Mengenal Kaidah Dakwah Salaf

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.)

Berangkat dari ilmu dan pola pikir yang benar. Itulah bekal yang harus dimiliki oleh orang-orang yang terjun ke dunia dakwah. Karena dari sini, seorang da’i akan terlihat bagaimana akidahnya, akhlaknya, atau hal-hal lain yang terkait dengan agamanya. Tanpa pijakan yang benar lagi kokoh, seorang da’i bisa tersesat sekaligus menyesatkan orang lain.

Berkembangnya berbagai aliran dan sekte sesat, baik yang baru atau sekedar berganti baju, belakangan ini cukup mengusik kehidupan umat Islam. Reaksi pun muncul dari masyarakat. Namun kebanyakannya menyikapi semua itu dengan emosi atau mengedepankan sikap curiga dengan dalih kewaspadaan. Sehingga, dengan informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah, sebagian kaum muslimin cenderung ‘pukul rata’ dengan dalil-dalil keumuman. Asal tidak umum, atau melakukan tata cara ibadah yang dianggap tidak lazim, penampilannya nganeh-anehi, dan sebagainya, bisa dipastikan bakalan dicurigai.
Tak ayal ketika gaung dakwah Salafiyyah mulai membahana di berbagai penjuru tanah air, sebagian kaum muslimin justru pasang kuda-kuda “waspada dan curiga”. Terlebih setelah tahu penampilan orang-orangnya sepintas mirip dengan orang-orang yang diidentifikasikan sebagai teroris; Usamah bin Laden, Imam Samudra, Amrozi, dan yang sejenisnya. Padahal antara keduanya sangat jauh berbeda, ibarat air dengan minyak yang tak mungkin bisa bersatu. Karena dakwah Salafiyyah adalah warisan Rasulullah n, sedangkan gerakan teroris adalah warisan kaum Khawarij, musuh Rasulullah n.
Dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang mulia lagi suci. Sebuah dakwah (seruan) yang mengajak seluruh umat manusia untuk memahami dan menjalani agama Islam sebagaimana para shahabat Rasulullah n (As-Salafush Shalih) -yang merupakan generasi terbaik umat ini- memahami dan menjalaninya. Dakwah ini menyeru untuk mengikuti prinsip-prinsip mereka dalam berilmu, beramal, berjihad, berhubungan dengan penguasa, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, bermasyarakat dan berbagai aktivitas kehidupan lainnya.
Setiap pribadi muslim hakekatnya sangat butuh untuk mengenal dan berprinsip dengan prinsip para shahabat. Dan semakin besar nilai kebutuhan itu ketika Allah U meridhai dan menjamin kesuksesan bagi orang-orang yang meneladani dan mengikuti jejak mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100)
Semakin besar pula nilai kebutuhan itu ketika Rasulullah n memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnah mereka. Sebagaimana dalam sabda beliau n:

“Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah (jalan)-ku dan Sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian (maksudnya, bepeganglah erat-erat dengannya, -pen)…(Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari shahabat Al-‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)
Bahkan semakin lebih besar lagi nilai kebutuhan itu ketika Allah U mengancam orang-orang yang menentang Rasulullah n dan menempuh jalan selain jalan para shahabat. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman1, Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa`: 115)
Mungkin di antara para pembaca ada yang tidak sabar, seraya bergumam: “Seperti apakah prinsip mereka itu? Kami ingin segera mengenalnya dan berprinsip dengannya, agar berbahagia di dunia dan di akhirat.”
Para pembaca, bila demikian keadaan-nya maka perhatikanlah prinsip-prinsip dakwah Salafiyyah berikut ini dengan seksama -semoga petunjuk Allah U selalu mengiringi kita semua-:
1. Beriman dengan enam rukun iman:
q    Iman kepada Allah U, yaitu meyakini bahwa Allah U  satu-satunya Pencipta, Pengatur dan Pemilik alam semesta beserta semua isinya (tauhid ar-rububiyyah). Dialah satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi, tiada sekutu bagi-Nya (tauhid al-uluhiyyah). Dia Maha memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang mulia lagi sempurna (tauhid al-asma` was shifat). Setiap nama dan sifat Allah U yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan hadits Rasulullah n yang shahih, maka harus ditetapkan dan diartikan sesuai dengan makna asalnya tanpa diubah dan diseleweng-kan kepada arti lainnya, dan tanpa memba-yangkan hakekatnya. Adapun hakekat dari itu semua, maka sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, tidak sama dengan sifat makhluk-Nya, dan hanya Allah U yang Maha Mengetahui hakekatnya. Dia beristiwa` (berada di atas) ‘Arsy, bukan di mana-mana. Sedangkan ilmu dan pengawasan-Nya meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang terluput dari-Nya. Semua yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan semua yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Dia turun ke langit dunia sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya (tidak serupa dengan satu makhluk pun) setiap sepertiga malam terakhir untuk menyambut permohonan para hamba-Nya. Dia Maha Tunggal, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia tidak menampakkan diri-Nya di dunia ini karena kehendak dan hikmah-Nya. Dan di akhirat kelak orang-orang beriman dapat melihat-Nya dengan mata kepala mereka (bukan mata hati) tanpa berdesak-desakan. Bahkan melihat wajah Allah U ketika itu merupakan puncak dari seluruh kenikmatan akhirat.
q    Iman kepada para malaikat Allah U, yaitu meyakini bahwa para malaikat itu benar-benar ada dan berfisik. Allah U menciptakan mereka dari cahaya, dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan segala tugas yang dibebankan kepada mereka.
q    Iman kepada kitab-kitab Allah U, yaitu meyakini bahwa Allah U telah menu-runkan kitab-kitab suci kepada beberapa Rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Di antaranya; Zabur yang diturun-kan kepada Nabi Dawud u, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa u, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa u dan Al-Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad n. Kitab suci yang paling mulia adalah Al-Qur`an, ia merupakan Kalamullah (firman Allah I) bukan makhluk. Sungguh sesat kelompok Jahmiyyah dan Mu’tazilah yang menyatakan Al-Qur`an itu makhluk. Demikian pula Asy’ariyyah dan sejenisnya yang menyatakan bahwa kandungannya saja yang kalamullah, sedangkan hurufnya adalah makhluk. Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur`an itu makhluk maka dia telah kafir.
q    Iman kepada para rasul (utusan) Allah I, yaitu meyakini kebenaran semua nabi dan rasul yang diutus Allah U kepada umat manusia, baik yang namanya disebutkan oleh Allah I ataupun yang tidak disebutkan. Tidak boleh berlebihan di dalam memuliakan mereka dan tidak boleh pula melecehkan mereka. Semuanya adalah hamba Allah I, yang Allah I muliakan seba-gai pengemban risalah-Nya kepada umat manusia. Mereka diutus kepada umatnya masing-masing, kecuali Rasulullah n yang diutus kepada seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Beliau n adalah nabi terakhir yang diutus Allah I di muka bumi ini. Barangsiapa meyakini adanya nabi setelah beliau n, maka dia telah kafir.
q    Iman kepada hari kiamat, yaitu meyakini semua yang diberitakan Allah I dan Rasul-Nya tentang segala peristiwa setelah kematian; seperti adanya adzab dan nikmat kubur, adanya pertanyaan dua malaikat di kubur, dibangkitkannya umat manusia dari kuburnya (hari kiamat) dan dikumpulkan di padang mahsyar dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan dan tidak beralas kaki, adanya hisab atas segala apa yang telah dikerjakan di dunia, adanya timbangan amalan, pemberian catatan amal dengan tangan kanan bagi yang diridhai Allah I dan dengan tangan kiri bagi yang dimurkai Allah I, setiap hamba akan berdialog langsung dengan Allah I tanpa penerjemah, adanya jembatan di hari kiamat yang lebih tipis dari helai rambut manusia, adanya telaga Rasulullah n di hari kiamat, adanya syafaat Rasulullah n, para nabi dan rasul lainnya, para malaikat serta orang-orang yang beriman (dan tidaklah bermanfaat satu syafaat pun bagi orang kafir dan musyrik selain syafaat kubra Rasulullah n di padang mahsyar yang berkaitan dengan penyegeraan hisab), keyakinan bahwa jannah (surga) dan naar (neraka) telah diciptakan oleh Allah dan sudah ada saat ini, keyakinan bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah I pada hari kiamat -dengan demikian jelasnya- tanpa berdesak-desakan (ketika melihat-Nya), serta keyakinan bahwa kematian didatangkan pada hari kiamat dalam bentuk kambing gemuk lalu disembelih di antara jannah dan naar, sehingga masing-masing dari penduduk jannah dan naar tidak lagi mengalami kema-tian, dan secara berkesinambungan akan merasakan balasan yang setimpal, baik berupa nikmat ataupun adzab.
q    Iman kepada takdir Allah U, yaitu meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini merupakan ketentuan (takdir) dari Allah U. Tidak ada sesuatu pun yang terluput dari-Nya baik yang telah,  sedang, ataupun yang akan terjadi. Semua kejadian itu telah ditentukan oleh Allah U dan telah dicatat pula dalam Al-Lauhul Mahfuzh. Segala sesuatu yang terjadi berupa kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekafiran, ketaatan dan kemaksiatan, semua-nya atas kehendak Allah U, takdir-Nya dan penciptaan-Nya. Allah U mencintai kebaikan, keimanan dan ketaatan tersebut sebagai-mana Dia membenci keburukan, kekafiran dan kemaksiatan. Setiap hamba Allah U mempunyai kemampuan, pilihan, dan kehen-dak untuk melakukan suatu perbuatan baik dari jenis ketaatan maupun kemaksiatan, namun itu semua mengikut kepada keinginan dan kehendak Allah U. Tidak seperti Jabriyyah yang mengatakan bahwa seorang hamba dipaksa dalam berbuat dan dia tidak mempunyai kemampuan, pilihan dan kehendak sama sekali. Tidak pula seperti Qadariyyah yang mengatakan bahwa seorang hamba mempunyai kehendak mutlak atas semua perbuatannya, seorang hambalah yang menciptakan perbuatan dirinya (bukan atas takdir Allah U), sehingga keinginan dan kehendak seorang hamba sama sekali tidak terkait dengan keinginan dan kehendak Allah I. Allah I telah membantah dua kelompok sesat tersebut dalam sebuah firman-Nya:

“Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali jika dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”(At-Takwiir: 29)
Dalam ayat ini Allah U menetapkan adanya kehendak bagi hamba, sebagai bentuk bantahan terhadap Jabriyyah. Dan Allah U jadikan kehendak hamba itu mengikut kepada kehendak Allah U, sebagai bentuk bantahan terhadap Qadariyyah.
2. Sebuah keimanan harus diwujudkan dalam bentuk keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Ia akan bertambah dengan ketaatan dan akan berkurang dengan kemaksiatan. Bukanlah suatu keimanan bila hanya diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan tanpa adanya suatu keyakinan, karena ini adalah keimanan orang munafik. Bukan pula suatu keimanan bila hanya dalam bentuk wawasan tanpa adanya ucapan dan perbuatan, karena ini adalah keimanan orang kafir. Bukan pula suatu keimanan bila hanya dalam bentuk keyakinan dan ucapan tanpa perbuatan, karena ini adalah keimanan kelompok sesat Murji`ah.
3. Tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin kecuali jika melakukan salah satu dari pembatal keislaman. Adapun pelaku dosa besar -di bawah dosa syirik- maka tidak dikafirkan. Jika meninggal dunia dan belum bertaubat dari dosanya, maka dia di bawah masyi`ah (kehendak) Allah I. Jika Allah U berkehendak untuk mengampuninya -secara langsung- maka dia mendapatkan ampunan dan akan masuk jannah tanpa diadzab, dan jika Allah U berkehendak untuk meng-adzabnya maka dia akan diadzab terlebih dahulu dan tempat kembalinya adalah jannah. Tidak seperti Khawarij yang mengkafirkannya, dan tidak pula seperti Murji`ah yang meyakini bahwa pelaku dosa besar -di bawah dosa syirik tersebut- adalah mukmin yang sempurna imannya.
4. Wajibnya menaati pemerintah kaum muslimin yang adil ataupun yang jahat, selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak boleh ditaati (dalam perkara tersebut), namun masih berkewajiban menaatinya dalam perkara lainnya yang bukan kemaksiatan. Disyariatkan jihad bersamanya, walaupun dia seorang yang jahat. Boleh membayar shadaqah kepadanya (untuk disalurkan kepada yang berhak). Demikian pula boleh shalat Jum’at dan shalat berjamaah di belakangnya, tanpa harus diulangi. Barangsiapa mengulanginya maka dia tergolong mubtadi’ (pelaku bid’ah).
5. Tidak boleh memberontak kepada pemerintah kaum muslimin walaupun dia seorang yang jahat. Berbeda dengan prinsip sesat Khawarij yang mengkafirkan dan mewajibkan memberontak kepadanya. Berbeda pula dengan prinsip sesat Mu’tazilah yang mewajibkan memberontak, walaupun dia tidak kafir. Barangsiapa memberontak, maka dia telah menghancurkan tongkat kesa-tuan kaum muslimin. Bila meninggal dunia dalam keadaan demikian, maka mening-galnya dalam keadaan jahiliyyah.
6. Tidak boleh memvonis seorang pun dari Ahlul Kiblah (kaum muslimin) sebagai penduduk naar atau jannah, kecuali yang telah diberitakan Allah I dan Rasul-Nya.
7. Siapa saja dari kaum muslimin yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid, maka berhak dishalati dan dimintakan ampunan kepada Allah U, walaupun dia pelaku dosa besar.
8. Wajibnya menjaga hati dan lisan dari membenci, mencela atau melecehkan para shahabat Rasulullah n. Karena mereka adalah generasi terbaik umat ini, bahkan manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Barangsiapa membenci, mencela atau melecehkan salah seorang dari mereka maka dia mubtadi’, hingga benar-benar bertaubat dan mendoakan kebaikan untuk shahabat tersebut.
9. Shahabat terbaik adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, kemudian ‘Umar bin Al-Khaththab, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian yang tersisa dari 10 orang yang diberitakan Rasulullah n sebagai penduduk jannah (yaitu Sa’d bin Abi Waqqash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Zubair bin Al-Awwam, dan Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail), kemudian Ahlu Badr (yang ikut dalam perang Badr) dari kalangan Muhajirin, kemudian Ahlu Badr dari kalangan Anshar, kemudian Ahlu Uhud (yang ikut dalam perang Uhud), kemudian Ahlu Bai’at Ridwan (yang ikut dalam Bai’at Ridwan) di Hudaibiyyah.
10. Yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah n adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar bin Al-Khaththab, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa menolak kekhilafahan salah seorang dari mereka atau menyatakan bahwa yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah n adalah ‘Ali bin Abi Thalib, maka dia sesat dan menyesatkan.
11. Wajibnya mencintai ahlul bait (keluarga nabi) yang beriman, baik dari generasi shahabat ataupun setelah mereka. Tidak seperti kelompok sesat An-Nawashib yang beragama dengan membenci ahlul bait, dan tidak pula seperti kelompok sesat Syi’ah Rafidhah yang berlebihan di dalam mencintai mereka. Ahlul bait mencakup para istri nabi dan semua Bani Hasyim yang beriman. Tidak seperti yang dinyatakan kelompok sesat Syi’ah Rafidhah yang memanipulasi istilah ahlul bait untuk orang-orang tertentu saja yang mereka kehendaki. (Lihat Rubrik Manhaji, Asy Syari’ah edisi lalu)
12. Generasi terbaik setelah para shahabat adalah generasi tabi’in (murid-murid shahabat), kemudian generasi tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in) sebagaimana yang diberitakan Rasulullah n.
13. Karamah (keluar-biasaan) para wali benar-benar ada, yang demikian sebagai wujud pemuliaan Allah U kepada mereka. Para wali Allah I adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, bukan para pelaku kesyirikan atau kemaksiatan. Bukan pula orang-orang yang berpromosi mengetahui ilmu ghaib, pamer kekebalan tubuh atau atraksi kebolehan dengan berjalan di atas air. Para wali Allah I adalah orang-orang yang tawadhu’ (rendah hati) dan selalu menjaga batasan-batasan syariat agama. Walau demikian, tidak ada seorang wali pun yang lebih utama dari nabi atau rasul.
14. Allah U dengan segala hikmah-Nya menciptakan para setan yang pekerjaannya membisikkan kebatilan kepada anak cucu Adam, para setan itu bisa mempengaruhi siapa saja yang dikehendaki Allah U dan tidak mampu mempengaruhi siapa saja yang tidak dikehendaki-Nya.
15. Sihir benar-benar ada (di dunia ini) dan hukumnya haram. Para tukang sihir tidaklah mampu menyihir seseorang kecuali dengan kehendak Allah U, dan mereka tidak akan mampu melakukan sihir tersebut bila tidak dikehendaki-Nya. Barangsiapa melaku-kan praktek sihir dan meyakini bahwa sihir itu dapat membahayakan atau menda-tangkan manfaat tanpa kehendak Allah U, maka dia telah kafir kepada Allah U.
16. Meyakini adanya tanda-tanda hari kiamat yang diberitakan Rasulullah n dalam hadits-haditsnya yang shahih, seperti; munculnya Dajjal di akhir jaman, munculnya Al-Imam Mahdi, turunnya Nabi Isa u dari langit, adanya Ya’juj dan Ma’juj, dan yang lainnya.
17. Ketika terjadi perselisihan, kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n dengan pemahaman salaf (para shahabat Rasulullah n). Jauh dari sikap mendahulu-kan hawa nafsu, taqlid buta, fanatisme golongan, dan sikap mendahulukan akal.
18. Amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan suatu kewajiban dan amalan mulia dalam agama. Bukanlah termasuk amar ma’ruf dan nahi mungkar ataupun jihad, perbuatan memberontak terhadap pemerintah muslim yang jahat. Demikian pula peledakan-peledakan bom, teror, agitasi, demonstrasi dan hujatan-hujatan di atas mimbar atau dengan tulisan. Amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada pemerintah dilakukan dengan pemberian nasehat, baik dengan ucapan (secara langsung) ataupun dengan surat (perantara), tanpa diiringi niatan menentang, membangkang, atau memberontak. Bahkan mendoakannya agar mendapatkan bimbingan, taufiq dan hidayah dari Allah U di dalam memimpin umat.
19. Persatuan adalah rahmat sedang-kan perpecahan adalah adzab. Persatuan hakiki adalah yang dibangun di atas Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n dengan pemahaman salaf, bukan persatuan yang dibangun di atas kepentingan pribadi, partai, organisasi, kelompok, madzhab ataupun yang lainnya.
20. Menegakkan syi’ar-syi’ar Islam seperti; shalat Jum’at, shalat berjamaah, dan shalat Ied. Demikian pula saling menasehati dan saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, serta tidak saling membantu dalam perbuatan dosa dan kekejian.
21. Wajib menerima dan mengikuti semua yang datang dari Rasulullah n.
22. Mencintai orang-orang yang ber-upaya meniti jejak Rasulullah n dan para shahabatnya serta berteguh diri di atasnya (terlebih bila dari kalangan ulama). Demikian pula membenci orang-orang yang menyelisihi/ menentang ajaran Rasulullah n (terlebih para penyeru dari kalangan mereka), dan meninggalkan debat dengan mereka.
23. Keharusan memperteguh diri di saat mendapatkan ujian; yaitu bersabar ketika ditimpa musibah, bersyukur ketika mendapat kemudahan, dan ridha terhadap takdir buruk yang telah ditentukan oleh Allah U.
24. Berhias dengan akhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, berbuat baik dengan tetangga, dan seje-nisnya. Demikian pula tidak sombong, berbangga diri, semena-mena, dzalim, melecehkan manusia dan lain sebagainya dari akhlak tercela.
Para pembaca, demikianlah di antara prinsip-prinsip dakwah Salafiyyah yang dapat kami sajikan. Walaupun sajian ini sifatnya global (tanpa disertai dalil, karena terbatasnya ruang rubrik), namun besar harapan kami semoga dapat menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran, serta sebagai penyirna bagi berbagai macam anggapan buruk tentang dakwah Salafiyyah. Sehingga terpatrilah dalam hati sanubari wasiat dan petuah:
q Al-Imam Al-Auza’i t: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/ pendapat tokoh-tokoh (sesat) itu walaupun mereka mengemasnya dengan kata-kata (yang indah).” (Asy-Syari’ah, Al-Imam Al-Ajurri t, hal. 63)
q Al-Imam Abu Hanifah t: “Wajib bagi-mu untuk mengikuti jejak salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia bid’ah.” (Shaunul Manthiq, Al-Imam As-Suyuthi, hal. 332)
q Al-Imam As-Sam’ani t: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj (prinsip) salaf dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al-Intishar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin ‘Umar Bazmul, hal. 88)
q Al-Imam Asy-Syathibi t: “Segala apa yang menyelisihi manhaj (prinsip) salaf adalah sesat.” (Al-Muwafaqat 3/284, dinukil dari Al-Mirqat fii Nahjis Salaf, hal. 57)

Sumber Bacaan:
1. Ushulus Sunnah, Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
2. ‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, Al-Imam Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni.
3. Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi.
4. Lum’atul I’tiqad, Al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah.
5. Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
6. Min Ushuli ‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
7. Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
8. Mu’amalatul Hukkam, Asy-Syaikh Abdus Salam Barjas.


1 Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman dalam firman-Nya di atas adalah para shahabat Rasulullah n.” (Al Mirqat Fii Nahjis salaf, hal. 36-37)