Penaklukan Yahudi Kaibar

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Kekalahan demi kekalahan tak juga menyurutkan upaya makar Yahudi terhadap kaum muslimin. Kedengkian mereka pun meletupkan peperangan baru, Perang Khaibar.

Dendam kesumat yang berurat akar dalam dada orang-orang Yahudi di Madinah, semakin memuncak. Terlebih melihat semakin berkembangnya Islam di jazirah ‘Arab. Dendam dan kedengkian ini membuat mereka gelap mata. Lupa bahwa mereka pernah mengikat perjanjian dengan Rasulullah n dan kaum muslimin. Terbujuk pula oleh janji palsu yang dilontarkan setan dari kalangan jin dan manusia sehingga merekapun sepakat untuk menahan laju perkembangan Islam dengan berbagai cara.
Sebab-sebab Peperangan
Selesai sudah gangguan dan ancaman musyrikin Quraisy melalui kesepakatan-kesepakatan perjanjian Hudaibiyah yang lalu. Penyampaian risalah mulai berjalan lancar dan kehidupan kaum muslimin mulai tenang. Tapi belum sempurna.
Bagaimanapun juga masih ada ancaman yang cukup berbahaya bagi kelangsungan dakwah dan kehidupan kaum muslimin. Yahudi. Dendam kesumat serta kedengkian yang bersemayam di dada-dada mereka begitu menyala-nyala untuk menumpas Islam dan kaum muslimin. Mereka tidak rela sampai kaum muslimin mau mengikuti agama dan keyakinan mereka yang rusak.
Allah l berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Kita tidak lupa, bagaimana pengkhianatan mereka terhadap kesepakatan yang mereka buat bersama Rasulullah n beberapa saat setelah beliau tiba di Madinah. Juga kekejian dan kebusukan ucapan serta makar mereka terhadap Rasulullah n dan kaum muslimin.
Beberapa tokoh mereka yang sangat hebat gangguannya terhadap Rasulullah n telah mati terbunuh. Tapi itu tidak membuat mereka jera. Dendam mereka semakin memuncak.
Lebih kurang 20 hari sepulangnya dari Hudaibiyah, Rasulullah n mulai memobilisasi kaum muslimin untuk menyerang Khaibar. Allah k pun telah menjanjikannya kepada beliau saat beliau masih di Hudaibiyah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, bahwa ketika Rasulullah n masih di Hudaibiyah dan mulai bertolak menuju ke Madinah, turunlah firman Allah l:
“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu.” (Al-Fath: 20)
Yang dimaksud yaitu Khaibar. Semua itu sebagai sebuah ayat (tanda) bagi hal-hal yang terjadi sesudahnya, sekaligus pahala atas kesabaran para sahabat dan keridhaan mereka menerima segala keputusan Nabi-Nya n di Hudaibiyah serta kesiapan mereka untuk tidak lari meninggalkan beliau n. Oleh sebab itulah, ghanimah yang ada dari Khaibar itu dikhususkan bagi mereka yang ikut serta dalam peristiwa Hudaibiyah.
Khaibar, adalah sebuah kota besar sekitar delapan barid (sekitar 80 mil) dari Madinah ke arah Syam (utara). Kota ini memiliki benteng-benteng pertahanan cukup kuat, yang merupakan markas besar segala siasat keji yang diarahkan kepada Islam dan kaum muslimin. Dari sinilah upaya mendatangkan pasukan gabungan (Al-Ahzab) untuk menumpas kaum muslimin. Mereka menghasut Bani Quraizhah, mengkhianati perjanjian mereka, selalu berhubungan dengan munafikin Madinah dan beberapa kabilah ‘Arab lainnya yang benci kepada Islam dan muslimin. Akibatnya, kaum muslimin selalu mengalami berbagai ujian dan cobaan silih berganti.
Akhirnya, setelah berhasil menahan bahkan menghentikan gangguan dan ancaman serangan dari musyrikin Quraisy, mulailah diupayakan menghentikan gangguan dan ancaman dari orang-orang Yahudi tersebut.
Menyiapkan Pasukan
Ketika orang-orang yang lemah iman dan kaum munafikin mendengar banyaknya ghanimah (rampasan perang) yang dijanjikan oleh Allah l, mereka berusaha untuk ikut serta dalam perang ini. Padahal sebelumnya mereka tidak mau menyertai beliau di Hudaibiyah. Maka Allah l berfirman, menerangkan kepada Nabi-Nya n perihal ini:
“Orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: ‘Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu; mereka hendak mengubah janji Allah.’ Katakanlah: ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami: demikian Allah telah menetapkan sebelumnya’; mereka akan mengatakan: ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (Al-Fath: 15)
Kemudian Rasulullah n mengumumkan agar tidak ada yang ikut kecuali yang benar-benar ingin berjihad, bukan mengharap ghanimah. Akhirnya, di awal tahun ke-7 Hijriyah, berangkatlah sekitar 1.400 orang pasukan, semuanya adalah yang dahulu ikut dalam Bai’atur Ridhwan di Hudaibiyah.
Rasulullah n mengangkat Siba’ bin ‘Urfuthah sebagai pengganti beliau di Madinah.
Setelah beliau berangkat, datanglah Abu Hurairah z masuk Islam. Beliau ikut shalat shubuh bersama Siba’ dan mendengarnya membaca surat Al-Muthaffifin. Dalam hati, Abu Hurairah z berkata: “Celaka Abu Fulan, dia punya dua takaran. Kalau membeli, dia minta disempurnakan takarannya, tapi kalau dia menjual (menakar buat orang lain) dia menguranginya.”
Selesai shalat, Abu Hurairah z menemui Siba’ dan beliaupun memberinya bekal untuk berangkat menemui Rasulullah n.
Kabar keberangkatan Rasulullah n dan para sahabat ini menurut sebagian ahli sejarah telah sampai kepada Yahudi Khaibar. Tak pelak lagi, kaum munafikinlah yang berulah. Diceritakan, bahwa ‘Abdullah bin Ubai bin Salul –gembong munafikin Madinah– menyampaikan berita ini kepada para pemimpin Yahudi Khaibar. Mereka pun mengutus beberapa orang Yahudi, di antaranya Kinanah bin Abil Huqaiq dan Haudzah bin Qais, ke Ghathafan meminta bantuan, karena mereka adalah sekutu Yahudi Khaibar. Tapi mereka meminta syarat, kalau berhasil maka separuh hasil kurma Khaibar buat mereka.
Sebagian orang Yahudi yang tinggal di Madinah meremehkan kaum muslimin. Bagaimana mungkin mereka menembus Khaibar, karena wilayah itu dikelilingi benteng-benteng kokoh di puncak-puncak bukit. Juga jumlah pasukan dan perlengkapan mereka sangat banyak, demikian juga perbekalan mereka. Seandainyapun mereka bertahan di dalam benteng itu selama setahun, masih cukup.
Tapi keyakinan para sahabat akan janji Allah k dalam ayat yang sudah disebutkan tidak luntur. Mereka tetap menyertai Rasulullah n. Keimanan sejati, karena kemenangan bukan dinilai dari kekuatan dan perlengkapan pasukan. Kemenangan adalah karunia dan pertolongan Allah k. Sedangkan karunia Allah l tidak akan diperoleh dengan kemaksiatan.
Sementara orang-orang Yahudi Khaibar sendiri yakin, tidak mungkin Rasulullah n mampu menaklukkan mereka. Karena mereka berada dalam benteng yang kokoh, persenjataan dan logitistik yang memadai. Setiap hari ribuan orang prajurit keluar dari benteng itu dalam keadaan berbaris.
Menuju Khaibar
Salamah bin Al-Akwa’ z bercerita: Kami berangkat bersama Rasulullah n menuju Khaibar, berjalan di malam hari. Lalu ada yang berkata kepada ‘Amir: “Mengapa tidak engkau perdengarkan kepada kami dendangmu?” Dahulu, ‘Amir dikenal sebagai penyair. Diapun turun lalu bersyair:
Demi Allah, kalau tidak karena Allah, niscaya kami tidak mendapat petunjuk
Tidak bersedekah, tidak pula shalat
Kami tidak merasa cukup dari karunia-Mu
Maka teguhkan kaki kami jika bertemu (dengan musuh)
Dan turunkanlah ketenangan kepada kami
Rasulullah n bertanya:
مَنْ هَذَا السَّائِقُ؟
“Siapa penggiring ini?”
“Amir,” kata para sahabat. Beliaupun berkata:
يَرْحَمُهُ اللهُ
“Semoga Allah merahmatinya.” Berkatalah seseorang: “Pasti, wahai Rasulullah, mengapakah tidak engkau biarkan kami bersenang-senang dengan dia?”
Menurut mereka, kalau Rasulullah n sudah menyatakan demikian, tentulah orang yang didoakan itu mati syahid. Kenyataannya memang demikian. ‘Amir gugur sebagai syahid terkena pedangnya sendiri ketika menghadapi Marhab, pemuka Yahudi yang menantang adu tanding (duel satu lawan satu).1
Rasulullah n dan rombongan tetap berjalan hingga tiba di Ar-Raji’, sebuah lembah antara Khaibar dan Ghathafan. Beliau sengaja melintasi wilayah ini, untuk berjaga-jaga jika Ghathafan mengirimkan bala bantuan kepada Khaibar sehingga beliau mendahului untuk memutus jalur hubungan mereka.
Ketika Ghathafan mendengar keberangkatan Rasulullah n ini, segera pula mereka mempersiapkan diri untuk membantu Khaibar. Tetapi, belum jauh mereka berjalan meninggalkan perkampungan mereka, ketakutan mulai merayapi hati mereka: jangan-jangan Rasulullah n bersama pasukannya akan menyerang harta dan keluarga mereka. Akhirnya, mereka mengurungkan niatnya membantu Khaibar dan membiarkan Yahudi Khaibar sendiri menghadapi Rasulullah n.
Tiba di Khaibar
Setelah berjalan beberapa malam, Rasulullah n tiba di Khaibar. Beliaupun shalat subuh di sana, dan kemudian kaum muslimin mulai bertolak. Kebiasaan Rasulullah n apabila hendak menyerang satu kaum, beliau menunggu sampai shubuh tiba. Kalau beliau mendengar adzan dikumandangkan, beliau menahan diri. Kalau tidak, beliau mulai menyerang.
Ketika subuh itu tidak terdengar suara adzan, beliau mulai naik kendaraan, kamipun menaiki kendaraan.
Anas bin Malik z menceritakan, ketika itu dia berboncengan dengan Abu Thalhah (suami ibunya), dan kaki beliau menyentuh kaki Rasulullah n bahkan sampai tersingkap sarung Rasulullah n hingga kelihatan putih sebagian paha beliau.
Sementara itu, penduduk Khaibar seperti biasa berangkat ke tempat kerja mereka, tanpa menyadari kehadiran pasukan Rasulullah n. Ketika mereka melihat pasukan tersebut, mereka berteriak: “(Itu) Muhammad, demi Allah. Muhammad dan pasukannya.” Merekapun berlari ketakutan masuk ke benteng mereka.
Nabi n bersabda:
اللهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ. إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ
”Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Hancurlah Khaibar. Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Hancurlah Khaibar. Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Hancurlah Khaibar. Sesungguhnya bila kami tiba di pelataran satu kaum, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik z)
Setelah Nabi n mendekati dan mengamati perkampungan mereka, beliau berkata:
قِفُوا
“Berhentilah.” Beliau n lalu berdoa:
اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ وَمَا أَظْلَلْنَ وَرَبَّ الْأَرَضِينَ وَمَا أَقْلَلْنَ وَرَبَّ الشَّيَاطِينِ وَمَا أَضْلَلْنَ وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا أَذْرَيْنَ فَإِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ الْقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا، أَقْدِمُوا بِسْمِ اللهِ
“Ya Allah, Rabb (Pencipta, Penguasa, dan Pengatur) langit-langit dan semua yang dinaunginya. Rabb bumi dan semua yang ditopangnya. Rabb para setan dan semua yang disesatkannya, dan Rabb angin serta semua yang diterbangkannya. Sesungguhnya kami mohon kepada engkau, kebaikan negeri ini dan kebaikan penduduknya, serta kebaikan yang ada padanya. Kami berlindung dengan-Mu dari kejahatannya, dan kejahatan penduduknya serta kejahatan yang ada padanya. Majulah dengan nama Allah.”
Doa ini sering diucapkan beliau setiap kali tiba di suatu wilayah.
Wilayah Khaibar terbagi menjadi dua. Yang pertama mempunyai lima benteng:
1. Benteng Na’im
2. Benteng Ash-Sha’b bin Mu’adz
3. Qal’atu Az-Zubair
4. Benteng Ubai
5. Benteng An-Nizar
Tiga benteng pertama di daerah An-Nithah, sedangkan dua lainnya di daerah Syaq.
Wilayah kedua, dikenal dengan Katibah, terdapat tiga benteng yang kokoh, yaitu:
1. Benteng Qamush (benteng anak cucu Abul Huqaiq dari Bani Nadhir)
2. Benteng Wathih, dan
3. As-Sullam
Masih banyak benteng lain, tetapi kecil-kecil dan tidak sekuat delapan benteng ini. Adapun pertempuran terjadi di wilayah pertama.
Peperangan Dimulai
Ketika penduduk Khaibar mulai menyadari Rasulullah n dan kaum muslimin sudah tiba di dekat benteng mereka, mereka pun berlari ketakutan, masuk kembali ke dalam benteng tersebut.
Benteng pertama yang diserang oleh kaum muslimin adalah Na’im.
Dari benteng ini keluarlah pemimpin mereka Marhab, yang kekuatannya setara dengan seribu prajurit.
Khaibar tahu aku adalah Marhab
Senjata ampuh pahlawan kawakan
Jika perang telah mulai, diapun berkobar
Mendengar ini, ‘Amir paman Salamah bin Al-Akwa’ turun ke gelanggang menyambut tantangan Marhab perang tanding.
Khaibar tahu aku adalah ‘Amir
Senjata ampuh pahlawan di medan laga
Kemudian keduanya saling serang beberapa kali. Suatu ketika pedang Marhab menebas tapi mengenai perisai di tangan ‘Amir dan terjepit. ‘Amir menunduk menebas ke arah kaki Marhab, namun sayang pedang pendeknya tidak mengenai sasaran dan berbalik mengenai urat nadi di lengannya. ‘Amir terluka dan gugur seketika itu juga. Ternyata sebagian sahabat Nabi n mengomentari bahwa ‘Amir telah gugur amalannya karena bunuh diri.
Kata Salamah bin Al-Akwa’ z: Aku menemui Rasulullah n sambil menangis sambil berkata: “Wahai Rasulullah, amalan ‘Amir telah gugur.”
Beliau bersabda:
مَنْ قَالَ ذَلِكَ؟
“Siapa yang mengatakan begitu?”
“Sebagian sahabat anda,” kataku. Beliau bersabda pula:
كَذَبَ مَنْ قَالَ ذَلِكَ بَلْ لَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ
“Salah, orang yang mengatakan begitu. Bahkan dia memperoleh dua pahala.” Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam hadits yang panjang dalam Shahih-nya, Kitab Al-Jihad was Siyar dari Salamah bin Al-Akwa’ z.
(bersambung, insya Allah)

1 Lihat Shahih Muslim Kitabul Jihad was Siyar dari Salamah bin Al-Akwa’ z.