Islamnya Sejumlah Tokoh Quraisy

Islamnya sejumlah tokoh Quraisy

Makkah sudah takluk. Penduduknya sedang menanti keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mulailah hati para pemimpin Quraisy merenungkan Islam. Perlahan-lahan, Islam mulai menembus jantung hati mereka.

 

Islamnya Abu Sufyan bin al-Harits

Di Abwa sebelum memasuki Makkah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertemu dengan Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Sufyan bin al-Harits. Akan tetapi, beliau berpaling dari mereka berdua mengingat betapa hebatnya permusuhan dan kejahatan mereka terhadap beliau dan kaum muslimin.

Ummu Salamah radhiallahu anha berkata kepada beliau, “Janganlah sampai putra paman dan bibi Anda menjadi orang yang paling celaka karena Anda.”

Sementara itu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata kepada Abu Sufyan, “Datangilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari depan. Berkatalah kepada beliau seperti perkataan saudara-saudara Nabi Yusuf alaihis salam,

قَالُواْ تَٱللَّهِ لَقَدۡ ءَاثَرَكَ ٱللَّهُ عَلَيۡنَا وَإِن كُنَّا لَخَٰطِ‍ِٔينَ

“Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” (Yusuf: 91)

Sebab, beliau tidak suka ada yang lebih baik perkataannya daripada beliau.”

Abu Sufyan melakukan hal itu. Lantas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata (membacakan ayat 92),

لَا تَثۡرِيبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡيَوۡمَۖ يَغۡفِرُ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 92)

Baca juga:

Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub

Setelah itu Abu Sufyan melantunkan syairnya,

“Demi umurmu, sungguh ketika aku membawa bendera

Agar prajurit Latta mengalahkan tentara Muhammad

Bagai orang Mudlij yang kebingungan diselimuti kegelapan malam

Inilah waktuku ketika hidayah datang lalu aku menyambutnya

Aku diberi hidayah oleh Haadi (Sang Pemberi hidayah) bukan diriku, dan aku ditunjuki

Kepada Allah, oleh dia yang dahulu kuusir dengan sebenar-benarnya”

Mendengar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menepuk dadanya sambil berkata, “Engkaulah yang telah mengusirku dengan sebenar-benarnya.”

Baca juga:

Hijrah ke Madinah

Sejak saat itu baiklah Islamnya. Bahkan, dikisahkan bahwa dia belum pernah mengangkat kepala menatap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena merasa malu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mencintai beliau dan mempersaksikannya akan masuk surga. Kata beliau, “Saya harap dia menjadi pengganti Hamzah.”

Ketika wafatnya, Abu Sufyan berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian tangisi aku. Sebab, demi Allah, aku tidak pernah berbuat dosa sejak aku masuk Islam.”

Demikianlah ketika tauhid itu tertanam kokoh di dalam hati seseorang. Apalagi apabila diikrarkan dengan penuh keyakinan dan kejujuran yang sempurna, niscaya tidak mungkin orang yang mengucapkan kalimat tauhid itu mudah untuk terjatuh dalam perbuatan dosa atau terus-menerus berbuat dosa. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai Abu Sufyan bin al-Harits, sepupu dan saudara sesusuan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Islamnya Suhail bin Amr

Suhail bin Amr adalah salah seorang pemuka dan orator ulung bangsa Quraisy. Dialah yang selama ini menghasut orang-orang agar menyerang dan memerangi kaum muslimin dengan segenap kekuatan. Pedasnya ucapan Suhail benar-benar menyakiti kaum muslimin.

Sampai-sampai Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu, ketika melihatnya tertawan dalam Perang Badr meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Biarkan saya patahkan dua gigi serinya, agar dia tidak dapat lagi berpidato menyerang kita (dengan ucapannya).”

Akan tetapi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya mengatakan, “Biarlah. Mungkin suatu ketika gigi itu akan membuatmu senang.”

Akhirnya, Suhail tetap dibiarkan hidup memerangi Islam dan kaum muslimin dengan dua senjata, pedang dan lisannya. Tibalah peristiwa Hudaibiyah. Tatkala Suhail bin Amr datang sebagai delegasi Quraisy, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata dengan optimis, “Sungguh, urusan kalian benar-benar telah menjadi mudah. Mereka sungguh-sungguh ingin berdamai ketika mengutus orang ini.”

Sebelumnya, Quraisy sudah menyatakan kepada Suhail, “Datangi Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam), ajaklah dia berdamai. Hendaklah dia kembali tahun ini. Jangan sampai bangsa Arab beranggapan kalau dia masuk tahun ini, kita telah dikalahkan Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam).”

Dibuatlah perjanjian sebagaimana disebutkan dalam kisah Hudaibiyah beberapa edisi lalu. Suhail tetap menampakkan sikap permusuhannya terhadap Islam sampai terjadinya Fathu Makkah.

Baca juga:

Perjanjian Hudaibiyah (bagian dua)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memasuki Baitullah, lalu keluar dan bertelekan di pintu Ka’bah seraya berkata, “Apa yang akan kalian katakan?”

Berkatalah Suhail bin Amr, “Kami hanya mengatakan yang baik, dan menyangka sesuatu yang baik. (Anda) adalah saudara yang mulia, putra saudara yang mulia, dan Anda menang.”

Kata beliau, “Saya hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya (sebagaimana firman-Nya),

لَا تَثۡرِيبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡيَوۡمَۖ 

‘Tiada celaan atas kalian pada hari ini.’

Pergilah. Kalian semua bebas.”

Mendengar ini, luluhlah hati Suhail dan orang-orang yang bersamanya, dalam keadaan malu dan segan melihat pekerti agung Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan kasih sayangnya yang membuat akal manusia terbang keheranan. Lidah pun kelu, tak mampu berucap sepatah kata pun.

Mulailah bersemi rasa cinta di dalam hati Suhail kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tumbuh pula kecondongannya kepada Islam. Dia pun datang kepada putranya, Abu Jandal (yang telah muslim, -red.), agar memintakan jaminan keamanan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberinya jaminan keamanan. Setelah itu, Suhail ikut berangkat menuju Hunain bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan masih musyrik, sampai dia masuk Islam di Ji’ranah.

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberinya waktu itu seratus ekor unta dari ghanimah Hunain. Semakin bertambah rasa takluk dan malu dalam hati Suhail.

Baca juga:

Perang Hunain (bagian satu)

Tak lama, Islam mulai tumbuh mekar dalam hati Suhail. Dia berusaha sekuat tenaga mengganti apa-apa yang pernah hilang darinya. Hatinya setiap saat merasa teriris-iris ketika mengingat betapa jauhnya dia selama ini dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Keras kepala, kesombongan, dan peperangan sungguh-sungguh telah membuat mereka buta.

Setelah tabir itu tersingkap, tampaklah hakikat iman di depan mata mereka, bahkan diresapi oleh hati-hati mereka.

Beberapa sahabat dan orang-orang yang datang sesudah mereka mempersaksikan, “Tidak ada seorang pun pembesar Quraisy yang belakangan masuk Islam, lalu masuk Islam ketika Fathu Makkah, yang lebih banyak shalatnya, puasanya, dan sedekahnya daripada Suhail. Bahkan, tidak ada yang lebih bersemangat terhadap hal-hal yang mendukung kepada akhirat dibandingkan dengan Suhail bin Amr.”

Bahkan diceritakan, warna kulitnya berubah dan dia sering menangis ketika membaca Al-Qur’an.

Pernah terlihat, dia selalu menemui Muadz bin Jabal radhiallahu anhu yang ditugasi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajari penduduk Makkah tentang syariat Islam.

Ada yang berkata kepadanya, “Kamu mendatangi Muadz? Mengapa engkau tidak mendatangi salah seorang dari Quraisy untuk mengajarimu?”

Suhail menukas, “Inilah yang telah mereka melakukan sehingga mengalahkan kami. Demi umurku, aku selalu mendatanginya. Islam telah menghinakan sikap-sikap jahiliah. Dengan Islam ini, Allah mengangkat suatu kaum yang sama sekali tidak terkenal pada masa jahiliah. Duhai kiranya kami bersama mereka, dan kami juga mendahului.”

Itulah keikhlasan. Itulah keimanan, ketika menghunjam di dalam hati. Sebab, hakikat ikhlas adalah terdorongnya hati kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan bertobat dari segala dosa dengan tobat nasuha.

Baca juga:

Sebab-Sebab Penghapus Dosa

Suhail terus melangkah. Menelusuri jalannya menuju surga ar-Rahman, untuk menebus apa yang luput darinya. Dialah yang mengucapkan kata-kata yang terkenal ini,

“Demi Allah. Saya tidak akan biarkan satu tempat pun yang di situ saya berada bersama kaum musyrikin melainkan saya berada di sana bersama kaum muslimin seperti itu juga. Tidak ada satu pun nafkah yang dahulu saya serahkan bersama kaum musryikin melainkan saya infakkan pula kepada kaum muslimin yang serupa dengannya. Mudah-mudahan urusanku dapat menyusul satu sama lainnya.”

Setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat, beberapa kabilah mulai murtad dari Islam. Bahkan, penduduk Makkah mulai goyah. Bangkitlah Suhail mengingatkan bangsanya, “Wahai penduduk Makkah. Kalian adalah manusia yang paling akhir masuk ke dalam agama Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam), maka janganlah kalian menjadi orang pertama yang keluar darinya….”

Kemudian dia melanjutkan, “Siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam) sudah wafat. Siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Mahahidup, tidak akan pernah mati.”

Mungkin inilah rahasianya, mengapa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dahulu melarang Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu mematahkan gigi seri Suhail. Dikisahkan, Umar pun tersenyum mendengar berita pembelaan Suhail radhiallahu anhu terhadap Islam ini.

Baca juga:

Nabi Muhammad Wafat

Suhail tetap teguh di atas kebaikan dan keimanan. Bertambah banyak shalat dan puasa serta sedekahnya. Dia senantiasa menangis ketika membaca Kitab Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, dia sengaja berangkat menuju negeri Syam sebagai mujahid, memerangi musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketika di Yarmuk, tempat ia bertugas sebagai amir (gubernur) negeri Kurdus, dia tetap berjaga di perbatasan muslimin, sambil mengingat hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَقَامُ أَحَدِكُم فِى سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً مِنْ عُمْرِهِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ عُمْرَهُ فِى أَهْلِهِ

“Posisi salah seorang dari kamu di jalan Allah satu saat saja dari usianya, lebih baik dari amalannya seumur hidup ketika dia bersama keluarganya.”

Kata Suhail, “Saya akan tetap berjaga di perbatasan (ribath) sampai mati dan tidak akan kembali lagi ke Makkah.”

Suhail tetap berada di posnya sampai meninggal dunia karena wabah penyakit tha’un[1]. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

“Wabah tha’un adalah syahadah setiap muslim.”

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai Suhail bin Amr.

Islamnya al-Harits bin Hisyam

Adapun al-Harits bin Hisyam, dia tetap memerangi kaum muslimin sampai Fathu Makkah. Ketika tahu bahwa dia termasuk orang pertama yang dicari (untuk dibunuh), maka dia meminta jaminan keamanan kepada Ummu Hani’ bintu Abi Thalib, lalu Ummu Hani’ melindunginya.

Akan tetapi, saudaranya (Ali, Ja’far, atau Aqil) ingin membunuhnya. Ummu Hani’ segera mengadukan hal ini kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam sambil berkata, “Si Fulan—saudaranya—menganggap aku tidak berhak memberi jaminan.”

Kata Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Kami melindungi orang yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’.”

Al-Harits bin Hisyam semakin jengkel melihat kekalahan Quraisy. Dia berkata, “Duhai kiranya aku mati sebelum kejadian ini dan tidak menyaksikan peristiwa ini.”

Ketika dikatakan kepadanya, “Tidakkah kau lihat apa yang diperbuat oleh Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam)? Dia menghancurkan sembahan-sembahan itu?!”

Kata al-Harits, “Kalau Allah tidak suka, pasti Dia akan mengubahnya.”

Setelah mereka dibebaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hati para pembesar Quraisy mulai merenungkan Islam. Al-Harits termasuk yang masuk Islam saat itu.

Kemudian setelah usai Perang Hunain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam membujuk hati tokoh-tokoh Quraisy tersebut dengan memberi mereka seratus ekor unta. Hal ini semakin menghancurkan duri-duri permusuhan dan sikap keras kepala mereka. Perlahan tetapi pasti, Islam mulai merambah hati-hati yang mulai tunduk dan melembut itu. Akhirnya bersemilah Islam di dada Al-Harits bin Hisyam, bahkan sangat baik Islamnya.

Baca juga:

Perang Hunain (bagian tiga)

Pada masa pemerintahan Umar, al-Harits berangkat pindah menuju negeri Syam, sebagai mujahid. Hingga terjadilah peristiwa bersejarah di Yarmuk. Ketika itu Ikrimah bin Abi Jahl radhiallahu anhu berkata, “Siapa yang mau berbaiat untuk mati?”

Berbaiatlah empat ratus orang untuk mati syahid di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menerobos jantung pertahanan musuh, hingga gugur satu per satu di permukaan bumi, sementara arwah mereka menuju langit tinggi. Di antara mereka ada al-Harits bin Hisyam.

Yarmuk menjadi saksi bisu bagaimana tentara tauhid membela agama Allah subhanahu wa ta’ala, meninggikan kalimat-Nya. Jumlah yang tidak seimbang tidak membuat gentar hati-hati yang sudah terisi kokoh dengan kalimat tauhid. Memang, mereka bukan berperang karena jumlah dan kekuatan fisik. Pasukan salibis dipukul mundur oleh para pembela panji tauhid dengan kekalahan yang sangat memalukan dan menimbulkan dendam hingga berabad-abad lamanya.

Sejarah mencatat sikap kepribadian al-Harits yang agung ketika dia mendahulukan kepentingan orang lain sebelum beliau mati sebagai syahid. Ketika datang seorang prajurit muslim hendak memberinya minum—pada saat-saat kritisnya—dia mendengar erangan saudaranya, Ikrimah. Dia pun meminta agar air itu dibawa kepada Ikrimah.

Prajurit itu membawakan air untuk diminumkan kepada Ikrimah. Akan tetapi, Ikrimah mendengar pula erangan Ayyasy bin Rabi’ah. Dia pun mengisyaratkan agar air dibawa kepada Ayyasy. Namun, ketika mereka sampai di tempat Ayyasy, ternyata dia sudah gugur sebagai syahid.

Prajurit itu kembali kepada Ikrimah, ternyata Ikrimah pun telah wafat. Lalu mereka kembali kepada al-Harits, ternyata dia juga telah wafat.

Baca juga:

Mengutamakan Orang Lain Atas Diri Sendiri

Benarlah kata mereka (para thulaqa ini, orang-orang yang dibebaskan/baru masuk Islam pada Fathu Makkah), “Kalau di dunia kita dikalahkan oleh mereka (sahabat yang lebih dahulu masuk Islam), maka di akhirat kita bergabung bersama mereka.”

Itu bukan ucapan belaka. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka.

Islamnya Shafwan bin Umayyah

Shafwan yang diamuk dendam kesumat karena kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf, seakan tak pernah tidur memikirkan bagaimana membalaskan dendam tersebut. Permusuhan dan kebenciannya kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam membawanya kepada kesepakatan bersama Umair bin Wahb.

Suatu hari dia bersama Umair berbincang-bincang tentang korban Perang Badr. Shafwan berkata, “Demi Allah, hidup ini tidak menyenangkan sepeninggal mereka.”

Kata Umair, “Betul, demi Allah. Kalau bukan karena utang yang tak mampu kulunasi dan keluarga yang akan jadi tanggungan sepeninggalku, pasti aku datangi Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam) untuk membunuhnya.”

Kemudian dia melanjutkan, “Aku katakan bahwa aku datang untuk menebus putraku yang ditawan oleh kalian.”

Mendengar ini, Shafwan segera menukas, “Utangmu menjadi tanggunganku. Aku yang akan melunasinya. Keluargamu hidup bersama keluargaku, selama mereka masih hidup.”

Kata Umair, “Kalau begitu, rahasiakan hal ini.”

Setelah Umair tiba di depan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata kepadanya, “Berita apa yang kau bawa, hai Umair?”

“Aku ingin menebus tawanan kalian ini,” katanya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya pula, “Lantas untuk apa pedang di lehermu?”

Kata Umair, “Semoga Allah membuatnya buruk. Apakah dia berguna bagi kami?”

Rasul shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Jujurlah, wahai Umair. Apa yang mendorongmu datang?”

“Tidak ada lain, selain urusan tawanan,” katanya.

Baca juga:

Perang Badr Kubra (bagian satu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Bukan, kamu dan Shafwan bin Umayyah duduk di Hijr (Ismail) lalu kalian menyebut-nyebut korban Badr dari Quraisy. Lalu kau mengatakan, ‘Kalau bukan karena utangku dan keluarga yang jadi tanggungan, pasti aku datangi Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam) untuk membunuhnya.’ Lalu Shafwan memberi jaminan untukmu akan melunasi utangmu dan menanggung keluargamu kalau engkau dapat membunuhku untuknya. Allah adalah Penghalang antara engkau dan keinginanmu.”

Saat itu juga, Umair berseru, “Aku bersaksi tidak ada sembahan yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah. Tidak ada yang mengetahui pembicaraan ini selain aku dan Shafwan. Demi Allah, tidak ada yang menyampaikannya kepadamu kecuali Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberiku hidayah kepada Islam.”

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat agar mengajarinya agama dan Al-Qur’an serta membebaskan tawanannya (putra Umair).

Sementara itu, di kota Makkah, berhari-hari Shafwan menunggu kedatangan Umair. Dia menghibur bangsa Quraisy bahwa sudah ada orang yang siap membunuh Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam). Tinggal menunggu beritanya.

Meletuslah peristiwa Fathu Makkah, Umair datang bersama tentara Allah subhanahu wa ta’ala lainnya. Dia mencari Shafwan, mengajaknya masuk Islam. Namun, Shafwan lebih memilih lari meninggalkan Makkah.

Shafwan menuju Jeddah bermaksud menaiki sebuah kapal lantas berlayar ke Yaman. Umair mengetahuinya. Dia pun datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan adalah pemuka kaumnya. Dia telah pergi karena takut kepadamu. Dia ingin menceburkan dirinya ke laut. Berilah dia jaminan keamanan.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Dia aman.”

Kata Umair pula, “Wahai Rasulullah, berilah aku tanda agar dia tahu sebagai jaminanmu.”

Baca juga:

Sepenggal Catatan Tentang Terorisme

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberinya sorban yang beliau pakai ketika memasuki Makkah.

Umair bergegas mengejar Shafwan. Setelah bertemu, dia berkata, “Hai Shafwan, bapak ibuku tebusanmu. Ingatlah Allah, ingatlah Allah terhadap dirimu! Janganlah engkau membinasakan dirimu sendiri. Aku membawa jaminan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Akan tetapi, Shafwan membalas, “Sial kamu. Pergilah, jangan bicara lagi denganku.”

Umair membujuknya, “Wahai Shafwan, bapak ibuku tebusanmu. Sesungguhnya Rasulullah adalah orang yang paling utama, paling berbakti, paling santun, dan paling baik. Kemuliaannya adalah kemuliaanmu juga, kejayaannya adalah kejayaanmu juga.”

Kata Shafwan, “Aku mengkhawatirkan diriku.”

Umair menjawab, “Beliau lebih santun dan lebih pemurah dari itu.”

Akhirnya Shafwan kembali bersamanya dan berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Shafwan berkata kepada beliau, “Sesungguhnya dia ini mengatakan engkau memberiku jaminan.”

Kata Rasul (shallallahu alaihi wa sallam), “Betul.”

Kata Shafwan, “Beri aku waktu berpikir dua bulan.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Engkau boleh memilih selama empat bulan.”

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menyiapkan pasukan menuju Hawazin untuk memerangi mereka, disebutkan kepada beliau bahwa Shafwan memiliki persenjataan lengkap. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menemuinya—yang ketika itu masih musyrik. Kata beliau, “Pinjami kami senjatamu untuk memerangi musuh besok.”

Kata Shafwan, “Apakah ini perampokan, wahai Muhammad?”

Beliau menjawab, “Bukan, ini pinjaman yang ada jaminan sampai kami kembalikan kepadamu.”

“Kalau begitu, tidak mengapa,” katanya.

Baca juga:

Adab Utang Piutang

Ternyata sesudah itu, sebagian senjata itu ada yang rusak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Kalau kamu mau, kami jadikan sebagai utang kepadamu.”

“Tidak perlu,” katanya.

Usai perang, kaum muslimin memperoleh rampasan yang sangat berlimpah. Shafwan mulai melihat lembah itu dipenuhi binatang ternak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meliriknya, lalu berkata, “Apakah lembah (yang dipenuhi ternak) itu menakjubkanmu?”

“Ya,” kata Shafwan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Itu semua untukmu.”

Segera saja Shafwan mengambil semua yang ada di lembah itu. Dia berkata, “Tidak mungkin ada seorang pun senang berbuat (memberi) dengan pemberian seperti ini kecuali seorang nabi. Aku bersaksi tidak ada sembahan yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Dia pun masuk Islam di tempat itu juga.

Shafwan tetap tinggal di Makkah sebagai muslim sesudah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali ke Madinah. Lalu ada yang berkata kepadanya, “Tidak ada Islam bagi mereka yang tidak hijrah.”

Shafwan pun berangkat menuju Madinah dan singgah di rumah Abbas. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Dia orang Quraisy yang paling baik terhadap Quraisy. Kembalilah ke Makkah karena tidak hijrah sesudah Fathu Makkah. Lagi pula siapa yang mengawasi pengairan Makkah?!”

Akhirnya dia kembali ke Makkah. Di Makkah, Shafwan dikenal sebagai salah seorang dermawan yang suka memberi makan, bahkan dijuluki sebagai Pemuka Makkah. Baik pula Islamnya. Dahulu dia gunakan lisannya yang fasih menyakiti kaum muslimin, maka hari ini, dia gunakan kefasihannya untuk menolong agama Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau tetap hidup dalam Islam sebagai orang dermawan yang terpuji. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.

Islamnya Ikrimah bin Abi Jahl

Setelah pasukan kecilnya dihancurkan oleh pasukan Khalid bin al-Walid radhiallahu anhu, ketakutan menyelinap di hati Ikrimah. Dia tahu, dia dan ayahnya adalah orang yang paling sengit memusuhi Islam dan muslimin.

Ikrimah tahu apa yang diterimanya jika dia tetap di Makkah. Akhirnya, dia melarikan diri hingga sampai di tepi laut.

Ketika sudah berada di atas kapal, mereka diterjang badai. Mulailah penumpang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mentauhidkannya, dan berkata, “Sesungguhnya tempat ini tidak ada yang berguna kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.”

Kata Ikrimah, “Apa yang harus kuucapkan?”

“Ucapkanlah la ilaha illallah,” kata nakhoda kapal.

“Justru aku melarikan diri dari kalimat ini,” katanya.

Kemudian sampailah Ummu Hakim (istrinya) yang menyusulnya ke pantai itu, lalu berkata, “Hai putra pamanku. Aku datang dari orang yang paling suka menyambung tali kasih sayang, paling berbakti, dan paling baik. Janganlah kau rusak dirimu.”

Ikrimah berhenti hingga Ummu Hakim mendekat dan berkata, “Aku sudah memintakan jaminan keamanan untukmu kepada Muhammad, Rasulullah.”

Ikrimah seperti tak yakin mendengarnya, “Engkau? Engkau melakukannya?”

“Ya. Aku sudah bicarakan dengan beliau, lalu beliau memberi jaminan keamanan,” kata Ummu Hakim.

Ikrimah pun kembali bersama Ummu Hakim. Ikrimah bertanya, “Apa yang dilakukan budakmu kepadamu?”

Ummu Hakim menceritakan bagaimana dia dirayu oleh budak tersebut. Mendengar ini Ikrimah pun membunuh budak itu.

Di perjalanan, Ikrimah membujuk Ummu Hakim melayaninya, tetapi ditolak oleh Ummu Hakim. Katanya, “Sesungguhnya kamu kafir, sedangkan aku seorang wanita muslimah.”

Kata Ikrimah, “Sesuatu yang menghalangimu ini betul-betul urusan yang sangat besar.”

Baca juga:

Ummu Hakim bintu al-Harits

Setibanya di Makkah, Ikrimah dan Ummu Hakim segera menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Begitu melihatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyambut dan mengucapkan selamat datang kepadanya. Ikrimah berdiri di hadapan beliau sementara istrinya menutupi mukanya dengan sehelai cadar.

Dia pun berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya wanita ini menerangkan bahwa engkau memberiku jaminan keamanan?”

Kata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Dia benar, dan engkau aman.”

Lalu dia pun berkata, “Kepada apa engkau mengajakku, wahai Muhammad?”

Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Aku mengajakmu agar bersaksi tidak ada sembahan yang haq kecuali Allah dan aku adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan berbuat (kebaikan), ….” dan seterusnya. Beliau pun menyebutkan beberapa perilaku Islam.

Ikrimah berkata, “Demi Allah. Tidaklah engkau mengajak kami melainkan kepada yang haq dan urusan yang baik lagi indah.”

Baca juga:

Menyelami Samudra Keindahan Islam

Kemudian Ikrimah melanjutkan, “Sungguh, aku bersaksi tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.”

Mendengar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat gembira. Kemudian beliau berkata setelah menerangkan apa yang harus dilakukan Ikrimah, “Tidaklah seorang pun yang memintaku sesuatu pada hari ini melainkan pasti aku beri.”

Ikrimah tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia berkata, “Kalau begitu, saya memintamu agar memintakan ampunan kepada Allah untukku atas segala permusuhanku terhadapmu atau semua ucapan yang kuucapkan di depan atau di belakangmu.”

Kata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Ya Allah, ampunilah dia atas semua permusuhannya dan upayanya memadamkan cahaya (agama)-Mu. Ampunilah dia atas perbuatannya terhadap pribadiku, di depan atau di belakangku.”

Ikrimah pun berkata, “Aku ridha, wahai Rasulullah. Tidak aku biarkan nafkah yang dahulu kuberikan melawan Islam, melainkan aku infakkan berkali lipat di jalan Allah. Tidak pula peperangan yang dahulu kuikuti menghalangi manusia dari jalan Allah, melainkan aku akan terjun berkali lipat di jalan Allah.”

Setelah Ikrimah masuk Islam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengembalikan istrinya (Ummu Hakim, red.) kepada Ikrimah dengan pernikahan yang pertama.

Islam mulai merambah dalam hati Ikrimah. Muhajir yang kehausan ini betul-betul merasakan telaga bening Islam. Sikap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang begitu hangat menyambut kehadirannya membuatnya malu saat teringat begitu sengit dendam dan permusuhan dia serta ayahnya terhadap Islam dan kaum muslimin, terlebih pribadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Lihatlah apa yang dimintanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bukan dunia. Dia hanya minta agar Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya.

Baca juga:             

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Sejarah telah membuktikan kejujurannya memeluk Islam, keuletannya menebus dan mengubur masa lalunya yang hitam.

Yarmuk, salah satu daerah di negeri Syam menceritakan bagaimana singa-singa Allah subhanahu wa ta’ala menerkam musuh-musuh mereka. Kekuatan dan perlengkapan musuh yang begitu dahsyat, ternyata tidak meluluhkan tekad mereka; menang atau mati syahid.

Ketika Ikrimah sudah bersiap menembus pasukan musuh, Khalid bin al-Walid, saudara sepupunya, berkata, “Jangan lakukan. Kematianmu sangat merugikan kaum muslimin.”

Kata Ikrimah, “Biarlah, hai Khalid, karena kau telah pernah ikut bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Apalagi ayahku sangat hebat memusuhi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Ikrimah menerobos ke tengah-tengah pasukan musuh yang berjumlah puluhan ribu orang bersama beberapa ratus prajurit muslim lainnya.

Diceritakan, bahwa dia pernah berkata ketika Perang Yarmuk, “Aku dahulu memerangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di setiap medan pertempuran. Hari ini, apakah aku akan lari dari kalian (yakni pasukan lawan, -red.)?”

Lalu dia berseru, “Siapa yang mau berbaiat untuk mati?”

Berbaiatlah al-Harits bin Hisyam, Dhirar bin al-Azwar bersama empat ratus prajurit muslim lainnya.

Mereka pun maju menggempur musuh di depan kemah Khalid sampai satu demi satu mereka jatuh berguguran sebagai syuhada.

Baca juga:

Jangan Gampang Memvonis Mati Syahid

Kata az-Zuhri, “Waktu itu, Ikrimah adalah orang yang paling hebat ujiannya. Luka sudah memenuhi wajah dan dadanya sampai ada yang mengatakan kepadanya, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, kasihanilah dirimu’.”

Akan tetapi, Ikrimah menukas, “Dahulu aku berjihad dengan diriku demi Latta dan Uzza. Bahkan, aku serahkan jiwaku untuk mereka. Lantas, sekarang, apakah harus aku biarkan jiwaku ini tetap utuh karena (membela) Allah dan Rasul-Nya? Tidak. Demi Allah, selamanya tidak.”

Hal itu tidaklah menambahi apa pun selain beliau semakin berani menyerang hingga gugur sebagai syahid. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai Ikrimah.


Catatan Kaki

[1] Suatu penyakit menular, berupa bengkak yang asalnya menjangkiti tikus. Penyakit ini lalu menyebar kepada tikus lain melalui kutu hingga akhirnya menjangkiti manusia. (al-Mu’jamul Wasith, -ed.)

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits