Di zaman yang (katanya) kian maju ini, banyak orang yang justru kian mudah dibodohi. Laris manisnya praktik perdukunan, adalah contoh nyata yang terpapar di depan kita. Karir sukses, gampang jodoh, lancar usaha, harmonis dalam rumah tangga, kaya mendadak hingga popularitas adalah segelintir jualan dukun yang mampu membenamkan akal sehat masyarakat.
Kasus penipuan yang melibatkan para dukun baik berupa “penggandaan” uang, pencabulan berkedok ritual pengobatan, pembunuhan pasien melalui “ramuan” mematikan, dan lain sebagainya, senyatanya tak membuat masyarakat jera. Dukun berikut produk-produknya masih demikian diminati masyarakat hingga kini.
Bahkan, demam perdukunan tak hanya menimpa masyarakat kelas bawah. Namun juga diderita masyarakat strata atas yang konon katanya mengenyam pendidikan tinggi. Tak sedikit dari selebritas, elite politik, para pesohor dan kalangan atas lainnya, yang lekat dengan praktik serta produk perdukunan. Yang masih hangat, budaya klenik pun turut meramaikan bursa pencalegan.
Demi meraup ambisinya, para elite ini biasanya siap melakoni apapun titah sang dukun. Berendam di pemandian “wingit”, laku tirakat pada malam tertentu, bahkan jika perlu mengorbankan anggota keluarganya sebagai tumbal. Tak heran jika “ilmu” dan produk supranatural seperti “ilmu” hikmah, terawangan, asmak, pengasih, pesugihan, perisai ghaib, tanaga dalam, keris bertuah, dan jimat lainnya, yang dijual para dukun dengan mahar (baca: harga) ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah laris-manis diserbu orang-orang yang telah kehilangan akal sehatnya ini.
Ironisnya, berjejal pembenaran terhadap praktik tersebut tak henti diembuskan ke tengah masyarakat. Dari yang klasik, “bahwa ini adalah ikhtiar”, hingga mengaburkan makna dukun dan kesyirikan, kuat diresap oleh masyarakat yang memang akidahnya masih perlu diluruskan. Masih banyak masyarakat yang tertipu dengan “kostum” yang dipakai para dukun. Juga silau dengan julukan kyai, ustadz, gus, habib, bahkan syaikh sekalipun. Demikian juga istilah paranormal, supranaturalis, ahli metafisika, spiritualis, pakar bioenergi, penghusada, atau yang semacamnya.
Agar kian samar dan tidak terkesan primitif, upaya pembodohan yang dilakukan para dukun ini pun menggunakan peranti teknologi. Hanya dengan mengetik SMS, orang bisa minta diramal. Hanya dengan telepon, orang bisa melakukan “pengobatan” jarak jauh. Juga apa yang mereka istilahkan “ilmu metafisika modern” seperti hipnotis, telepati, astral, quantum, dan lain sebagainya. Serta beragam istilah yang terlihat ilmiah seperti aura, ion-ion tubuh, daya medan magnetis, energi supranatural, bioenergi, kosmik, prana, dan sebagainya.
Padahal diakui atau tidak, “ilmu” supranatural yang mereka peroleh didapatkan dengan cara memuja bahkan bersekutu dengan jin atau setan, suatu hal yang telah jelas larangannya dalam syariat Islam. Si dukun sendiri, biasanya akan membantah keras kalau metodenya disebut klenik apalagi syirik. Untuk menipu masyarakat, mereka umumnya mengaku sebagai supranaturalis agamis bukan supranaturalis magis, menggunakan jin putih bukan jin hitam, jalan kanan bukan jalan kiri, membawa-bawa nama Allah l, dan berbagai kibulan lainnya.
Kuatnya budaya klenik atau perdukunan ini tentu menjadi tantangan para dai dan pemimpin umat untuk menguburnya. Keberhasilan praktik pemurtadan berkedok pengobatan dari “tuhan” oleh para penginjil Nasrani tentu tak lepas dari budaya ini.
Maka, perdukunan yang merambah kalangan elite sepatutnya dijadikan cermin bagaimana gambaran sesungguhnya akidah masyarakat hingga di tingkat akar rumput. Nyata, bahwa akidah umat ini masih harus diluruskan. Nyata, bahwa perbaikan akidah umat menjadi suatu hal yang tak bisa diulur dan ditawar. Jangan sibukkan umat dengan contreng-menyontreng, jangan pula sibukkan umat dengan mimpi khilafah jika fondasi umat masih demikian rapuh. Tak ada kata lain, kibarkan dakwah tauhid, mari berantas perdukunan di tengah umat!