Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata,
عَنْ أَبيْ مَسْعُودٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: وَا يَا رَسُولَ ا إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ ا فِي مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْهُ يَوْمَئِذٍ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيهِمْ الضَّعِيفَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ
Dari Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, seseorang datang mengadu, “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku sengaja mengakhirkan shalat subuh karena perbuatan fulan. Ia memanjangkan (bacaan shalat) saat mengimami kami.”
Abu Mas’ud berkata, “Sungguh, aku belum pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat marah ketika menyampaikan peringatan melebihi kemarahan beliau pada hari tersebut.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, di antara kalian ada ,lorang yang membuat manusia lari! Siapa pun di antara kalian mengimami manusia, ringankanlah! Sebab, di antara mereka ada orang yang lemah, tua renta, atau memiliki keperluan.”
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, Kitab ash-Shalah, bab Takhfiful Imam fil Qiyam wa Itmam ar-Ruku’ (Imam meringankan berdiri dan menyempurnakan ruku’) no. 661, melalui jalan Ahmad bin Yunus, dari Zuhair dari Ismail, dari Qais, dari Abu Mas’ud al-Badri ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah al-Anshari.
Al-Bukhari mengeluarkan hadits ini pada beberapa tempat dalam Shahihnya. Beliau mengeluarkan dalam :
- Kitab al-Ilmu, Bab “al-Ghadhab fil Mau’izhah wat Ta’lim Idza Ra’a Ma Yakrah” (“Bolehnya Marah saat Memberi Peringatan dan Mengajarkan Ilmu jika Melihat Sesuatu yang Dibenci”) no. 90,
- Kitab al-Adab, Bab “Ma Yajuzu min al-Ghadhabi wa asy-Syiddah li Amrillahi Ta’ala” (“Marah dan Sikap Keras yang Diperbolehkan karena Membela Agama Allah l”) no. 6110,
- Kitab al-Ahkam, Bab “Hal Yaqdhi al-Qadhi au Yufti wa Huwa Ghadhban?” (“Bolehkah Seorang Qadhi Berfatwa dalam Keadaan Marah?”) no. 7159.
Faedah
Mengulang-ulang hadits pada beberapa kitab dan bab yang berbeda merupakan salah satu metode al-Bukhari dalam Shahihnya.
Pengulangan ini bukan tanpa alasan. Banyak faedah yang dikehendaki oleh al-Bukhari, di antaranya:
- Hadits tersebut beliau riwayatkan melalui beberapa guru atau melalui jalan yang berbeda.
- Banyaknya istinbath hukum yang bisa diambil dari hadits.
- Menjelaskan adanya perbedaan beberapa lafadz dalam matan atau perbedaan cara periwayatan hadits (shighat al-ada’).
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah (2/54—55). Melalui Ibnu Abi Syaibah, al-Imam Muslim rahimahullah mengeluarkan hadits ini dalam Kitab ash-Shalah, Bab “Amrul Aimmah bi Takhfif ash-Shalah”.
Selain itu, hadits di atas diriwayatkan pula oleh asy-Syafi’i dalam Musnad (1/131—132), al-Humaidi (no.453), ath-Thayalisi (no. 607), Abdur Razzaq ash-Shan’ani (no. 3726), Ahmad (4/118, 119 dan 5/273), dan selain mereka.
Dakwah Bukan Kerja Sambilan
Mengajak manusia menuju jalan Allah bukan pekerjaan mudah. Berdakwah bukan pekerjaan sampingan atau pengisi waktu senggang yang bisa dikerjakan seenaknya. Dakwah adalah tugas agung dan pekerjaan yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)
Dakwah adalah pekerjaan berat yang harus ditempuh dengan penuh keikhlasan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
Dakwah adalah tugas suci yang dibangun di atas bashirah (hujah yang nyata/ilmu). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٨
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata.” (Yusuf: 108)
Dakwah juga harus dilakukan di atas hikmah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala.
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
Apabila dakwah dilakukan semata-mata mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala, di atas ilmu, dan sesuai dengan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, insya Allah dakwah akan membuahkan hasil, sebagaimana halnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau menuai hasil yang membahagiakan dan menyejukkan pandangan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١ وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِي دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجٗا ٢ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (an-Nashr:1—3)
Sayang, sebagian orang menyangka bahwa dakwah hanyalah memerintah, melarang, mengajak, atau mencegah, tanpa memedulikan sisi hikmah dalam hal metodologi penyampaian, memahami kondisi kejiwaan mad’u, atau sisi lain yang selalu diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kondisi semacam ini seringkali menyebabkan manusia lari dari agama dan dakwah, benci terhadap sunnah, atau antipati terhadap para penyerunya. Di sisi lain, hal seperti ini yang dicaricari oleh musuh Islam. Mereka selalu mengintai untuk mencari celah guna memojokkan dakwah salafiyah, dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Membuat Manusia Lari, Penyakit Yang Harus Diobati
Telah disebutkan di atas bahwa tujuan dakwah adalah mendekatkan manusia kepada agama Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, sangat disayangkan, sebagian manusia yang menisbatkan dirinya kepada dakwah justru menjadi sebab menjauhnya umat dari agama yang mulia ini, karena sikap tidak hikmah, ketergesa-gesaan, kekasaran, atau kejahilannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyinyalir adanya model manusia tersebut dalam hadits Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ
“Sungguh, di antara kalian ada yang membuat manusia lari!”
Ibnu Atsir menerangkan bahwa makna مُنَفِّرين adalah “Orang yang menghadapi manusia dengan keras dan kasar sehingga mereka lari dari Islam dan agama.” (an-Nihayah, 5/202)
Sifat keras, kasar, dan kaku adalah sifat yang sangat merugikan jika ada dalam diri seorang dai. Dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, sifat tersebut ditiadakan pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala mudahkan kekasih-Nya bersikap lemah lembut dan jauh dari sikap yang tidak terpuji. Dengan demikian, manusia mengelilingi Sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh cinta.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159)
Ayat ini menunjukkan bahwa sikap kasar dan kaku yang ada pada seorang dai adalah salah satu sebab berpalingnya manusia dari agama. Sebaliknya, kelembutan dan hikmah menjadi sebab manusia berduyun-duyun menerima dakwah.
Dalam catatan sejarah, kita dapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak henti-hentinya berpesan kepada utusan beliau agar berdakwah dengan penuh hikmah, memudahkan, dan tidak membuat manusia susah, apalagi lari dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam sebuah hadits disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِي بَعْضِ أَمْرِهِ قَالَ: بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا، وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا
Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan untuk sebuah urusan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari; mudahkanlah dan jangan menyusahkan.” (HR. Muslim, dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu)
Belajar dari Sebuah Kejadian
Coba kita perhatikan. Asbabul Wurud[1] hadits ini adalah seorang shahabat yang lari dari shalat jamaah di awal waktu karena mendapatkan imam yang sangat panjang dalam bacaan shalat.
Ketika mendapat pengaduan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera memberi nasihat keras kepada umatnya agar tidak menjadi sebab larinya manusia dari agama Allah subhanahu wa ta’ala.
Shalat adalah ibadah badan yang paling agung. Sudah sepantasnya ditanamkan pada umat kecintaan kepada ibadah ini. Bukan sebaliknya, malah membuat manusia lari darinya, seperti perbuatan seorang imam yang tidak memedulikan kondisi makmum.
Ada imam yang membuat makmumnya lari karena sangat panjang bacaannya hingga memberatkan makmum. Ada lagi yang sengaja membiarkan makmum menunggu lama menanti imam keluar di tengah-tengah makmum.
Tindakan imam semacam ini bisa menjadi sebab fitnah (kerusakan) di tengah manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan peringatan keras kepada Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مُعَاذُ، أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟ ثَلَاثًا. اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَنَحْوَهَا
Wahai Muadz, apakah engkau hendak membuat fitnah? (tiga kali -ed.) Bacalah, “Wasy syamsi wa dhuhaha” (Surat asy-Syams, -pen.), “Sabbihisma rabbikal a’la” (Surat al-A’la), dan yang sejenisnya. (HR. al-Bukhari no. 6106 dan Muslim no. 465)
Apa gerangan yang terjadi dengan Muadz radhiallahu ‘anhu sehingga dengan keras Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian?
Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini disebabkan Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu memanjangkan shalat Isya di tengah-tengah kaumnya dengan membaca surat al-Baqarah. Padahal sebagian jamaah berada dalam keadaan letih setelah seharian bekerja. Itu pun setelah Mu’adz radhiallahu ‘anhu shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمُ الصَّلَاةَ، فَقَرَأَ بِهِمُ الْبَقَرَةَ، فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذاً فَقَالَ: إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا، وَإِنَّ مُعَاذاً صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ فَقَرأَ الْبَقَرَةَ، فَتَجَوَّزْتُ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ.: فَقَالَ النَّبِيُّ يَا مُعَاذُ، أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟( قَالَهَا ثَلَاثاً)؛ اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَنَحْوَهَا
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
Dahulu Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mendatangi kaumnya dan mengimami mereka. Muadz mengimami dengan membaca surat al-Baqarah. Seorang lelaki kemudian mempercepat shalatnya. Hal ini terdengar oleh Mu’adz, maka dia berkata. “Dia munafik.”
Ucapan Mu’adz ini sampai kepada si lelaki. Dia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami adalah sekelompok orang yang bekerja dengan tangan kami dan mengairi dengan pundak kami. Sungguh, Mu’adz telah shalat mengimami kami tadi malam dan membaca surat al-Baqarah. Aku pun mempercepat shalat dan dia menganggapku munafik.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Mu’adz, apakah engkau hendak menjadi juru fitnah?” (Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali.)
“Bacalah ‘Wasy syamsi wadhuhaha’, ‘Sabbihisma rabbikal a’la’, dan yang semisalnya.” (Muttafaqun ‘alaihi, dan ini adalah lafadz al-Bukhari)
Perhatikan Keadaan Makmum
Ketika seorang shalat sendiri, yang utama adalah memanjangkan shalat. Akan tetapi, ketika menjadi imam, terlebih ia adalah seorang dai, ia harus memerhatikan keadaan makmum yang paling lemah.
Apabila imam lebih mengedepankan keinginan dirinya, memanjangkan shalat dengan dalih murajaah (mengulang) hafalannya, tanpa memedulikan kondisi makmum yang sangat beragam, boleh jadi manusia akan lari dari shalat berjamaah, atau merasa berat, atau sengaja mengakhirkannya, sebagaimana tampak dalam hadits Abu Mas’ud al-Badri.
Bahkan, ketidaksukaan itu bisa jadi berkembang menjadi kebencian kepada sang dai atau ajaran yang dibawanya meskipun benar. Saat itu, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ
“Sungguh, di antara kalian ada orang-orang yang membuat manusia lari!”
Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para imam meringankan bacaannya banyak kita dapatkan dalam hadits sahih. Di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَا قَامَ أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفِ الصَّلاَةَ، فَإِنَّ فِيهِمُ الْكَبِيرَ، وَفِيهِمُ الضَّعِيفَ، وَإِذَا قَامَ وَحْدَهُ فَلْيُطِلْ صَلاَتَهُ مَا شَاءَ
“Apabila salah seorang dari kalian memimpin manusia shalat, hendaklah dia meringankan shalat. Sebab, sesungguhnya di antara mereka ada yang sudah tua dan ada yang lemah. Apabila shalat sendirian, dia boleh memanjangkan shalat sekehendaknya.” (HR. Muslim no. 467)
Dalam hadits lain, Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa dia meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengangkat dirinya sebagai imam kaumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَنْتَ إِمَامُهُمْ، وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ، وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
“Engkau adalah imam mereka. Perhatikanlah orang yang paling lemah dari mereka, dan angkatlah muazin yang tidak meminta upah atas azannya.”[2]
Bukan hanya nasihat dalam bentuk ucapan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempraktikkannya dalam shalat beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memerhatikan keadaan makmum. Dalam hadits Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda,
إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلَاةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ
“Saya berdiri mengimami shalat dan sungguh saya ingin memanjangkannya. Lalu saya mendengar tangisan anak kecil. Saya mempercepat shalat karena tidak ingin menyusahkan ibunya.”[3]
Mengapa Umat Lari?
Ketika berdakwah, seorang dai harus belajar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan ibadah yang mulia ini.
Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pelajaran dan peringatan kepada umat?
Saat menyampaikan ilmu, beliau tidak pernah membuat umat bosan. Beliau memilih waktu yang tepat dan tidak memberatkan umatnya dalam memberi peringatan.
Al-Bukhari rahimahullah dalam Kitab al-Ilmi meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu memberi peringatan kepada manusia setiap hari Kamis, hingga salah seorang berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, kami berharap seandainya setiap hari engkau memberi peringatan kepada kami.”
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menjawab,
أَمَا إِنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذَلِكَ أَنِّي أَكْرَهُ أَنْ أُمِلَّكُمْ وَإِنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ، كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا، مَخَافَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا
“Sungguh, yang menghalangiku (memberi peringatan kepada kalian setiap hari) adalah karena tidak suka membuat kalian bosan. Aku menjarangkan untuk kalian nasihat sebagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjarangkannya kepada kami, karena khawatir membuat kami bosan.”[4]
Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari kemungkaran yang terjadi di hadapan beliau?
Saat mengingkari kemungkaran pun beliau tidak membuat manusia lari. Beliau sampaikan dengan penuh hikmah.
Tentu kita tidak lupa ketika seorang badui kencing di dalam Masjid Nabawi. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ اَلْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ، فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
Seorang Arab Badui memasuki masjid lalu kencing di salah satu sisi masjid. Sertamerta para sahabat menghardik orang ini. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala si badui telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disiram. (HR. al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)
Setelah si badui menyelesaikan kencingnya, barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekatinya dan menyampaikan nasihat dengan penuh kelembutan. Semua itu membuat sang badui kagum dan menerima nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dengan umatnya?
Dalam bergaul, beliau selalu memerhatikan kondisi umat sehingga umat tidak lari dari beliau. Perhatian ini selalu beliau lakukan dalam segala keadaan, mukim atau safar, lapang atau sempit, aman atau perang.
Dalam safar, beliau memberi para sahabat radhiallahu ‘anhum kesempatan untuk beristirahat. Dalam safar, beliau memberikan keringanan sesuai dengan wahyu yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan, seperti menjamak dan mengqashar shalat, mengusap khuffain ketika bersuci, dan keringanan lain.
Walhasil, beliau selalu memerhatikan kondisi umat dalam segala keadaan. Termasuk di antaranya ialah dalam hadits Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang sedang kita pelajari, beliau bersabda,
فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ
“Siapa pun di antara kalian mengimami manusia, ringankanlah! Sebab, di antara makmum ada orang yang lemah, tua renta, atau memiliki keperluan.”
Bahkan, sesekali dalam bergaul beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencandai sahabatnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits sahih.
Saudaraku, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan orang yang kasar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sosok yang kaku lagi keras hati. Beliau adalah seorang yang lembut dan berakhlak mulia, sebagaimana pujian Allah l terhadap beliau dalam firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Sungguh, masih sangat banyak contoh yang harus digali dari perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar seorang dai bisa berdakwah dengan penuh hikmah.
Sungguh, setiap dai harus menyelami samudra kehidupan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh mutiara, untuk kemudian diamalkan di medan dakwah. Dengan demikian, manusia mudah menerima kebenaran dan tidak lari dari agama yang mulia.
Artikel sederhana ini hanyalah pengingat bahwa seluruh perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan dan contoh yang baik bagi umat manusia.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[1] Asbabul wurud adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi datangnya sebuah hadits.
[2] HR. Abu Dawud (531). Dinyatakan sahih oleh al-Albani rahimahullah
[3] HR. al-Bukhari (707) dan Muslim (470). Riwayat Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Ilmi, Bab “Menjadikan Hari Tertentu bagi Ahlul Ilmi (untuk menyampaikan peringatan)”