Apa Saja yang Bisa Dijadikan Sutrah?

– Tiang masjid

Tiang yang ada di masjid dapat dijadikan sebagai sutrah sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat berikut. Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata, “Adalah Salamah ibnul Akwa’ z memilih shalat di sisi tiang masjid tempat menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, aku melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini.’ Beliau menjawab:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا

“Aku melihat Nabi n memilih shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)

 

– Tongkat yang ditancapkan

Ibnu ‘Umar c memberitakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah n bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)

 

– Hewan tunggangan

Ibnu Umar c mengabarkan perbuatan Nabi n:

أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا

“Adalah Nabi n melintangkan hewan tunggangannya (antara beliau dengan kiblat), lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 1117)

 

– Pohon

Sekali waktu Nabi n shalat menghadap sebuah pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad t (1/138) dari Ali bin Abi Thalib z, ia berkata:

لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ n، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ

“Sungguh aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali Rasulullah n, beliau sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani t berkata: “Sanadnya shahih.” Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/120)

 

– Dinding/tembok

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z yang telah disebutkan ketika membahas tentang mendekat dengan sutrah.

 

– Tempat tidur

Pada kali yang lain, beliau n menjadikan tempat tidur sebagai sutrahnya sebagaimana berita dari istri beliau, Aisyah x:

لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ n فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي

“Sungguh aku melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu Nabi n datang, beliau berdiri menghadap bagian tengah tempat tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)

Dalam lafadz lain, Aisyah x berkata:

لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ  مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ

“Sungguh aku melihat Nabi n shalat sementara aku berada di antara beliau dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)

 

– Benda yang tinggi

Boleh menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai sutrah. Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4, Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)

Aisyah x berkata, “Nabi n pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab:

مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)

Rasulullah n pernah bersabda:

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)

 

Tidak Cukup dengan Garis

Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)

Al-Qarafi t mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)

Walaupun ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis dapat dijadikan sebagai sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud (no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah z:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”

Al-Imam Al-Albani t berkata dalam Tamamul Minnah, “Hadits ini sanadnya dhaif tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh penulis Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini dan mereka lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat dari Al-Imam Ahmad t tentang permasalahan ini.

Al-Hafizh t telah menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad t, di mana disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya dhaif.”

Sementara dalam At-Talkhish, Al-Hafizh t menyebutkan penshahihan Ahmad sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr t dalam Al-Istidzkar terhadap hadits di atas, kemudian beliau (Al-Hafizh) berkata, “Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”

Dalam At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni t berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i t berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit.’ Al-Imam Malik t berkata dalam Al-Mudawwanah, ‘Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil.’

Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati), yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)

Al-Qadhi Iyadh t berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk menyatakan garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/414)

 

Faedah

Al-Qarafi t berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, bahwa lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155)