(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Mencari nafkah untuk menghidupi keluarga adalah tugas dan tanggung jawab suami. Inilah salah satu rahasia mengapa derajat lelaki di atas wanita, dengan dijadikannya lelaki sebagai pemimpin, pengayom, penanggung jawab, penjaga, dan pelindung kaum wanita. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur’an yang mulia:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (para lelaki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.” (an-Nisa: 34)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t menyatakan, lelaki adalah pemimpin, pembesar, pemutus urusan, dan pendidik bagi wanita ketika ia bengkok/menyimpang karena lelaki lebih baik dan lebih utama daripada wanita. Oleh sebab itu, yang beroleh kenabian hanya lelaki. Di samping itu, lelaki telah membelanjakan dan mengeluarkan hartanya untuk memberi mahar kepada wanita yang dinikahinya, memberi nafkah kepada keluarganya, dan tanggungan-tanggungan lain yang diwajibkan oleh Allah l atas lelaki untuk kepentingan wanita. (Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/209)
Sesuatu yang lumrah dalam budaya masyarakat yang masih lurus, ketika seorang lelaki berposisi sebagai suami dan ayah, anak lelaki, atau saudara lelaki, ia bekerja untuk memberi makan anak dan istrinya berikut orang-orang yang berada di bawah tanggungannya. Sementara itu, wanita sebagai istri, ibu, anak perempuan, atau saudara perempuan tinggal di rumah untuk mengurus pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Maka dari itu, suami atau ayah sering disebut sebagai penopang ekonomi keluarga karena lewat dirinyalah umumnya seorang istri beroleh harta yang dikelola untuk kepentingan rumah tangga, kebutuhan bersama, atau keperluan pribadi si istri. Demikian juga, umumnya kebutuhan anak-anak didapatkan dari sang ayah. Karena adanya ketergantungan seorang istri kepada suami dalam hal nafkah inilah, Hindun bintu ‘Utbah x terdorong untuk mengadukan suaminya, Abu Sufyan z, kepada Rasulullah n. Menurutnya, Abu Sufyan menyempitkan nafkah untuk diri dan anaknya sehingga Hindun mengambil harta suaminya secara diam-diam. Hindun mengadu:
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Abu Sufyan adalah seorang yang pelit. Dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan anakku selain apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.”
Rasulullah n menjawab, “Ambillah dari hartanya apa yang dapat mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf1.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, disebutkan ucapan Hindun:
فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا؟
“Apakah aku berdosa mengambil hartanya dengan sembunyi-sembunyi?”
Apa yang kita sebutkan di atas adalah perkara secara umum, yaitu keuangan keluarga berasal dari “banting tulang peras keringat” suami. Namun, terkadang istri juga punya andil dalam memasok keuangan rumah tangga. Bisa jadi, si istri memiliki penghasilan sendiri yang diperolehnya dengan bekerja/berwirausaha, atau istri termasuk orang yang berharta dari pemberian atau warisan kerabatnya.
Karena si istri punya ‘pegangan sendiri’, ia bisa ikut membelanjakan hartanya untuk kebutuhan rumah suaminya atau rumah yang mereka beli bersama (patungan -Jw.). Mungkin pula ia membeli kendaraan keluarga atau keperluan anak-anak tanpa harus bergantung 100% kepada penghasilan/harta suaminya. Jika seperti ini keadaannya, apakah dibolehkan secara syariat adanya percampuran harta suami istri yang kemudian dianggap harta bersama (Jw: gono-gini)? Bolehkah suami memanfaatkan harta istrinya untuk keperluan rumah tangga mereka?
Masalah inilah yang ingin kami bawakan di sini secara ringkas, menukil keterangan dari ulama kita yang mulia. Ada yang mengajukan pertanyaan kepada Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz t sebagai berikut.
“Saya dan istri saya sama-sama bekerja. Sejak kami menikah, harta kami (penghasilan saya dan istri saya) digabung sebagai harta milik bersama. Saya, sebagai suami, mengurusi penghasilan kami. Setelah dikeluarkan untuk keperluan rumah tangga, kami menyimpan bagian yang tersisa untuk keperluan masa depan keluarga, seperti membangun rumah, membeli mobil, dan lainnya. Apakah harta istri yang terpakai oleh suaminya (guna membiayai kebutuhan keluarga) itu haram bagi suaminya, dalam keadaan si istri menyetujui/rela?”
Samahatusy Syaikh t menjawab, “Jika istri memperkenankan kerja sama (pengumpulan harta bersama) seperti yang disebutkan, dalam keadaan ia adalah wanita yang lurus pikirannya/baik akalnya (rasyidah, tidak lemah akal), tidak menjadi masalah. Hal ini berdasar firman Allah l:
“Berikanlah mahar kepada wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan (sesuatu) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisa: 4)
Adapun jika si istri adalah seorang yang kurang akalnya, tidak cerdas/lurus2, Anda tidak boleh mengambil hartanya sedikit pun. Jagalah harta itu untuknya. Semoga Allah l memberi taufik kepada semuanya menuju perkara yang menyampaikan keridhaan-Nya.”3
Pertanyaan senada juga ditujukan kepada beliau t. “Jika saya menikah dengan seorang wanita yang bekerja sebagai guru, apakah pantas saya mengambil gajinya dengan keridhaannya guna menutupi kebutuhan dan kemaslahatan kami berdua, seperti membangun rumah, misalnya. Saya tidak mencatat pengambilan tersebut, dia pun tidak memintanya. Saya sendiri mempunyai penghasilan bulanan dari pekerjaan saya sebagai pegawai.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz t menjawab, “Tidak ada dosa bagi Anda mengambil gaji istri Anda dengan keridhaannya jika ia seorang wanita yang berpikiran lurus/tidak kurang akal. Demikian pula segala sesuatu yang diserahkannya kepada Anda sebagai bentuk bantuan (atau tolong-menolong) maka tidak ada keberatan bagi Anda untuk mengambilnya jika ia memberikannya dengan senang hati dan ia wanita yang lurus akalnya, berdasar firman Allah l:
“Berikanlah mahar kepada wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan (sesuatu) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisa: 4)
Walaupun hal itu dilakukan tanpa pencatatan, tetapi jika Anda mencatatnya, hal itu lebih hati-hati, terutama jika Anda khawatir tuntutan dari keluarga istri Anda dan karib kerabatnya, atau Anda khawatir ia meminta kembali hartanya yang terpakai. Wabillahi at-taufiq.”4
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Kadar harta yang diambil tersebut diketahui telah mencukupi secara kebiasaan. (Fathul Bari, 9/613)
2 Mungkin karena usianya yang masih kecil atau sudah dewasa tetapi tidak sempurna akalnya.
3 Dimuat dalam surat kabar al-Bilad, no. 15377, 19-04-1419 H, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 20/42—43).
4 Dimuat dalam surat kabar al-Bilad, no. 15376, 18-04-1419 H, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 20/43—44).