Ancaman Bagi Pihak yang Mengabaikan Penerapan Syariat Islam

(ditulis oleh: Al-Ustadz Luqman Baabduh)

Telah kita ketahui bersama bahwa Allah tidak rela jika hamba-hamba-Nya menjadikan selain hukum-Nya sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan mereka. Maka dari itu, Allah l mengancam orang-orang yang enggan berhukum dengan syariat-Nya dengan berbagai ancaman yang akan membuat seorang hamba yang beriman dengan sebenar-benar iman bertaubat dari kebiasaan berhukum kepada selain hukum Allah l.
Beberapa ancaman tersebut antara lain:

Kehidupan yang Sempit di Dunia dan Akhirat
Kita sebagai umat Islam sering mengeluhkan kesempitan hidup, kekurangan lapangan pekerjaan, kemerosotan ekonomi dan moral bangsa, instabilitas politik dan keamanan nasional, semakin maraknya kemaksiatan dengan segala bentuknya, pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi, kezaliman penguasa, dan lain-lain.
Kalau kita mau jujur mengoreksi kembali perjalanan hidup kita, pasti kita akan mengetahui bahwa ternyata semua kesempitan dan problem di atas tidak lain disebabkan oleh dosa-dosa kita dan keengganan kita untuk menerapkan syariat dan hukum Islam pada diri kita masing-masing.
Allah l berfirman:
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh baginya penghidupan yang sempit, dan sungguh Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: Wahai Rabbku, mengapa Engkau himpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu adalah seorang yang melihat? Allah berkata: Demikianlah, sungguh telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, kemudian kamu melupakannya, maka begitu pula pada hari ini kamupun dilupakan. Demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabbnya, dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Thaha: 124—127)

Kekalahan dan Kegagalan
Di antara akibat dari sikap enggan menerapkan syariat Islam adalah kekalahan kaum muslimin dari musuh-musuhnya dan kegagalan untuk menerapkan syariat Islam di bumi mereka. Tidak dapat dimungkiri bahwa kemenangan kita terhadap seluruh musuh-musuh kita, serta keberhasilan kita untuk menegakkan syariat Islam di bumi kita ini tidak mungkin terwujud selain dengan pertolongan Allah.
Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-’Abbad, mantan Rektor Universitas Islam Madinah, dalam salah satu karyanya yang berjudul Luzumu Iltizamil Muslim bi Ahkamisy Syari’ah Al-Islamiyyah (Kewajiban setiap muslim untuk berpegang teguh dengan hukum syariat Islam) berkata, “Jika kaum muslimin berpegang teguh kepada hukum-hukum syariat mereka yang hanif (lurus) dan ketentuan-ketentuan agamanya yang lurus ini, sungguh itu adalah pokok dasar kesuksesan dan tanda kebahagiaan mereka, serta sebab kemuliaan dan kemenangan mereka atas musuh-musuhnya. Hal itu juga merupakan sumber keamanan dan ketenteraman hidup mereka. Namun, apabila kondisi kaum muslimin ini berbalik, pasti mereka akan mengalami kerugian dan kehancuran, serta kehinaan dan kekalahan. Sungguh, Allah l telah bersumpah dengan masa bahwa kerugian akan menimpa setiap anak manusia kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling berwasiat kepada kebenaran dan kesabaran.
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya telah dipenuhi oleh berbagai nash yang menjelaskan realitas ini. Begitu pula pelajaran yang dicatat oleh sejarah tentang terwujudnya kemuliaan bagi orang-orang yang taat kepada Allah l. Sejarah telah mencatat pula bahwa kehinaan akan dialami oleh orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Tentu realitas yang kita saksikan dan kita alami adalah sebaik-baik bukti. Allah l berfirman:
“Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali ‘Imran: 101)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (Muhammad: 7)
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40—41)
Kemudian beliau melanjutkan, “Jika seorang yang berakal di masa ini ingin mengetahui bukti-bukti sejarah yang menunjukkan kebenaran berbagai hakekat tersebut—bahwa kaum muslimin menang disebabkan sikap berpegang teguh mereka terhadap syariat Islam yang telah dipilih oleh Allah untuk mereka, dan kalah ketika enggan beramal dengan

syariat Islam serta jauhnya dari aturan-aturannya—sungguh orang tersebut tidak akan mendapatkan bukti yang lebih jelas dibandingkan munculnya akibat buruk dari peperangan yang terjadi antara negara-negara Arab melawan Yahudi yang telah benar-benar tampak hakekatnya. Negara-negara Arab dahulu telah dimuliakan oleh Allah dengan sebab Islam. Namun, ketika mereka pada masa ini tidak mau lagi berpegang teguh kepada syariat Allah—selain negara-negara tertentu saja yang Allah kehendaki—dan tidak mau lagi berhukum dengan wahyu yang dibawa oleh Jibril dari Allah, bahkan cenderung memilih berhukum kepada hukum-hukum buatan (manusia) yang Allah l tidak menurunkan satu keterangan pun (yang membenarkannya), kekalahan dan kehinaan pun menimpa mereka di hadapan suatu kaum yang sebenarnya telah dihinakan oleh Allah l (yakni Yahudi).
Adakah bentuk kehinaan dan kerendahan yang lebih parah dibandingkan kehinaan dan kerendahan ini? Sungguh, sejarah akan mencatat hal tersebut untuk pelajaran bagi generasi yang akan datang, sebagaimana sejarah juga mencatat segala kebaikan atau keburukan yang terjadi pada generasi sebelum ini. Sungguh, tidak akan pernah tegak (negara Islam) bagi kaum muslimin melainkan jika mereka semua mau kembali berpegang teguh kepada agama Allah serta mengamalkan syariatnya.
Aku memohon kepada Allah Yang Mahamulia, Rabb ‘Arsy yang agung, agar membimbing seluruh kaum muslimin di setiap tempat kepada sebab-sebab yang mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan (doa).” –Selesai perkataan asy-Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad–.