Berdamai itu Lebih Baik

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah)

 

Kebersamaan sepasang insan yang dijalin dengan pernikahan tak selamanya seia sekata. Di antara mereka terkadang ada ketidakcocokan yang dapat memicu pertikaian.

Ada yang tidak bisa mencintai pasangannya sehingga kebersamaan terasa hambar dan ingin diakhiri. Bisa jadi cinta itu tidak pernah tumbuh sejak awal pernikahan ataupun pernah ada cinta kemudian pupus di belakang hari, karena satu atau beberapa sebab. Ketiadaan cinta ini jelas memicu masalah. Apalagi bila suami yang tidak memiliki cinta terhadap sang istri, sementara si istri tetap ingin hidup bersamanya.

Syariat yang mulia memberi solusi atas permasalahan seperti ini. Allah l berfirman:

“Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz1 atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. Dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kalian bergaul dengan istri kalian secara baik dan memelihara diri kalian dari nusyuz dan sikap tak acuh maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (An-Nisa’: 128)

Al-Hafizh Ibnu Katsir t menerangkan dalam tafsirnya, “Apabila istri mengkhawatirkan suaminya akan menjauhinya atau berpaling darinya, ia boleh menggugurkan haknya atau sebagian haknya (sehingga ia merelakan suaminya untuk tidak memenuhi hak yang digugurkan tersebut). Baik hak itu berupa nafkah, pakaian, mabit (bermalam di sisinya), atau hak-hak lainnya yang semula wajib ditunaikan sang suami. Si suami boleh menerima pengguguran hak tersebut. Si istri tidak berdosa merelakan haknya kepada suaminya. Suaminya pun tidak berdosa bila menerimanya. Karena itulah Allah l berfirman:

“Maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)

Kemudian Allah l menyatakan:

“Dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka…” (An-Nisa’: 128)

Maksudnya, berdamai itu lebih baik daripada harus berpisah.

Allah l berfirman:

ﭤ ﭥ ﭦ

“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (An-Nisa’: 128)

Maksudnya berdamai tatkala ada pertikaian itu lebih baik daripada harus berpisah. Karena itulah, ketika Saudah bintu Zam’ah x mencapai usia tua, Rasulullah n berketetapan hati untuk menceraikannya, maka Saudah pun meminta perdamaian kepada Rasulullah n agar beliau tetap menahannya sebagai istri, tidak menceraikannya, dan ia menyerahkan hari gilirannya kepada Aisyah x. Rasulullah n menerima permintaan Saudah tersebut dan tetap menahannya sebagai istri beliau dengan perjanjian demikian2.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 2/314)

Aisyah x berkata, “Seorang lelaki memiliki seorang istri, tetapi ia tidak mencintai istrinya dan ingin menceraikannya. Maka istrinya berkata, ‘Biarkanlah aku tetap sebagai istrimu, jangan dicerai.’ Maka turunlah ayat ini (yaitu An-Nisa’: 128) dalam perkara tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 4601)

Ali bin Abi Thalib z ketika ditanyai seseorang tentang ayat di atas, beliau menerangkan, “Ayat di atas berkenaan dengan seorang istri yang masih dalam status pernikahan dengan suaminya namun kedua mata suaminya tidak sedap memandangnya. Mungkin karena keburukan paras/rupanya, kefakirannya, usianya yang sudah tua, atau karena akhlaknya yang buruk. Sementara si istri tidak suka bila harus berpisah dengan suaminya. Bila si istri merelakan sesuatu dari maharnya untuk suaminya, maka halal bagi suami untuk mengambilnya. Juga bila istri menyerahkan hari-harinya untuk tidak dipenuhi oleh suaminya (tidak dikunjungi). maka tidak ada dosa dalam hal ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/259-260)

Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i t dalam kitab beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabil Nuzul (hal. 93) membawakan riwayat dari Rafi’ ibnu Khadij. Beliau ini memiliki seorang istri yang telah berusia tua. Kemudian beliau menikah lagi dengan seorang wanita yang masih berusia remaja. Maka ia lebih mengutamakan istri mudanya daripada istri pertamanya. Namun istri pertamanya tidak menerima hal tersebut. Rafi’ pun menceraikannya dengan talak satu. Sampai menjelang akhir iddah si istri, Rafi’ menawarkan, “Kalau kamu mau aku akan merujukmu. Namun kamu harus bersabar dengan perkara yang ada. Tapi kalau kamu tidak menghendaki hal tersebut, aku akan meninggalkanmu sampai berakhir iddahmu.” Istrinya berkata, “Rujuklah diriku dan aku akan bersabar dengan kenyataan kamu lebih mengutamakan dirinya.” Setelah berlalu waktu dan Rafi’ tetap mengutamakan istri keduanya, istri pertamanya ternyata tidak sabar dengan kenyataan tersebut. Maka Rafi’ pun menceraikannya untuk kedua kalinya dan tetap memilih istri keduanya. Rafi’ berkata, “Inilah perdamaian yang telah sampai kepada kami bahwa Allah l menurunkan ayat tentangnya:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟﭠ

“Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” (Diriwayatkan Al-Hakim, 2/308, ia berkata, “Shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” Adz-Dzahabi mendiamkannya.)

Asy-Syaikh Muqbil menyatakan bahwa Rafi’ hendak menerangkan, ayat di atas juga mencakup apa yang ia lakukan.

Dengan penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa ketika ada permasalahan di antara suami istri, maka berdamai lebih baik daripada harus berpisah, dengan cara memaafkan, bersabar, dan merelakan sebagian hak tidak dipenuhi. Walaupun sebenarnya jiwa itu tabiatnya kikir, tidak mau menggugurkan apa yang menjadi haknya, bahkan berambisi untuk menuntut haknya. Namun sepantasnya seseorang bersemangat untuk melepaskan diri dari tabiat jiwa yang buruk tersebut dan menggantinya dengan yang sebaliknya, yaitu memberi pemaafan dan kelapangan, merelakan haknya tidak terpenuhi dan merasa cukup dengan sebagian saja, tidak menuntut semuanya. Bilamana seseorang bisa berakhlak baik seperti ini, akan mudah baginya untuk mengadakan perdamaian dengan orang yang bermuamalah dengan dirinya. Beda halnya dengan orang yang memelihara kekikiran dirinya, tidak ada upaya menghilangkannya. Akan sulit baginya berdamai dan membuat kesepakatan dengan orang yang bermasalah dengannya. Karena ia tidak ridha kecuali bila semua haknya dipenuhi dan tidak ingin menggugurkannya untuk orang lain. Demikian penjelasan Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di t dalam tafsirnya. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 207)

Pernah ada permasalahan diungkapkan kepada para masyaikh yang duduk di Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa), ketika itu masih diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t, tentang seorang istri yang tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya sehingga suaminya hendak menceraikannya. Akan tetapi si istri memilih tetap hidup bersama suaminya dengan kedua anaknya yang masih kecil, dengan kesepakatan ia akan menggugurkan seluruh haknya, sehingga suaminya tidak perlu bermalam di sisinya, tidak perlu berlaku adil kepadanya. Ringkas kata, ia tidak menuntut apa-apa dari suaminya. Suaminya menyetujui hal tersebut sehingga keduanya pun sepakat. Pertanyaannya, apakah sah kesepakatan seperti ini? Apakah si suami tidak berdosa bila tidak memenuhi hak-hak istrinya?

Al-Lajnah Ad-Da’imah memberikan fatwa, “Bila seorang istri menggugurkan hak-haknya agar tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya, kemudian tercapai kesepakatan antara keduanya maka tidak ada larangan dalam hal ini. Karena dahulu Saudah x meminta kepada Rasulullah n agar tetap menjadikannya sebagai istri, tidak menceraikannya, dan sebagai perdamaiannya ia menghadiahkan malamnya untuk Aisyah x. Rasulullah n pun menerima permintaan Saudah tersebut.” (Fatwa no. 20688, dari Fatawa Al-Lajnah, 19/207-208)

 

Suami yang Tidak Mencintai Istrinya Hendaknya Menahan Istrinya dengan Baik atau Menceraikannya

Pernah ada keluhan tersampaikan dari seorang istri tentang suaminya yang tidak bergaul dengan ma’ruf, karena ia tidak mencintai istrinya namun tidak juga diceraikannya. Ia tidak memberikan nafkah lahir batin kepada istrinya dan tidak pula menempatkan istrinya di rumahnya, namun menyuruh istrinya tinggal di rumah orangtuanya. Maka suami seperti ini jelas tidak menunaikan kewajibannya. Ia telah membiarkan istrinya terkatung-katung seperti disinggung dalam ayat:

“Sehingga kalian biarkan istri tersebut terkatung-katung.” (An-Nisa’: 129)

Status si istri menjadi tidak jelas, tidak sebagai janda namun tidak pula sebagai seorang yang memiliki suami. (Ma’alimut Tanzil atau Tafsir Al-Baghawi, 1/388)

Tentunya perbuatan seperti ini tidak diperkenankan oleh syariat, bahkan termasuk kezaliman. Karena, selama si wanita berstatus sebagai istri maka ia harus dipergauli dengan cara yang baik sebagaimana firman Allah l:

“Dan bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf (baik).” (An-Nisa’: 19)

Terkecuali bila si istri memaafkan, merelakan, dan menggugurkan sebagian atau seluruh haknya yang semula harus ditunaikan suaminya. Kalau tidak bisa ditempuh perdamaian, maka perpisahan mungkin merupakan obatnya.

Seorang suami pernah menyampaikan problem rumah tangganya kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah, “Saya seorang pemuda berusia 22 tahun dan telah menikah dengan seorang wanita yang masih kerabat dekat, yaitu putri bibi saya. Pernikahan kami telah berlangsung sekitar 2 tahun. Namun saya tidak pernah mencintainya. Saya menikahinya karena desakan ibu saya agar memperistri keponakannya tersebut. Akan tetapi setelah menikah belum juga tumbuh cinta kepadanya dalam hati saya, padahal saya telah berupaya mencoba dan mencoba, namun tidak ada faedahnya. Tempat kerja saya jauh dari kediaman ibu saya sementara istri saya itu tinggal bersama ibu saya. Sekarang ini saya tidak mendatangi mereka kecuali setahun sekali karena saya tidak sanggup duduk bersama istri saya disebabkan saya tidak menyukainya. Padahal ia telah melahirkan seorang putri untuk saya yang mencintai saya dan saya pun sangat mencintainya. Namun saya tetap tidak menginginkan ibunya sebagai istri saya. Dulu saya menikahinya karena desakan ibu, juga karena usia saya yang masih muda, cepat menikah mendahului teman-teman saya. Sungguh saat itu saya belum berpikir jauh ke depan. Istri saya sebenarnya seorang wanita yang sangat mulia dan cerdas, hanya saja saya tidak mampu menjadikan hati saya merasa cukup dengannya. Apa yang harus saya lakukan, sementara bila saya menceraikannya, ibu saya akan kecewa dan saya sendiri khawatir setelah bercerai nanti istri saya tidak dapat menikah lagi dan ia akan tersia-siakan, karena seperti yang  saya katakan, ia putri bibi saya. Saya tidak menginginkan dirinya sengsara. Disamping itu, saya tidak inginkan putri saya yang tidak berdosa tersia-siakan. Ataukah saya harus tetap mempertahankannya dan bersabar dalam kegundahan saya lalu menikahi wanita lain namun jelas saya tidak dapat berlaku adil selama saya tidak mencintainya.”

Demikian problem yang diadukan, maka Al-Lajnah Ad-Da’imah yang saat itu masih diketuai Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t memberikan jawaban, “Wajib bagi suami untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya dan menahannya dalam pernikahan dengan cara yang ma’ruf. Kalau ia tidak menyukai istrinya maka ia boleh mentalaknya dengan talak satu, mudah-mudahan setelah itu keadaannya berubah (bisa mencintai istrinya) dan merujuk istrinya kembali. Engkau boleh menikahi wanita lain namun engkau harus berlaku adil di antara istri-istri tersebut dalam hal pemberian nafkah, tempat tinggal, dan mabit (bemalam/menginap), kecuali bila salah satu dari istri tersebut menggugurkan haknya pada salah satu dari perkara tersebut, maka ketika itu tidak ada dosa bagimu. Wa billahit taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.” (Fatwa no. 6723, dari Fatawa Al-Lajnah, 19/249-250)


1 Di antara definisi nusyuz adalah salah satu atau masing-masing dari suami istri tidak menyukai pasangannya. Demikian keterangan Al-Imam Al-Qurthubi t dalam tafsirnya.

2 Haditsnya ada dalam Ash-Shahihain.