(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)
Allah l berfirman:
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (al-Baqarah: 269)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t berkata, “(Dalam ayat-ayat yang sebelumnya) Allah l memerintahkan beberapa hal besar yang mengandung banyak rahasia dan hikmah yang mulia. Tidak setiap orang bisa mendapatkannya. Yang bisa mendapatkannya hanyalah orang-orang yang diberi karunia hikmah oleh Allah l. Hikmah yang dimaksud di sini adalah ilmu yang bermanfaat, amal yang saleh, serta pengetahuan tentang rahasia kandungan syariat dan hikmahnya. Barang siapa dikaruniai hikmah ini oleh Allah l, sungguh Dia telah mengaruniakan banyak kebaikan kepadanya. Termasuk kebaikan yang paling agung yang mengandung kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.”
Tentang rukun hikmah, al-Imam Ibnul Qayyim t menjelaskan, “Hikmah memiliki tiga rukun: ilmu, al-hilmu (santun), dan al-anah (tidak tergesa-gesa). Lawan-lawannya adalah al-jahl (kebodohan), ath-thaisy (ngawur, bertindak serampangan), dan al-’ajalah (tergesa-gesa bertindak). Jadi, orang yang bodoh dan tidak berilmu tidak bisa memiliki sifat hikmah. Demikian juga orang yang bertindak serampangan dan orang yang tergesa-gesa bertindak.” (Madarijus Salikin, 2/480)
Dari pernyataan al-Allamah Ibnul Qayyim t tersebut, rukun hikmah dapat kita rincikan sebagai berikut.
1. Ilmu
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t mengatakan dalam Kitabul ‘Ilmi (hlm. 13), “Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu tentang al-bayyinah (penjelasan) dan al-huda (petunjuk) yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya n. Hal ini karena ilmu tersebutlah yang mendapatkan pujian dan sanjungan, sebagaimana sabda Rasulullah n:
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu ad-Darda z)
Ilmu tentang Al-Kitab dan As-Sunnah adalah rukun hikmah yang paling pokok. Oleh karena itulah, Allah l memerintahkan hamba-Nya untuk berilmu dahulu sebelum berbicara dan beramal. Allah l berfirman:
“Maka ilmuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)
Al-Imam al-Bukhari t membuat sebuah bab khusus tentang hal ini dalam kitab Shahih-nya karena kandungan mulia yang ada dalam ayat di atas. Beliau memberi judul bab tersebut dengan nama “Bab Ilmu sebelum berbicara dan beramal.”
Dalam ayat di atas, Allah l memerintahkan dua hal penting kepada Nabi-Nya, yaitu berilmu kemudian beramal. Allah l mengawali perintah-Nya dengan ilmu:
“Maka ilmuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Perintah tersebut disusul oleh perintah-Nya untuk beramal dalam firman-Nya:
“… dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (Muhammad: 19)
Hal ini menunjukkan bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amal dan ilmu adalah syarat untuk meluruskan perkataan dan amalan. Artinya, keduanya (perkataan dan amalan) tidak bermakna melainkan jika dilandasi oleh ilmu.
Oleh karena itu, ilmu didahulukan daripada perkataan dan amalan, karena ilmu akan meluruskan niat dan niat akan meluruskan amalan. (Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, hlm. 15)
Allah l dalam Kitab-Nya yang mulia sering memberi motivasi kepada kita untuk berilmu. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:
Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar: 9)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Dalam sunnah yang mulia, Rasulullah n juga memberikan dorongan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan untuknya, Dia akan memahamkannya tentang agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah c)
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh sebuah jalan untuk mendapatkan ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Untuk lebih meyakinkan kita tentang kemuliaan ilmu, mari kita perhatikan akibat yang ditimbulkan oleh kebodohan, baik yang menimpa diri sendiri maupun orang lain. Rasulullah n mengabarkan:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sungguh, Allah l tidak mencabut ilmu dari manusia dengan sekali ambil dari para hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika Dia tidak menyisakan lagi seorang alim pun di bumi, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka lalu ditanya dan memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash c)
Syaikhul Islam mengatakan, “Tidaklah engkau dapati seorang pun yang jatuh dalam perbuatan bid’ah melainkan karena kekurangannya dalam mengikuti sunnah, baik secara ilmu maupun amal. Bagaimana tidak. Jika seseorang mengilmui sunnah dan mengikutinya maka tidak ada yang mendorongnya untuk mengikuti bid’ah. Yang terjatuh dalam bid’ah hanyalah orang-orang yang jahil (tidak mengetahui) sunnah.” (Syarh Hadits La Yazni, hlm. 35)
Al-Imam asy-Syaukani t berkata, “Kecenderungan kepada pendapat-pendapat yang batil bukanlah sikap ahli tahqiq (para peneliti) yang memiliki pengertian yang sempurna, pemahaman yang kuat, kelebihan dalam penelitian, dan kesahihan dalam pengambilan riwayat. Sifat itu adalah sikap orang yang tidak memiliki bashirah (ilmu dan keyakinan) yang berjalan dan pengetahuan yang bermanfaat.” (Adab ath-Thalab, hlm. 40)
Rukun yang pertama ini sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Terkadang kemuliaan dan keagungan dakwah salafiyah tercoreng oleh tindakan para penyusup tak berilmu yang menyelinap ke medan dakwah.
Abu Muhammad Ibnu Hazm t mengatakan, “Tidak ada penyakit yang lebih membahayakan ilmu dan ahli ilmu daripada para penyusup. Mereka bukan ahli ilmu. Mereka adalah orang-orang jahil yang meyakini dirinya berilmu. Mereka adalah para perusak (dakwah) yang meyakini dirinya sebagai orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (al-Akhlaq was Siyar, hlm. 91)
Ketika al-Imam asy-Syaukani t menyebutkan biografi Ali bin Qasim t dalam al-Badr ath-Thali’ (1/473), beliau mengatakan, “Di antara pendapat bagus yang saya dengar dari beliau adalah bahwa umat manusia (kaum muslimin, -pen.) terbagi menjadi tiga tingkatan.
a. Tingkatan yang tinggi (ath-thabaqat al-’ulya)
Mereka adalah para ulama besar yang mengilmui mana kebenaran dan kebatilan. Apabila mereka berbeda pendapat, tidak akan menimbulkan berbagai fitnah disebabkan pengetahuan mereka terhadap ilmu yang dimiliki oleh masing-masing mereka.
b. Tingkatan yang rendah (ath-thabaqat as-sufla)
Mereka adalah orang-orang awam yang berada di atas fitrahnya. Mereka tidak akan lari dari kebenaran (ketika kebenaran itu datang). Mereka adalah orang-orang yang mengikuti (para pembimbing mereka). Apabila pembimbingnya adalah orang yang mengikuti kebenaran, mereka pun akan mengikuti kebenaran tersebut. Sebaliknya, apabila pembimbingnya adalah orang yang mengikuti kebatilan niscaya mereka akan mengikutinya dalam kebatilan tersebut.
c. Tingkatan yang pertengahan (ath-thabaqat al-wustha)
Inilah tingkatan yang menjadi sumber fitnah. Berbagai fitnah yang muncul dalam agama, merekalah sumbernya. Mereka adalah orang-orang yang belum mapan keilmuannya. Seandainya keilmuan mereka mapan, tentu mereka akan naik ke tingkatan yang tinggi. Di sisi lain, mereka juga tidak meninggalkan ilmu seluruhnya sehingga tidak dapat digolongkan sebagai tingkatan yang rendah.
Apabila mereka mendengar seorang alim (dari tingkatan yang tinggi) berpendapat tentang suatu masalah yang tidak bisa dicapai oleh ilmu mereka, mereka akan tergelincir. Mereka akan segera menegur orang alim tersebut dengan keras. Bisa jadi, mereka mengeluarkan ucapan-ucapan yang keji terhadap diri si orang alim. Akibatnya, mereka merusak fitrah orang-orang yang berada di tingkatan yang rendah sehingga tidak mau menerima kebenaran karena adanya gambaran-gambaran yang batil/keliru. Ketika hal ini terjadi, muncullah berbagai fitnah dalam agama.
Al-Imam asy-Syaukani t mengomentari pendapat Ali bin Qasim t di atas, “Inilah makna ucapan yang kami dengarkan dari beliau t. Apa yang beliau t katakan sungguh tepat. Barang siapa yang memerhatikan keadaan umat dengan baik niscaya akan mendapatkan kenyataan sebagaimana yang beliau ungkapkan.”
Al-Imam Ibnul Jauzi t berkata, “Urusan yang paling utama adalah membekali diri dengan ilmu karena barang siapa merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya, dia akan merasa yakin bahwa keilmuannya akan mencukupinya. Akibatnya, dia menjadi keras kepala. Dia akan menjadi orang yang membanggakan dirinya sendiri. Akhirnya, dia tidak mau mengambil faedah ilmu dari orang lain. Dia juga tidak mau bermudzakarah (mengulang pelajaran ilmu) dengan orang lain, padahal hal ini bisa menunjukkan kesalahan (atau kekurangannya).” (Shaidul Khathir, hlm. 158)
2. Al-hilmu (santun)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Al-hilmu adalah seseorang mampu mengendalikan diri ketika marah. Ketika marah, dia tetap bersikap santun meskipun dia mampu melampiaskan kemarahannya. Dia tidak mengikuti nafsu amarahnya dan tidak pula tergesa-gesa melampiaskannya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/285)
Allah l memuji hamba-hamba-Nya yang memiliki sifat yang mulia ini dalam firman-Nya:
“… Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134)
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34—35)
Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam pergulatan. Orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n sendiri telah memberikan teladan dalam mempraktikkan sikap santun. Di antara yang bisa kita sebutkan adalah:
a. Ibnu Mas’ud z menceritakan bahwa seusai perang Hunain, Rasulullah n membagikan ghanimah (harta rampasan perang). Beliau n melebihkan pembagian kepada beberapa orang. Beliau n memberikan seratus ekor unta kepada al-Aqra’ bin Habis, sejumlah itu pula kepada ‘Uyainah. Beliau juga memberikan bagian ghanimah kepada pemuka orang-orang badui lebih dari yang lain. Ada seseorang yang berkomentar, “Demi Allah, sungguh pembagian ini tidak adil dan tidak ikhlas karena Allah l.” Ibnu Mas’ud z lalu berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan melaporkan ucapan ini kepada Nabi n.” Dia kemudian mendatangi Rasulullah n dan memberitahukan ucapan tersebut kepada beliau n. Beliau n lalu berkata:
فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلِ اللهُ وَرَسُولُهُ، رَحِمَ اللهُ مُوسَى قَدْ أُوذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Siapa lagi yang mampu berbuat adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa q. Sungguh dia telah disakiti (oleh kaumnya) lebih daripada ucapan ini, tetapi dia bersabar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan, “Kisah ini adalah sebuah bentuk al-hilmu (kesantunan) yang agung dalam berdakwah kepada (jalan) Allah l. Kebijaksanaan beliau n mengharuskan ghanimah dibagi kepada beberapa orang muallaf. Adapun para sahabat yang hatinya penuh dengan keimanan beliau menyerahkan mereka kepada keimanan mereka.” (Fathul Bari, 8/49)
b. Anas bin Malik z mengatakan, “Aku berjalan bersama Nabi n. Beliau n memakai burdah dari Najran yang tebal dan kasar. Tiba-tiba ada seorang badui menemui beliau dan menarik burdah beliau n dengan keras hingga membekas di pundak beliau n. Orang itu lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, berilah aku sebagian harta Allah l yang ada padamu!’ Beliau n lalu menoleh kepadanya sembari tertawa dan memberikan sesuatu kepadanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan, “Ini termasuk sikap santun beliau yang menakjubkan dan kesempurnaan akhlak beliau. Ini adalah sikap pemaafan dan kesabaran beliau menghadapi ujian dan cobaan pada jiwa dan harta. Beliau n tidak membalas sikap kasar dari orang yang beliau n harapkan masuk Islam. Hendaknya para dai dan pemimpin sepeninggal beliau n meneladaninya.” (Fathul Bari, 10/507)
c. Salah satu sikap santun beliau n adalah tidak mendoakan kejelekan terhadap orang-orang yang menyakiti beliau n padahal beliau n sangat mampu melakukannya. Allah l pun akan mengabulkannya. Akan tetapi, beliau n dengan sifat santunnya justru mengharapkan keislaman mereka atau anak keturunan mereka. Ibnu Mas’ud z mengatakan:
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ n يَحْكِي نَبِيًّا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Seakan-akan aku melihat Rasulullah n sedang menceritakan seorang nabi dari para nabi r yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah. Nabi tersebut mengusap darah dari wajahnya sambil berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui’.” (Muttafaqun alaih)
Dalam sebuah hadits yang panjang disebutkan bahwa Rasulullah n berkata kepada Jibril q:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Aku justru mengharapkan Allah l akan mengeluarkan dari tulang-tulang sulbi mereka sebuah generasi yang beribadah kepada Allah l semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (Muttafaqun ‘alaih dari Aisyah x)
3. At-ta’anni (tidak tergesa-gesa bertindak)
At-ta’anni adalah memperjelas permasalahan dan tidak tergesa-gesa (bertindak). (al-Mishbah, 1/28)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “At-ta’anni dalam berbagai urusan dan tidak tergesa-gesa adalah seseorang tidak mengambil sikap hanya berdasarkan lahiriahnya lalu tergesa-gesa membuat keputusan. Dia langsung mengambil keputusan sebelum memperjelas dan meneliti masalah.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/285)
Dalam banyak firman-Nya, Allah l memerintah hamba-hamba-Nya untuk bersikap at-ta’anni dalam berbagai urusan.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu, ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisa: 94)
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (al-Ahqaf: 35)
Demikian pula tarbiyah yang diberikan oleh Rasulullah n kepada umatnya. Beliau n membimbing umatnya untuk bersikap tenang dalam berbagai urusan, terlebih dalam hal ibadah. Beliau n bersabda:
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَلَكِنِ ائْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةَ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Apabila shalat telah ditegakkan, janganlah kalian mendatanginya sambil berlari. Datangilah dengan berjalan. Wajib bagi kalian untuk tenang. Apa yang kalian dapatkan dalam shalat itu, shalatlah. Adapun yang kalian tertinggal darinya maka sempurnakanlah.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
Sebagian salaf berkata, “Janganlah kalian tergesa-gesa, karena sikap tergesa-gesa itu dari setan.”
‘Amr bin al-’Ash berkata, “Seseorang senantiasa akan menuai penyesalan dari ketergesa-gesaannya.”
Sebagai penutup, kita memohon kepada Allah l saja agar memberi kita karunia hikmah dalam seluruh urusan kita. Sungguh Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya.
Amin.