(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Siapa gerangan yang tak hendak memiliki rumah tangga bahagia, yang dipenuhi mawaddah wa rahmah? Setiap insan yang berakal lurus tentu mendambakannya.
Islam telah memberikan aturan yang sempurna dan kiat-kiat jitu untuk mewujudkannya, sebelum membinanya, di saat menjatuhkan pilihan, dan dalam perjalanan membinanya.
Seorang lelaki dan seorang wanita yang telah memutuskan untuk melangkah ke kehidupan orang dewasa, hendaknya menyadari bahwa mereka menikah dengan anak manusia yang sebagaimana dimaklumi tidak ada yang sempurna. Bahkan, manusia adalah tempat salah dan dosa, seperti kata Rasulullah n,
كُلُّ بَنِي آدَم خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 4515 dan al-Misykat no. 2341)
Seorang lelaki tidaklah menikah dengan bidadari yang sempurna. Seorang wanita tidak pula dinikahi oleh pria yang sesuci malaikat. Oleh karena itu, hendaknya setiap pihak menyadari bahwa dalam perjalanan rumah tangga, masing-masing akan mendapatkan kekurangan dan kesalahan dari pasangannya. Karena itulah, kehidupan dua anak manusia yang semula tidak saling mengenal, kemudian bersatu dalam sebuah atap, sebuah kamar, bahkan satu selimut, tidak menutup kemungkinan akan muncul kesalahpahaman. Ini adalah suatu kewajaran orang yang hidup bersama.
Pikirkanlah wahai para suami….
Andai salah seorang dari kalian memiliki teman seperjalanan selama berbulan-bulan, apakah bisa digambarkan di antara keduanya tidak pernah terjadi kesalahpahaman? Orang yang menuntut agar selamanya tidak terjadi kesalahpahaman berarti dia telah menuntut sesuatu yang mustahil.
Lantas, bagaimana kiranya dengan seorang wanita yang hidup bersama Anda sepanjang umur Anda yang tersisa, atau seorang lelaki yang hidup bersama Anda, wahai wanita, sampai akhir hayat Anda? Apakah Anda ingin suci dari kesalahan atau maksum dari ketergelinciran? Siapa yang tidak bisa bergaul dengan teman hidupnya dengan menerima segala kekurangan yang ada—selama urusannya bukan cacat dalam hal agama atau akhlak—niscaya hidupnya lebih dekat kepada kekeruhan daripada kejernihan. Barangkali, perjalanan waktu akan membawanya kepada rasa benci dan permusuhan, keputusasaan dari meraih cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, tidaklah berlebihan apabila ada yang mengatakan, “Sempitnya dada untuk menerima uzur dan tidak mau menutup mata dari kesalahan adalah sebab hancurnya rumah tangga.”
Termasuk perkara yang perlu diperhatikan bagi sepasang suami istri bahwa hari-hari awal pernikahan adalah masa-masa untuk saling mengenal pribadi dan sifat masing-masing. Orang yang berakal lagi cerdas, walau dalam waktu yang singkat, tentu akan dapat memahami pribadi teman hidupnya. Apa yang dia sukai, apa yang dibencinya, apa kekurangannya, dan apa kelebihannya. Setelah itu, dia bergaul dengan pasangannya sesuai dengan apa yang dipahami dan dikenalinya. Tentu saja, membangun keluarga yang bisa saling memahami bukanlah hal yang mudah. Siapa yang berhasil melakukannya, dia akan beroleh kebahagiaan yang tiada terkira.
Karena itulah, hamba-hamba yang beriman memohon kepada Allah l, Rabb mereka, agar memberi rezeki kepada mereka berupa istri-istri yang dapat menyejukkan mata-mata mereka. Allah l berfirman menyebutkan doa tersebut,
Dan orang-orang yang berkata dalam doa mereka, “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami rezeki berupa istri-istri dan anak-anak (keturunan) yang menjadi penyejuk mata bagi kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Apa yang kami uraikan di atas merupakan pembuka terhadap masalah yang hendak kita bicarakan, yaitu pembicaraan seputar al-hayat az-zaujiyah, kehidupan sepasang insan dalam sebuah rumah tangga.
Tahapan Pertama
Tahapan pertama yang ditempuh bagi seseorang yang ingin membangun sebuah keluarga adalah memilih teman hidup. Seorang lelaki sebagai pihak yang mencari, mungkin harus bolak-balik bertanya dan mencari tahu, siapa wanita yang bisa diajaknya bekerja sama dalam hidup ini. Yang mau menjadi syarikah hayah (teman hidup)nya. Yang mau setia menemaninya dalam suka dan duka, dalam tawa dan tangis.
Di sisi lain, seorang wanita berada pada pihak yang menanti. Adakah seseorang akan mengetuk pintu rumah walinya, yang akan membawanya dari kesendirian menuju kebersamaan yang penuh dengan ketenangan?
Apabila perkara memilih ini lebih mudah bagi lelaki, tidak demikian halnya bagi wanita. Di sinilah peran wali, ia hendaknya menolongnya mewujudkan masa depannya.
Hal ini adalah amanat besar yang harus disadari oleh setiap wali yang takut kepada Allah l dan berharap kepada-Nya. Hendaknya si wali mengamalkan wasiat Nabi n,
لاَ يَكُوْنُ لِأَحَدٍ ثَلاَثُ بَنَاتٍ، أَوْ ثَلاَثُ أَخَوَاتٍ فَيُحْسِنُ إِلَيْهِنَّ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seseorang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan, lalu dia berbuat baik kepada mereka, melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahihah no. 294 dan Shahih al-Adabil Mufrad)
Dalam lafadz lain disebutkan,
مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثُ أَخَوَاتٍ فَاتَّقَى اللهَ وَأَقَامَ عَلَيْهِنَّ كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ. –وَأَوْمَأَ باِلسَبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Siapa yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan lalu dia bertakwa kepada Allah dan menegakkan urusan mereka (mengurusi mereka), orang tersebut dengan aku di surga seperti ini—beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah.” (ash-Shahihah no. 294(
Al-Hasan al-Bashri t pernah ditanya seseorang, “Aku memiliki seorang putri. Menurutmu, kepada siapa aku nikahkan putriku tersebut?”
Al-Hasan menjawab, “Nikahkan putrimu dengan seorang yang bertakwa kepada Allah l. Jika orang yang bersifat demikian mencintai putrimu (sebagai istrinya), niscaya dia akan memuliakannya. Namun, apabila dia membencinya, dia tidak akan menzalimi istrinya.” (Sebagaimana dinukil dalam catatan kaki Tuhfatul ‘Arus, hlm. 166)
Seorang lelaki hendaklah mencari istri yang bersedia menjalankan dengan baik kewajibannya sebagai istri sesuai dengan kesanggupannya dan mau menerima suami apa adanya. Bisa jadi, perjalanan yang ditempuh bersamanya akan lama dan panjang. Hendaklah seorang lelaki menyadari bahwa istri adalah teman sepanjang umurnya yang tersisa sehingga teman tersebut harus bersifat amanah dan bersedia memenuhi apa yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila Allah l menetapkan kebersamaan itu langgeng, tentu istri yang demikian akan menjadi penolong terbaik bagi suaminya. Namun, apabila pernikahan harus kandas di tengah jalan dan kebersamaan hanya akan jadi derita jika dipertahankan, istri yang demikian akan menutup cacat dan cela yang pernah didapatkannya selama bersama sang suami.
Dengan demikian, memilih pasangan hidup harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak asal-asalan. Hal ini karena dia akan menyertai Anda dalam bagian yang paling rahasia sekalipun bagi hidup Anda. Dia akan menemani Anda dalam manis dan pahitnya hidup, panjang atau pendeknya hidup, bahagia atau kesedihannya.
Seorang suami hendaklah berpikir panjang. Apakah wanita yang dipilihnya itu akan menjadi penolong baginya saat dia menghadapi rintangan dalam kehidupan yang memang penuh dengan perkara yang mengejutkan? Ataukah si wanita akan membiarkannya sendiri menghadapi dukanya?
Sebelum Menjatuhkan Pilihan
Ada beberapa hal yang kiranya tak patut diabaikan oleh seorang lelaki saat mencari wanita yang akan dipersuntingnya.
1. Menimbang perangai ibu calon istri, apabila memungkinkan.
Di saat seorang lelaki memutuskan untuk menikah dan sedang mencari seorang wanita yang mau menjadi serikat dalam hidupnya, hendaklah yang turut menjadi pertimbangannya adalah perangai ibu si wanita yang hendak dilamarnya—jika hal itu mudah baginya. Menurut pengamatan yang panjang, tampak bahwa banyak anak perempuan meniru perangai ibunya, atau sedikit banyak ada pengaruh sang ibu pada diri si putri.
Maka dari itu, cari tahulah tentang ibunya. Walaupun hal ini tidak mesti, namun tidak ada salahnya menjadi bahan pertimbangan, lebih-lebih jika terdapat banyak pilihan dan semuanya baik secara lahir.
Betapa banyak rumah tangga yang bermasalah disebabkan ibu mertua turut campur tangan. Betapa banyak istri yang berani kepada suaminya karena dirusak oleh ibunya. Betapa banyak istri yang suka menuntut macam-macam kepada suaminya karena diajari dan dikompori oleh ibunya. Betapa banyak pula istri yang mengingkari kebaikan suaminya dan tidak bergaul secara ma’ruf dengan suaminya karena melihat perbuatan sang ibu kepada sang ayah dahulu, yang kemudian berpengaruh dan tertanam dalam jiwanya.
Namun, ada pula ibu mertua yang baik, yang mengarahkan putrinya agar menjadi istri yang baik. Ia bisa menjaga rahasia dan turut membantu rumah tangga putrinya agar tetap utuh. Ia menganggap pemberian yang sedikit dari suami putrinya layaknya sebuah gunung yang besar. Tentu ibu mertua seperti ini akan menggembirakan menantunya (suami putrinya). Di sisi lain, ibu mertua tipe ini akan memberinya ketenangan apabila suatu ketika ia terpaksa harus meninggalkan si istri bersama ibunya. Ia tahu bahwa saat ia kembali ke sisi istrinya nanti, niscaya ia akan mendapati istrinya lebih baik dari yang sebelumnya dengan didikan dan arahan yang diberikan oleh sang ibu selama ditinggalnya.
Kata orang Arab,
إِذَا تَزَوَّجْتَ فَكُنْ حَاذِقًا
اسْأَلْ عَنِ الْغُصْنِ وَمَنْبَتِهِ
Apabila Anda hendak menikah, jadilah orang yang cerdas
Tanyakan tentang ranting dan tanyakan pula tentang dahannya.
Ada hikayat indah yang sering dibawakan oleh para penulis dalam buku-buku mereka yang berbicara tentang pernikahan. Tidak ada salahnya kita nukilkan di sini sebagai ibrah.
Syuraih al-Qadhi t berkata, “Aku meminang seorang wanita dari Bani Tamim. Saat hari pernikahanku dengannya, datanglah teman-teman wanitanya memberi hadiah kepadanya hingga ia masuk menemuiku.” Aku berkata, “Termasuk ajaran sunnah, apabila seorang istri dipertemukan dengan suaminya hendaknya si suami bangkit mengerjakan shalat dua rakaat, lalu memohon kebaikan istrinya kepada Allah l dan berlindung dari kejelekannya.” Aku lantas berwudhu. Ternyata, istriku pun berwudhu seperti wudhuku. Aku lalu melakukan shalat, ternyata ia pun shalat mengikuti shalatku.
Tatkala rumah telah sepi, tinggal kami berdua, aku mendekatinya lalu mulailah tanganku menjulur kepadanya. Istriku berkata saat itu, “Jangan terburu-buru, wahai Abu Umayyah.”
Lantas istriku melanjutkan ucapannya, “Alhamdulillah, aku memohon pertolongan-Nya dan aku bershalawat atas Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du… Aku adalah wanita yang asing. Tidak ada pengetahuanku tentang akhlakmu. Terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya, dan apa yang engkau benci niscaya aku akan menjauhinya. Sekarang, engkau telah memiliki diri ini dengan ketetapan dari Allah l yang mesti terjadi, maka lakukanlah apa yang Allah l perintahkan,
“Apakah menahan dengan cara yang ma’ruf atau melepas (mencerai) dengan cara yang baik.” (al-Baqarah: 229)
Aku berkata, “Alhamdulillah, aku memuji Allah l dan memohon pertolongan kepada-Nya, shalawat dan salam semoga tertuju kepada Nabi Muhammad, keluarga dan segenap sahabat beliau. Amma ba’du… Sungguh engkau telah mengucapkan kalimat yang jika engkau benar-benar berada di atasnya, hal itu menjadi keberuntungan bagiku. Namun, jika engkau meninggalkannya, niscaya hal itu akan menjadi hujah yang memberatkanmu. Aku suka ini dan aku benci itu. Hal-hal baik yang engkau lihat dariku, maka sebarkanlah. Namun, kejelekan yang engkau lihat, maka tutupilah.”
Sang istri berucap lagi, “Apa engkau suka apabila aku mengunjungi keluargaku?”
“Aku tidak suka keluarga istriku menjadi bosan kepadaku,” jawabku.
Istriku kembali mengajukan pertanyaannya, “Di antara tetanggamu, siapa yang engkau senangi masuk ke rumahmu sehingga aku akan izinkan (ia masuk rumahmu), dan siapa yang tidak engkau sukai sehingga aku pun tidak suka?”
“Bani Fulan adalah kaum yang saleh, sedangkan Bani Fulan (yang lain) adalah kaum yang buruk,” jawabku.
Syuraih al-Qadhi akhirnya menyatakan, “Aku pun melewati malam yang terindah bersamanya. Waktu setahun pun berlalu dalam kebersamaanku dengannya. Tidak pernah aku melihat darinya selain perkara yang aku senangi. Ketika akhir tahun saat aku datang dari majelis hakim, tiba-tiba aku bertemu dengan seorang wanita tua.”
Aku bertanya, “Siapa perempuan tua itu?”
Dijawab, “Fulanah, ibu dari istrimu.”
“Marhaban, ahlan wa sahlan,” sambutku.
Saat aku telah duduk, datanglah ibu mertuaku tersebut seraya berkata, “Assalamu ‘alaik, wahai Abu Umayyah.”
“Wa ‘alaikis salam, marhaban bik wa ahlan,” sambutku.
Mertuaku bertanya, “Bagaimana yang engkau lihat dari istrimu?”
Aku jawab, “Istriku adalah sebaik-baik istri dan teman yang paling sesuai. Sungguh ibu telah mendidiknya dengan adab yang terbaik. Ibu telah melatihnya dengan latihan yang paling bagus. Semoga Allah l membalas ibu dengan kebaikan.”
“Wahai Abu Umayyah! Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkanmu dari perilaku istrimu, peganglah cambuk1,” nasihat ibu mertuaku.
Ibu mertua ini meminta izin untuk datang setiap akhir tahun ke tempat kami. Pada kesempatan itulah beliau memberi nasihat kepada kami. Aku telah menjalani masa dua puluh tahun bersama istriku. Selama itu pula tidak pernah aku melihat darinya sesuatu yang patut dicela.”
2. Memilih istri dari keluarga yang baik
Keluarga baik-baik yang memiliki sebutan yang baik di lingkungannya, bukan keluarga yang tercoreng kehormatannya, hendaknya menjadi pertimbangan saat memilih wanitanya. Merekalah yang akan menjadi akhwal2 bagi anak-anak yang akan terlahir dari pernikahan tersebut. Selain itu, sedikit banyak mereka akan punya pengaruh terhadap istri dan anak-anak, apalagi di saat suami terpaksa meninggalkan istri dan anak-anaknya di tengah-tengah mereka, bisa jadi karena urusan niaga, rihlah menuntut ilmu, atau berangkat untuk berjihad fi sabilillah.
3. Mencari tahu sifat wanita yang ingin dinikahi
Mencari tahu dan bertanya secara detail tentang wanita yang hendak diajak bekerja sama membangun mahligai rumah tangga adalah keniscayaan karena seorang lelaki akan menjalin ikatan yang kuat dengannya dan akan terus menemaninya, insya Allah, sampai salah satunya harus berpisah dengan dunia.
Wanita yang bagus agamanya dan menjaga kehormatan dirinya, harusnya menjadi pilihan utama. Rasul yang mulia n telah bertitah,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Utamakanlah wanita yang memiliki agama. Jika tidak demikian, engkau akan celaka.” (HR. al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n telah bersabda pula,
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتاَعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia itu perhiasan,3 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim no. 3638 dari Abdullah ibnu Amr ibnul Ash c)
Adapun wanita yang buruk dan lahiriahnya menyimpang, bagaimanapun cantik dan memesonanya, hendaknya disingkirkan dari pilihan. Yang diinginkan oleh seorang lelaki yang baik adalah mencari istri, bukan wanita penghibur.
Apabila seorang lelaki berpaling dari wanita yang salehah, dan justru memilih wanita yang ‘rendahan’ karena pertimbangan kelebihan fisik, harta, atau kedudukannya, berarti ia telah menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan.
Renungkanlah: Rumahmu adalah pokok hartamu (modalmu), maka perhatikanlah di tangan siapa engkau akan meletakkannya?
Carilah wanita yang berada di atas jalanmu, pada seluruh keadaanmu, dalam hal ketaatan kepada Allah l. Apabila engkau berhasil mendapatkannya, peganglah erat-erat karena wanita yang demikian adalah harta dan perbendaharaan berharga yang patut disimpan.
Rasulullah n pernah bersabda kepada Umar ibnul Khaththab z,
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ؟ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beri tahukan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki? (Yaitu) istri salehah yang ketika dipandang akan menyenangkannya4, ketika diperintah5
akan menaatinya,6 dan ketika ia pergi, si istri akan menjaga dirinya untuk suaminya.” (HR. Abu Dawud no. 1417, dinyatakan sahih menurut syarat Muslim dalam al-Jami’ush Shahih 3/57)
Umar ibnul Khaththab z bertanya kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah! Harta apakah yang sebaiknya kita miliki?”
Beliau menjawab,
لِيَتَّخِذَ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْأَخِرَةِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri mukminah yang membantunya dalam urusan akhiratnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibni Majah)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(bersambung, insya Allah)
(Disusun kembali dengan beberapa perubahan dari tulisan asy-Syaikh Salim al-’Ajmi hafizhahullah yang dimuat di Muntadayat al-Ukht as-Salafiyyah dengan judul Walyasa’uka Baituk min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah dan rujukan yang lain)
Catatan Kaki:
1 Pukullah setelah melewati tahapan sebelumnya; nasihat dan hajr.
2 Kerabat dari pihak ibu.
3 Tempat untuk bersenang-senang. (Syarh Sunan an-Nasa’i, al-Imam as-Sindi, 6/69)
4 Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, karena akhlaknya yang bagus secara batin, atau karena si istri senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah l. (Ta’liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab “Afdhalun Nisa'”, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56)
5 Untuk melakukan urusan syar’i atau urusan biasa. (‘Aunul Ma’bud 5/56)
6 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. (‘Aunul Ma’bud 5/56)