Pakaian Wanita dihadapan Non Mahram

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Dahulu kita pernah membicarakan tentang kewajiban berhijab bagi wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya, karena Allah l memerintahkan hal tersebut di dalam Al-Qur’an yang mulia. Di antaranya Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik hijab. Yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)

Samahatusy Syaikh Al-Walid Ibnu Baz t berkata tentang ayat di atas, “Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi n dan wanita-wanita kaum mukminin selain mereka.” (Hukmus Sufur wal Hijab yang terangkum dalam Majmu’ah Rasa’il fil Hijab was Sufur, hal. 58)

Beliau juga menyatakan: “Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri dari lelaki. Allah l menjelaskan dalam ayat ini bahwa berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita serta lebih menjauhkan dari perbuatan keji berikut sebab-sebabnya. Allah l mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan, sedangkan berhijab merupakan kesucian dan keselamatan.” (At-Tabarruj wa Khatharuhu, hal. 8)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi n, namun hukumnya umum meliputi seluruh wanita yang beriman. Karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan Allah l dengan firman-Nya:

“Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.”

Alasan seperti ini jelas berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.” (Al-Mukminat, hal. 64)

 

Pakaian Muslimah yang Syar’i

Pembicaraan tentang hijab tentunya tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang pakaian wanita di hadapan ajnabi atau lelaki yang bukan mahramnya. Maka di sana kita tahu ada yang namanya jilbab. Setiap jilbab adalah hijab, namun tidak setiap hijab adalah jilbab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan ayat tentang jilbab berkaitan dengan keluarnya wanita dari tempat tinggalnya, yang berarti bila keluar rumah ia harus mengenakan jilbab. Adapun ayat tentang hijab berkaitan bila terjadi pembicaraan antara wanita dengan lelaki ajnabi di tempat-tempat tinggal. Maksudnya, bila seorang lelaki ajnabi memiliki keperluan dengan wanita ajnabiyah maka komunikasinya harus dari balik hijab.

Allah l berfirman tentang jilbab:

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t memaknakan jilbab dengan mala’ah (baju panjang), yang dinamakan Ibnu Mas’ud z dan selainnya dengan rida’, sedangkan orang awam menyebutnya dengan izar. Jilbab adalah izar besar yang menutup kepala dan seluruh tubuh wanita. Abu Ubaid dan selainnya menghikayatkan bahwa wanita menjulurkan jilbab tersebut dari atas kepalanya sehingga tidak ada yang nampak dari si wanita kecuali matanya. (Hijabul Mar’ah wa Libasuha fish Shalah, hal. 7-8)

Ulama kita yang mulia telah menetapkan syarat-syarat pakaian yang syar’i bagi muslimah ketika keluar dari rumahnya, atau ketika berhadapan dengan lelaki ajnabi. Di antaranya:

1. Pakaian itu panjang hingga menutupi seluruh tubuhnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya.

2. Tebal, tidak boleh tipis sehingga menampakkan warna kulit.

3. Tidak ketat hingga membentuk lekuk-lekuk tubuh.

4. Tidak menyerupai pakaian yang khusus dipakai oleh lelaki sesuai dengan kebiasaan yang ada di masyarakatnya.

5. Bukan pakaian perhiasan atau diberi hiasan-hiasan sehingga menarik pandangan (orang lain) karena bagusnya pakaiannya.

Syarat pertama, kedua, dan ketiga dipahami dari hadits Rasulullah n:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَـمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْـجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا كَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang saat ini aku belum melihat keduanya. Yang pertama, satu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi, yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka miring dan membuat miring orang lain. Kepala-kepala mereka semisal punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga, padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 5547)

Al-Imam An-Nawawi t menyatakan hadits di atas termasuk mukjizat kenabian karena dua golongan yang disebutkan oleh Rasulullah n tersebut telah muncul dan didapatkan. Adapun makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, wanita-wanita itu memakai nikmat Allah l tapi tidak mensyukurinya. Ada pula yang memaknakan, para wanita tersebut menutup sebagian tubuh mereka dan membuka sebagian yang lain guna menampakkan kebagusannya. Makna lainnya, mereka memakai pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya dan apa yang tersembunyi di balik pakaian tersebut.

مَائِلاَتٌ maknanya mereka menyimpang dari ketaatan kepada Allah l dan dari perkara yang semestinya dijaga.

مُمِيْلاَتٌ maknanya mereka mengajarkan perbuatan mereka yang tercela kepada orang lain.

Ada pula yang menerangkan مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ, dengan makna mereka berjalan dengan miring berlagak angkuh dan menggoyang-goyangkan pundak mereka. Makna yang lain, mereka menyisir rambut mereka dengan gaya miring seperti model sisiran wanita pelacur, mereka juga menyisir rambut wanita lain dengan model sisiran seperti mereka.

رُؤُوْسُهُنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ maknanya mereka membesarkan rambut mereka dengan melilitkan sesuatu di kepala mereka. (Al-Minhaj, 14/336)

Para wanita yang disebutkan dalam hadits di atas mengenakan pakaian tapi tidak menutupi tubuh mereka, karena mereka mungkin memakai pakaian yang tipis sehingga menampakkan kulitnya, atau memakai pakaian ketat hingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Padahal yang semestinya dikenakan oleh wanita saat keluar rumahnya adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak menampakkan kulit di balik pakaiannya, tidak pula membentuk tubuhnya, karena pakaian itu tebal dan lebar/lapang. (Majmu’ Al-Fatawa, 22/146)

Adapun syarat keempat didapatkan dari hadits Nabi n dari Ibnu Abbas c yang menyebutkan bahwa:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ n الْـمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْـمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah n melaknat laki-laki yang tasyabbuh (menyerupai) dengan wanita dan melaknat wanita yang tasyabbuh dengan lelaki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885)

Sedangkan syarat kelima dipahami dari adanya larangan bagi wanita untuk tabarruj atau menampakkan perhiasannya kepada orang yang tidak halal untuk melihatnya. Allah l berfirman:

“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)

Fadhalah ibnu ‘Ubaid z berkata, Rasulullah n bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: (وَفِيْهِمْ) وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْوَنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ…

“Ada tiga golongan, jangan engkau tanya tentang mereka… (Di antara mereka adalah) Seorang istri yang suaminya sedang pergi meninggalkannya (tidak di rumah/negerinya) dalam keadaan suaminya telah mencukupkan kebutuhan dunianya, namun sepeninggal suaminya ia mempertontonkan perhiasannya di hadapan lelaki ajnabi (tabarruj).” (HR. Al-Hakim 1/119, Ahmad 6/19. Kata Al-Hakim, “Hadits ini di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim, dan aku tidak mengetahui ada illat/penyakit padanya.” Adz-Dzahabi t menyetujuinya. Dihasankan oleh Ibnu ‘Asakir t dalam Madhut Tawadhu’, 5/88/1)

Kepada mereka yang berbaju muslimah, hendaklah memerhatikan dan merenungkan apakah pakaian yang dikenakannya saat keluar rumah telah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam syariat agamanya yang mulia? Bila belum, maka berbenahlah…

 

Disyariatkannya Menutup Wajah

Berbicara tentang hijab dan jilbab tak bisa lepas dari pembicaraan tentang menutup wajah. Apatah lagi di zaman sekarang di mana fitnah antara lawan jenis semakin besar. Walaupun dalam masalah menutup wajah ini ada ulama1 yang berpendapat tidak wajib tapi sunnah hukumnya, namun penulis lebih condong kepada pendapat yang mengharuskan wanita menutup wajahnya, dengan beberapa dalil berikut ini:

1. Ibnu Umar c menyebutkan secara marfu’ bahwa Nabi n bersabda:

لاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْـمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

“Wanita yang sedang berihram tidak boleh memakai niqab (penutup wajah) dan tidak boleh pula memakai kaos tangan.” (HR. Al-Bukhari)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam tafsirnya terhadap surah An-Nur menyatakan, “Ini menunjukkan bahwa niqab dan kaos tangan dulunya sudah dikenal oleh para wanita yang sedang tidak berihram. Ini memberikan konsekuensi bahwa mereka biasa menutup wajah dan tangan mereka.” (At-Tafsirul Kamil, hal 67)

2. Aisyah x mengabarkan, “Saudah pernah keluar rumah untuk menunaikan hajatnya setelah turun perintah hijab. Dia adalah seorang yang berperawakan tinggi besar, tidak tersembunyi bagi orang yang mengenalnya. Ketika itu Umar ibnul Khaththab z melihat Saudah, ia berkata, ‘Wahai Saudah, demi Allah, engkau tidak tersembunyi bagi kami, maka hendaknya engkau perhatikan bagaimana keluarmu.’ Saudah pun pulang kembali. Ketika itu Rasulullah n sedang berada di rumahku. Ketika Saudah masuk, beliau sedang makan malam, di tangan beliau ada tulang. Saudah mengadu, “Wahai Rasulullah, aku tadi keluar untuk menunaikan sebagian hajatku, maka Umar berkata kepadaku demikian dan demikian.” Saat itu Allah l menurunkan wahyu-Nya kepada beliau dalam keadaan beliau belum meletakkan tulang tersebut dari tangannya. Beliau bersabda setelahnya, ‘Telah diizinkan kepada kalian untuk keluar guna menunaikan hajat kalian’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dalam peristiwa Ifk, Aisyah x berkisah dengan panjang, di antaranya ia berkata, “Ketika aku sedang duduk di tempatku berada, rasa kantuk menyerangku hingga aku tertidur. Saat itu Shafwan ibnul Muaththal As-Sulami Adz-Dzakwani z berada di belakang pasukan. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempatku. Ia melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempatku dan mengenaliku, karena ia pernah melihatku sebelum turun perintah hijab. Aku terbangun dengan ucapan istirja’nya ketika melihatku. Kututupi wajahku yang tersingkap dengan jilbabku….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Masih penuturan Aisyah x tentang hajinya bersama Rasulullah n, “Adalah para pengendara melewati kami dalam keadaan kami bersama Rasulullah sedang berihram (muhrim). Bila mereka melewati salah seorang kami (para wanita rombongan Rasulullah n), ia menjulurkan jilbabnya dari kepalanya menutupi wajahnya. Bila mereka telah berlalu, kami pun menyingkap wajah kami.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya. Hadits ini hasan dengan syawahidnya. Lihat Al-Irwa’ no. 1023, 1024)

5. Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq x menuturkan berita yang sama dengan berita saudarinya Aisyah x di atas, ”Kami menutupi wajah kami dari pandangan lelaki (saat berihram)…” (HR. Al-Hakim, ini merupakan salah satu syahid bagi hadits Aisyah x di atas)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, ulama yang membolehkanmu membuka wajah –dan pendapat mereka ini lemah– mensyaratkan hal tersebut bila aman dari fitnah. Sementara tidak aman dari terjadinya fitnah khususnya di zaman ini, di mana sedikit orang yang baik agamanya di kalangan lelaki dan wanita, sedikit rasa malu, dan banyak terdapat da’i-da’i yang menyeru kepada fitnah. Para wanita membuat fitnah dengan meletakkan beragam perhiasan di wajah mereka, yang hal itu mengajak kepada fitnah. Maka berhati-hatilah engkau, wahai saudariku muslimah, dari hal tersebut. Teruslah mengenakan hijab yang dapat menjagamu dari fitnah dengan izin Allah l. Tidak ada seorang pun dari ulama kaum muslimin yang teranggap ilmunya, baik dahulu maupun sekarang, yang memperkenankan apa yang diperbuat para wanita yang membuat fitnah tersebut.” (Al-Mu’minat, hal. 66)

 

Menepis Keraguan tentang Wajibnya Menutup Wajah

Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t berkata, “Dibukanya wajah wanita termasuk sebab fitnah dan kejelekan. Perkaranya sebagaimana yang kalian ketahui, tampak sekarang ini di beberapa negeri yang memberi kelonggaran kepada wanita-wanitanya untuk membuka wajah mereka. Apakah para wanita yang diberi kelonggaran untuk membuka wajah itu mencukupkan diri dengan hanya membuka wajahnya? Jawabannya tidak! Bahkan selain membuka wajah, mereka juga membuka kepala, lutut, leher, lengan bawah, betis, dan kadang-kadang dada. Mereka yang memberikan kelonggaran tersebut tidak mampu untuk mencegah wanita-wanita mereka dari melakukan perkara yang mereka sendiri mengakuinya sebagai sesuatu yang mungkar dan haram. Bila dibuka satu pintu kejelekan, niscaya pintu-pintu lain akan menyusul terbuka.”

Asy-Syaikh melanjutkan bahwa akal yang sehat menunjukkan wajibnya wanita menutup wajahnya. Amatlah mengherankan bila ada orang yang mengharuskan wanita menutupi telapak kakinya dan membolehkan wanita menampakkan telapak tangannya, sementara telapak tangan lebih menarik dengan jari-jemari yang lentik dan kuku-kuku yang indah. Demikian pula orang yang mewajibkan wanita menutup telapak kakinya dan membolehkannya membuka wajah, padahal di wajah itu ada alis yang teratur indah, ada bulu mata yang hitam lentik. Secara akal, manakah di antara keduanya yang paling pantas untuk ditutupi? Apakah mungkin syariat Islam yang sempurna ini mewajibkan wanita menutup kakinya, sedangkan wajahnya diperkenankan untuk dibuka? Tentu saja tidak mungkin selama-lamanya!!! Karena lelaki lebih terpaut dan tertarik dengan wajahnya wanita daripada telapak kaki si wanita. Bila ada seorang lelaki hendak melihat wanita yang akan dinikahinya, tentunya yang pertama ingin dilihatnya adalah wajah si wanita, cantikkah? Fitnah wajah wanita bertambah besar di masa ini, karena wajah itu dipoles dan diperindah dengan berbagai make-up yang berwarna merah dan selainnya.

Masih kata Asy-Syaikh t, “Saya menyaksikan ucapan sebagian orang belakangan (muta’akkhirin) yang menyatakan bahwa ulama muslimin sepakat wajibnya menutup wajah bagi wanita karena fitnahnya besar. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh penulis Nailul Authar dari Ibnu Ruslan, ia berkata, ‘Karena orang-orang sekarang imannya lemah dan kaum wanita kebanyakannya tidak menjaga kehormatan diri.’ Dengan demikian wajah wanita wajib ditutup. Sampaipun misalnya kami berpendapat boleh (mubah) membuka wajah, niscaya keadaan kaum muslimin pada hari ini mengharuskan pendapat yang mewajibkan menutup wajah. Karena bila sesuatu yang mubah menjadi perantara kepada perkara yang diharamkan, niscaya ia menjadi haram pula sebagai pengharaman wasa’il (sarana).”

Di akhirnya, Asy-Syaikh menegaskan, “Seandainya pun kami berpendapat boleh membuka wajah, niscaya amanah ilmiah dan penjagaan/perhatian yang dibangun di atas amanah mengharuskan agar kami tidak mengatakan bolehnya membuka wajah di masa ini, di mana banyak terjadi fitnah. Kita melarang wanita membuka wajah dalam hal ini termasuk dari bab pengharaman wasa’il. Walaupun sebenarnya dari dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa membuka wajah ini merupakan tahrim maqashid, bukan tahrim wasa’il. “ (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 419, 420)

 

Nasihat untuk Wanita yang Mendapat Penentangan dalam Berhijab

Seorang remaja putri pernah mengadukan permasalahannya. Ia mengenakan hijab/menutup wajahnya bila keluar rumah atau berhadapan dengan lelaki ajnabi, namun mendapat penentangan dari keluarganya. Mereka mengolok-oloknya bahkan sampai memukulnya. Mereka melarang anak gadis ini keluar rumah sembari memaksanya agar menanggalkan hijabnya. Mereka memperkenankannya memakai pakaian panjang dengan kerudung tapi tanpa penutup wajah.

Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t memberikan nasihat kepada remaja putri tersebut berikut wanita-wanita lain yang mungkin menghadapi permasalahan yang sama atau hampir sama dengan yang telah disebutkan di atas. Beliau berkata, “Pertanyaan ini mengandung dua masalah:

Pertama: Muamalah keluarga si remaja ini terhadap dirinya merupakan muamalah yang buruk/jelek. Muamalah orang-orang yang bisa jadi mereka bodoh, tidak mengetahui al-haq, atau mereka adalah orang-orang yang sombong dari menerima kebenaran. Muamalah mereka adalah muamalah yang liar, karena al-haq tidak mengiringi mereka dalam muamalah tersebut. Hijab itu bukanlah aib/cacat ataupun cela, bukan pula adab yang jelek. Manusia itu adalah orang merdeka dalam batasan-batasan syariat.

Bila keluarga si remaja tersebut tidak mengetahui bahwa hijab diwajibkan bagi wanita maka mereka wajib diberitahu dengan membawakan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bila ternyata mereka tahu tentang kewajiban tersebut akan tetapi mereka berlaku sombong maka musibahnya menjadi lebih besar, sebagaimana ucapan seseorang:

Jika engkau tidak mengetahui maka itu adalah musibah. Dan jika ternyata engkau tahu maka musibah itu lebih besar lagi.

Kedua: Tertuju kepada si remaja. Kami katakan kepadanya, wajib baginya bertakwa kepada Allah l semampunya. Bila memungkinkan baginya memakai hijab tanpa diketahui oleh keluarganya maka ia lakukan. Adapun jika mereka memukulnya dan memaksanya untuk melepas hijab tersebut maka tidak ada dosa baginya. Karena Allah l berfirman:

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia akan beroleh kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka dia tidak berdosa)…” (An-Nahl: 106)

Dan firman-Nya l:

“Dan tidak ada dosa bagi kalian terhadap perkara yang kalian khilaf (jatuh dalam kesalahan tanpa sengaja) di dalamnya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hati kalian.” (Al-Ahzab: 5)

Akan tetapi ia harus bertakwa kepada Allah l semampunya.

Apabila keluarganya tidak mengetahui hikmah diwajibkannya hijab bagi wanita maka kita katakan, “Wajib bagi seorang mukmin untuk terikat dengan perintah Allah l dan Rasul-Nya, sama saja ia tahu hikmah perintah tersebut ataupun tidak. Karena, terikat dengan perintah itu sendiri merupakan hikmah. Allah l berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi wanita yag beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36)

Karena itulah tatkala Aisyah x ditanya, “Kenapa wanita haid hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?” Aisyah x menjawab, “Dulu di masa Rasulullah n kami ditimpa haid, maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” Aisyah x menjadikan perintah semata sebagai hikmah. Bersamaan dengan itu, hikmah disyariatkannya hijab demikian jelas. Karena membiarkan tempat keindahan dan kecantikan wanita terbuka merupakan sebab fitnah. Bila terjadi fitnah akan terjadi maksiat dan perbuatan keji. Bila dibiarkan terjadi kemaksiatan dan kekejian, maka itu merupakan tanda kehancuran dan kebinasaan.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 428-429)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(insya Allah, bersambung)


1 Di antara ulama masa kini yang berpendapat sunnah, tidak wajib, adalah Asy-Syaikh Al-Albani. Beliau menjelaskannya dalam dua kitabnya: Jilbabul Mar’ah Al-Muslimah dan Ar-Raddul Mufhim. Beliau juga menyatakan bahwa ini adalah pendapat para ulama terdahulu. (ed)