsnya disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud. Asal kisah ini ada dalam Shahihain.
Tidak Ada Keharusan Membaca Surah Tertentu dalam Shalat
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Rasulullah n tidak mengharuskan membaca surah tertentu dalam shalat sehingga tidak boleh membaca selainnya, selain dalam shalat Jum’at dan dua shalat Id. Adapun shalat-shalat yang lain, Abu Dawud menyebutkan hadits Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, ‘Tidak ada satu pun surah mufashshal, baik yang pendek maupun yang panjang, melainkan aku pernah mendengar Rasulullah n mengimami manusia dengan membacanya dalam shalat wajib9’.” (Zadul Ma’ad, 1/209)
(insya Allah bersambung)
Catatan Kaki:
1 Pada dua rakaat yang pertama.
2 Demikian pula rakaat ketiga dari shalat maghrib dan dua rakaat yang terakhir dari shalat isya.
3 Maksudnya, mengacaukan shalat ibunya sehingga tidak bisa khusyuk karena risau memikirkan anaknya yang terus menangis.
4 Insya Allah akan disebutkan dalilnya.
5 Silakan melihat perbedaan pendapat tentang namanya ini dalam Fathul Bari (2/334).
6 Dinamakan mufashshal karena banyaknya pemisah antara surah dan basmalah. Banyak pendapat tentang surah-surah mufashshal. Namun, yang sahih, awal mufashshal adalah surah Qaf sampai akhir surah dalam Al-Qur’an. (Fathul Bari, 2/335)
7 Hal ini akan disebutkan dalam pembahasan tentang bacaan shalat malam, insya Allah.
8 Ucapan pemuda yang didiamkan oleh Rasulullah n inilah yang menjadi dalil dalam permasalahan ini.
9 HR. Abu Dawud no. 814, namun didhaifkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Dhaif Sunan Abi Dawud.