(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)
Allah Yang Mahaadil, Mahabijaksana, Maha Pemurah, Maha Penyayang, dan Yang Maha Berilmu telah menganugerahkan akal kepada manusia untuk membedakan mereka dengan makhluk yang lain di muka bumi ini. Selain itu, akal yang dibimbing oleh syariat adalah alat untuk mengetahui segala yang akan mendatangkan maslahat dan yang akan menimbulkan mudarat pada dirinya. Namun, mayoritas manusia menyalahgunakan anugerah tersebut.
Allah l telah menciptakan mereka di atas fitrah (kesucian), namun manusia sendirilah yang menodai dan mengotorinya. Allah l juga menyusun organ tubuhnya dengan nafsu dan syahwat untuk meraih segala yang bermanfaat, namun manusia salah menggunakannya.
Apabila kita kembali kepada hukum “akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan dalil yang sahih”, niscaya kita akan mengetahui bahwa wahyu yang diturunkan oleh Allah l sesuai dengan hikmah anugerah akal tersebut.
Demikian juga fitrah, “tidak akan menolak segala kebenaran yang datang dari wahyu.” Saat akal telah rusak, fitrah telah ternodai, dan nafsu telah ditunggangi oleh iblis, ketika itulah semuanya akan menolak segala ketentuan wahyu dan menuntut kebebasan hidup. Ingin lepas dari aturan Allah l dan ingin merdeka dari syariat-Nya. Inilah pintu kebinasaan dan kehancuran manusia.
Rasulullah n telah menegaskan hal tersebut dalam sabdanya,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh, telah aku tinggalkan kalian di atas (hujah) yang putih (bersih), malamnya bagaikan siangnya. Tidak ada seseorang yang menyimpang darinya melainkan binasa.” (Shahih at-Targhib wa Tarhib no. 59 dari sahabat Irbadh bin Sariyah z)
Qatadah t berkata, “Sesungguhnya umat Islam sedikit di tengah umat yang banyak, maka berbaik sangkalah kalian kepada Allah l. Angkatlah harapan yang besar kepada-Nya, dan jadikanlah rahmat Allah l atas kalian melebihi amal-amal kalian karena tidak ada orang yang selamat melainkan dengan rahmat Allah l dan tidak ada seorang pun binasa melainkan karena amalnya sendiri.” (Syu’abil Iman no. 4301)
Rasulullah n juga bersabda,
وَلاَ يَهْلِكُ عَلَى اللهِ إِلاَّ هَالِكٌ
“Tidak ada yang akan dibinasakan oleh Allah l selain orang yang pantas binasa.” (HR. Muslim no. 131)
Bukti-Bukti Tuntutan Kebebasan
Seruan menuju kebebasan hidup adalah seruan kaum kafir yang ingin terbebas dari aturan Allah l. Mereka dipimpin oleh iblis yang menolak perintah Allah l, menuntut kebebasan dari aturan-Nya, dan meminta peluang untuk mencari pengikut.
Bukti tuntutan mereka terhadap kebebasan adalah komentar mereka terhadap wahyu dan pengutusan para rasul. Menurut mereka, seorang yang diutus menjadi rasul itu haruslah orang yang kaya raya dan berpengaruh.
Mereka berkata, “Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (az-Zukhruf: 31)
Tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, selain perkataan mereka, “Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” Katakanlah, “Seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul.” (al-Isra’: 94—95)
Bukti lain bahwa mereka menantang para utusan tersebut—jika sanggup melakukan apa yang mereka syaratkan, mereka mau beriman—adalah firman-Nya,
Mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami. Atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit, dan kami sekali-kali tidak akan memercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.” Katakanlah, “Mahasuci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (al-Isra’: 90—93)
Mereka mencela status pengutusan tersebut dengan mencela nabi secara langsung atau mencelanya karena orang-orang yang mengikutinya.
Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.” (adz-Dzariyat: 52)
Mereka berkata, “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” (asy-Syuara’: 111)
Berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Bukti lain bahwa mereka memerangi para utusan tersebut, bahkan tidak segan membunuhnya, seperti yang mereka lakukan terhadap Nabi Yahya dan Nabi Zakariya e, adalah firman-Nya,
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kepada al-Qur’an yang diturunkan Allah.” Mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedangkan al-Qur’an itu adalah (kitab) yang haq, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah, “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?” (al-Baqarah: 91)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil. Maka berikanlah kabar gembira kepada mereka dengan siksaan yang pedih.” (Ali ‘Imran: 21)
Kehancuran di Balik Tuntutan Kebebasan
Tuntutan mereka menuju kebebasan hidup ternyata berakibat malapetaka dan kebinasaan di dunia sebelum di akhirat. Allah l telah menceritakan akibat tuntutan kebebasan tersebut dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an, di antaranya:
1. Kehancuran kaum ‘Ad
Al-Qur’an menyebutkan bahwa wilayah kaum ‘Ad berada di daerah al-Ahqaf, bentuk jamak dari al-hiqf yang artinya padang pasir. Al-Hafizh Ibnu Katsir t menjelaskan bahwa mereka mendiami al-Ahqaf, yaitu gunung pasir yang dekat dengan daerah Hadramaut di negeri Yaman. Zaman kaum ‘Ad adalah setelah kaum Nabi Nuh q, sebagaimana firman Allah l,
“Ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Rabbmu telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).” (al-A’raf: 69)
Karena memiliki kekuatan tubuh dan perawakan, kuat berkerja, kuat dari sisi perekonomian, rezeki yang banyak, harta benda yang melimpah ruah, dan kebun-kebun, mereka menyembah kepada selain Allah l. Allah l lalu mengutus kepada mereka seorang rasul, Hud q. Beliau memberi peringatan dan kabar gembira, serta menyeru mereka agar hanya menyembah Allah l semata. Selain itu, beliau juga memperingatkan mereka dari murka dan azab Allah l.
Akan tetapi, mereka menentang seruan tersebut dan menuntut kebebasan. Mereka tidak mau terikat dengan wahyu yang dibawa untuk mereka. Allah l pun menghukum mereka.
Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih. Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya. Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 24—25)
“Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang naas, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya siksa akhirat lebih menghinakan sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.” (Fushilat: 16)
ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ
“Adapun kaum ‘Ad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang. Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka.” (al-Haqqah: 6—8)
2. Kehancuran kaum Tsamud
Kaum Tsamud tinggal di daerah al-Hijr. Saat ini daerah pegunungan tersebut dinamai Mada’in Shalih. Allah l berfirman tentang mereka,
“Terhadap kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (al-Fajr: 9)
Mereka ahli memahat batu pegunungan dan menjadikannya sebagai tempat tinggal. Selain itu, mereka juga pandai mengolah tanah datar dan mengubahnya menjadi istana.
“Ingatlah ketika Dia menjadikan kalian khalifah-khalifah setelah kaum ‘Ad dan menempatkan kalian di bumi. Di tempat yang datar kalian dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kalian pahat menjadi rumah-rumah.” (al-A’raf: 74)
Negeri mereka memiliki keistimewaan dengan kesuburan tanahnya, selain letak geografisnya yang berada di jalur perdagangan antara Syam dan Yaman. Hal itu membuat sumber kehidupan mereka melimpah. Namun, kaum Tsamud membalas semua kenikmatan itu dengan penyimpangan dari jalan Allah l. Mereka menuntut kebebasan dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Shalih q.
Akhirnya, Allah l menghukum mereka,
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shalih beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang Mahakuat lagi Mahaperkasa. Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (Hud: 66—68)
Tuntutan Kebebasan, Suara Iblis
Mari kita dengarkan dialog iblis dengan Rabb kita yang menuntut kebebasan dari perintah-Nya l. Hal ini diabadikan oleh Allah l di dalam al-Qur’an yang dibaca dan ditelaah agar kita bisa mengambil pelajaran bahwa tidak ada seorang pun yang menuntut kebebasan dari aturan syariat melainkan ia telah masuk dalam perangkap iblis dan jaringannya. Ia akan binasa di dunia sebelum di akhirat.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun bersujud kecuali iblis, dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” Allah berfirman, “Turunlah kamu dari surga itu, karena kamu tidaklah sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” Iblis menjawab, “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.” Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.” Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). Allah berfirman, “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang siapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya.” (al-A’raf: 11—18)
Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis. Ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu. Allah berfirman, “Wahai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?” Iblis berkata, “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” Allah berfirman, “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat.” Iblis berkata, “Ya Rabbku, (kalau begitu) beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” Allah berfirman, “(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.” Iblis berkata, “Ya Rabbku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” Allah berfirman, “Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban-Kulah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. Dan sesungguhnya jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka. (al-Hijr: 30—44)
Demikian pula, Allah l telah menceritakan dalam surat-surat yang lain, seperti dalam surat al-Isra’ ayat 61—64 dan surat Shad ayat 71—85. Semuanya menjelaskan bahwa Iblis dan bala tentaranya menuntut kebebasan dari syariat Allah l, yang berakibat petaka besar di dunia sebelum di akhirat.
Kesudahan Bagi Orang yang Tunduk Terhadap Syariat Allah l
Kesudahan bagi orang yang menerima segala aturan syariat Allah l adalah kemuliaan di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat. Dalam sejarah manusia, Allah l telah menceritakan orang-orang yang selamat dari murka-Nya bersama para rasul-Nya dan orang-orang yang mendapatkan kebinasaan.
Hal ini mengajak kita untuk mengikuti langkah mereka yang selamat dan meninggalkan sebab-sebab yang membinasakan orang yang celaka.
Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah, dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (Ali Imran: 195)
Rasulullah n bersabda,
مَا نَهَيتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa yang aku larang kalian maka tinggalkanlah dan apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Ibnu Rajab t mengatakan, “Kesimpulannya, barang siapa mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi n di dalam hadits ini, meninggalkan apa yang dilarangnya, dan dia menyibukkan diri dengannya, maka akan terwujud keselamatan di dunia dan akhirat.” (Lihat Jami’ Ulum wal Hikam hlm. 127)