MUSIK (ISLAMI), NA’UDZUBILLAH!

Hafal belasan lagu atau nasyid “Islami” tapi jauh dari ilmu Al-Qur’an dan hadits adalah sekelumit ironi yang menimpa generasi muda Islam kita. Sebuah potret yang juga melukiskan betapa musik telah merambahi banyak kalangan. Dari yang awam hingga yang disebut terpelajar, dari yang sekuler hingga mereka yang menyandang predikat aktivis pergerakan Islam.
Sebuah fenomena yang tentu saja menggelisahkan, meski apa yang disebut di atas belumlah apa-apa untuk menggambarkan betapa musik telah menjadi candu yang menjauhkan umat dari agamanya.
Berkawannya musik dengan kemaksiatan lain jelas sulit dipungkiri. Triping, mabuk-mabukan, judi, seks bebas, dunia malam, hingga anarkisme dan barbarisme yang muncul saat pentas musik digelar, baik kelas kampung yang cuma menyuguhkan dangdut murahan ataupun konser besar yang melibatkan ribuan massa, adalah fakta tak terbantahkan yang kian memperkuat anggapan minus tentang musik. Ini belum termasuk syair-syair lagu yang umumnya bertema percintaan, lirik-lirik cabul, hingga yang berisi pemujaan terhadap setan serta mengampanyekan anti Tuhan. Musik pun, selain menjadikan manusia terlena, juga menumbuhkan sikap cengeng, munafik, berjiwa memberontak, atau minimalnya membangkitkan kenangan jahiliah.
Saking mendarah daging, sulit memang menemukan lingkungan yang tak tercemari musik. Karena kita mempunyai tetangga,  saudara, atau mungkin orangtua yang masih demikian gandrung dengan musik. Mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, telinga kita terus dipaksa mengonsumsi musik. Seakan-akan setiap manusia di muka bumi ini telah berkerabat dengan musik.
Sebagai bangunan dari nilai-nilai kebajikan, Islam, melalui Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mengajarkan seluruh bentuk kebaikan dan mencegah umatnya dari segala bentuk keburukan. Ukuran baik dan buruk tentunya berasal dari Allah l dan Rasul-Nya n. Bukan lahir dari selera atau kemauan individu manusia. Jika logika manusia diperturutkan niscaya kebaikan atau keburukan itu menjadi sangat subyektif.
Begitupun musik. Ketika ayat dan hadits menjelaskan akan larangannya, sebagai hamba yang beriman semestinya kita menundukkan ego kita sebagai manusia. Tidak pula mengambil ”jalan tengah” dengan menciptakan apa yang disebut musik ”Islami” yang diistilahkan dengan nasyid. Lebih-lebih jika dirunut, acapella yang menjadi akar dari nasyid merupakan gaya musik Afro-Amerika. Begitu pun jenis nasyid lain yang terinspirasi dari seni Gregorian. Keduanya, acapella dan gregorian, merupakan gaya bermusik yang hidup dalam tradisi gereja.
Lebih parah, biar tampak bernafaskan Islam, tak sedikit syair dari nasyid, kasidah, atau lagu-lagu ”religi” itu yang asal menggunakan bahasa Arab tanpa tahu maknanya atau justru isinya bertentangan dengan ajaran Islam, seperti shalawat bid’ah yang justru kental dengan kesyirikan.
Pandangan yang juga ekstrem datang dari penganut sekuler atau liberalisasi Islam. Menurut mereka, musik adalah bagian dari berkesenian, sebuah wilayah yang mestinya lepas dari kerangka halal haram. Fiqih, oleh kalangan yang sepaham dengan mereka, dianggap tak mampu memahami seni. Bagi mereka, hukum dalam seni cuma dua, indah atau buruk.
Semua pemahaman ini jelas menyelisihi dalil-dalil yang telah jelas melarang musik. Jadi tak sesederhana orang melihat musik sebagai ”obat” melepas penat dan membunuh jenuh di sela-sela rutinitas harian. Musik, seharusnya dipandang sebagai media yang menjadikan umat lalai dari agamanya serta muara dari kehidupan ini. Membuat abai terhadap Allah l, satu-satunya Dzat kita memohon kemudahan dalam menjalankan roda hidup ini.
Akankah kita gegabah melabrak syariat demi suatu ”seni” yang disakralkan sebagai sebuah ”nilai”, sehingga demi semata kreativitas atau kebebasan berekspresi, syariat justru dipinggirkan? Tidakkah pula menjadi ironi manakala kita mendakwahkan Islam melalui nasyid yang justru berakar dari tradisi non-Islam? Akankah kita menyamakan diri dengan orang-orang Nasrani yang ibadah mereka memang tak jauh-jauh dari bernyanyi dan bermusik?
Na’udzubillah!