Runtuhnya Dinasti Sasanid
Ketika menerima tugas ketentaraan itu, Sa’d menyadari bahwa dengan pasukannya yang serbakekurangan baik bekal dan perlengkapan, dia harus menghadapi pasukan Persia yang berjumlah besar, kuat, dan terlatih, serta bersenjata lengkap. Akan tetapi, Sa’d sangat yakin, janji Allah subhanahu wa ta’ala yang diberitakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti terlaksana.
Ya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menyerahkan perbendarahan Persia dan Romawi kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerajaan Bizantium Romawi telah dipatahkan oleh kaum muslimin di Yarmuk. Kini, Istana Putih Persia, pasti di ambang kehancurannya.
Pasukan al-Mutsanna bin Haritsah telah memulai penaklukan di sekitar tanah Persia.
Ketika hendak melepas Sa’d, ‘Umar memberi pesan, “Hai Sa’d, putra Ibu Sa’d. Janganlah kamu tertipu karena dipanggil khali (paman dari pihak ibu)[1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi Dia menghapus kejelekan dengan kebaikan. Tidak ada antara Allah subhanahu wa ta’ala dan siapa pun hubungan, kecuali dengan menaati-Nya.
Manusia di dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala ini, sama. Allah Rabb (Pencipta, Pengatur, Pemberi rezeki, dan Pemelihara) mereka, dan mereka adalah hamba-hamba-Nya. Mereka berbeda-beda dalam hal kesejahteraan dan mendapatkan apa yang ada di sisi-Nya dengan ketaatan. Karena itu, perhatikanlah urusan yang kalian lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengerjakannya, maka tekunilah dan bersabarlah.”
Sebelum berpisah, ‘Umar berkata lagi, “Kamu akan menghadapi urusan berat, maka bersabarlah menerima semuanya. Pusatkan rasa takutmu hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ketahuilah rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu berpangkal pada dua hal, yaitu menaati-Nya dan menjauhi maksiat terhadap-Nya. Ketaatan orang yang menaati-Nya adalah dengan membenci dunia dan mencintai akhirat, sedangkan kedurhakaan orang yang mendurhakai-Nya adalah karena mencintai dunia dan membenci akhirat.”
Setelah itu, bergeraklah rombongan pasukan yang berjumlah empat ribu orang itu menuju Irak (Persia).
Berturut-turut, untuk memperkuat pasukan kaum muslimin yang dipimpin Sa’d, Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengirim Ba’ashmah bin ‘Abdullah dengan sepasukan tentara, menugaskan pula al-Mutsanna bin Haritsah yang sudah berada di tanah Persia sejak masa Khalid Saifullah, agar bergabung dengan Sa’d. Bahkan, al-‘Ala’ bin al-Hadhrami yang sedang bertugas di Bahrain juga diperintahkan bergerak menuju Babil.
Al-‘Ala’ berangkat setelah menunjuk Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menggantikannya di Bahrain. Tetapi, dalam perjalanan, al-‘Ala meninggal dunia.
Al-Mutsanna bin Haritsah juga sudah bertolak. Namun, takdir Allah subhanahu wa ta’ala berlaku lain. Luka yang dideritanya dalam peristiwa jembatan (al-Jusr) yang heroik, pecah kembali hingga membawa kematiannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya.
Mengatur Barisan Muslimin
Muharram tahun empat belas hijriah. Pasukan Persia sudah mempersiapkan diri untuk menghancurkan orang-orang Arab. Tujuh belas ekor gajah diikutsertakan dalam pasukan Persia diiringi dua puluh prajurit khusus. Di atas gajah-gajah itu diberi tutup dari besi. Gading-gadingnya dibungkus sutra berhias dan setiap gajah dikawal oleh pasukan berkuda.
Setelah keberangkatan Sa’d, beberapa kekuatan prajurit tiba di Madinah memenuhi panggilan jihad dari Amirul Mukminin. Tanpa menunggu waktu, ‘Umar mengirim mereka menyusul Sa’d bin Abi Waqqash. Dengan demikian, kekuatan pasukan Sa’d semakin bertambah.
Berturut-turut, para pahlawan Islam di Tanah Arab mulai bergabung dalam pasukan yang dipimpin Sa’d. Para pahlawan itu sendiri tidak hanya jago dalam memainkan pedang dan tombak, tetapi juga ahli dalam berpidato dan bersyair. Mereka mempunyai kedudukan di kabilah dan negeri mereka masing-masing. Di antara mereka ada Asy’ats bin Qais, Thulaihah al-Asadi, dan ‘Amr bin Ma’dikariba, serta yang lainnya.
Mendekati Zamrud, kekuatan pasukan muslimin sudah bertambah menjadi 20.000 orang. Setelah pasukan al-Mutsanna dan beberapa kabilah berdekatan bergabung, demikian pula yang akan datang dari Syam, jumlah pasukan menjadi 36.000 orang.
Sambil menunggu pasukan yang datang dari Syam, Sa’d berhenti di Syaraf. Menunggu kedatangan sahabatnya al-Mutsanna. Akan tetapi, yang muncul adalah saudara al-Mutsanna, Mu’anna bin Haritsah bersama Salma, istri al-Mutsanna.
Setelah bertemu dengan Sa’d, Mu’anna menyampaikan pesan-pesan al-Mutsanna, di antaranya agar tidak menyerang Persia di dalam wilayah mereka sendiri, tetapi seranglah mereka di perbatasan yang dekat tanah Arab, tetapi tidak jauh dari perkotaan. Sebab, jika kaum muslimin menang, semua yang dibawa bangsa Persia akan menjadi milik kaum muslimin dan bila kebalikannya, orang-orang Majusi itu lebih tahu menyelamatkan diri dan lebih berani di negeri mereka sendiri.
Sa’d memahami pendapat dan pesan al-Mutsanna yang disampaikan Mu’anna. Hal ini membuat Sa’d semakin sedih, maka dia pun mendoakan al-Mutsanna. Sebetulnya, jarak pertemuan antara Sa’d dan al-Mutsanna sudah dekat, tetapi kematian lebih dahulu menjemput al-Mutsanna. Pahlawan besar itu pun berangkat memenuhi janjinya.
Al-Mutsanna memang bukan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, keimanan dan keberaniannya serta keahliannya dalam peperangan telah mengantarkannya menjadi panglima kaum muslimin sesudah Khalid, untuk memimpin pasukan menaklukkan Persia. Selain itu, sebagaimana telah diceritakan, al-Mutsanna sangat mengenal keadaan di wilayah tersebut.
Beberapa waktu kemudian, Sa’d melamar Salma dan menikahinya. Inilah salah satu kebiasaan orang Arab sebagai penghargaan dan mengenang jasa serta kemuliaan pemimpin yang sudah meninggal dunia, sekaligus penghormatan terhadap jandanya, agar dengan demikian wanita yang mulia itu tetap berstatus mulia sebagaimana bersama suaminya dahulu.
Qadisiyah, di zaman jahiliah adalah gerbang menuju tanah Persia. Daerah ini pintu masuk berbagai bahan keperluan bangsa ini. Pelabuhan-pelabuhannya luas, tanahnya subur dan diperkuat dengan benteng-benteng yang kokoh serta jembatan penyeberangan yang melengkung dengan sungai-sungai yang jarang ada.
Sa’d juga melaporkan keadaan di setiap tempat yang disinggahi pasukannya. Dia menceritakan keadaan Qadisiyah yang hijau membentang panjang ke Hirah. Dia melaporkan bagaimana penduduk Sawad yang pernah berdamai dengan pasukan muslimin sekarang bergabung dengan Persia.
Amirul Mukminin tetap memantau dan meminta Sa’d agar tetap di tempatnya, dan baru betul-betul menyerang setelah berada di Madain. Sebab, menurut beliau di situlah kehancuran mereka, Insya Allah. Keyakinan Amirul Mukminin bukan karena meremehkan bangsa Persia, melainkan janji yang sudah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu pun, bukan karena Allah subhanahu wa ta’ala menzalimi bangsa Persia, melainkan merekalah yang menzalimi diri sendiri dengan kesyirikan dan kekejaman serta keingkaran yang mereka perbuat. Wallahu a’lam.
Setelah menerima perintah dari Amirul Mukminin melalui surat-menyurat yang terus berlangsung sampai peperangan berlangsung, Sa’d pun bergerak menuju Qadisiyah sesudah mengatur pasukannya sedemikian rupa.
Sa’d mulai menunjuk beberapa komandan pasukan dan memecahnya menjadi beberapa regu. Kemudian, Sa’d menetapkan posisi masing-masing regu dengan komandannya.
Di barisan depan, beliau tempatkan para sahabat senior yang pernah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang. Tujuh puluh orang di antara mereka adalah veteran Perang Badr. Sekitar 300-an sisanya adalah orang-orang yang pernah ikut dalam Sumpah Setia di Hudaibiyah (Bai’atur Ridhwan).
Sa’d membawa mereka ke ‘Uzaib dan menetap beberapa lama sebelum melanjutkan perjalanan menuju Qadisiyah. ‘Uzaib adalah sebuah gudang senjata bangsa Persia yang dijaga ketat. Di setiap benteng ada orang yang mengawasi. Pasukan muslimin yang bertindak sebagai perintis sudah tiba di waktu subuh. Mereka tidak segera maju sampai datang satu regu pasukan yang akan menyerang benteng itu.
Setelah mendekat ke arah benteng, mereka melihat ada orang yang memacu kudanya menuju Qadisiyah. Ternyata orang-orang yang mereka lihat adalah bagian taktik Persia untuk mengintai kekuatan pasukan muslimin yang datang ke negeri mereka. Begitu kaum muslimin memasuki benteng, orang-orang itu sudah tidak ada di sana. Kaum muslimin hanya menemukan sejumlah tombak dan panah.
Sa’d tetap di ‘Uzaib walaupun pasukan Persia sudah tidak ada di sana. Kesempatan itu digunakan Sa’d menanamkan rasa takut di hati penduduk di sekitar ‘Uzaib dengan serangkaian serangan kecil. Ketika mereka tiba di ibu kota Bani Lakhm, mereka menyergap iring-iringan pengantin putri yang akan diserahkan kepada seorang pejabat di Sinnain.
Barang-barang berharga berikut pengiring rombongan itu ditawan dan diserahkan kepada Sa’d. Kemudian, Sa’d membagi-bagikannya kepada pasukan muslimin.
Demi mengetahui kejadian tersebut, penduduk Irak semakin ketakutan. Mereka tidak lagi mampu membangkang terhadap pasukan muslimin.
Sa’d semakin kuat di ‘Uzaib dan mulai membuat markas di Qudais.
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Sa’d dari Bani Zuhrah, kabilah Ibunda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.