Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab (13) : Runtuhnya Dinasti Sasanid

Runtuhnya Dinasti Sasanid

Muharram tahun 14 H. Sa’d masih bertahan di ‘Uzaib dan memperkuat pasukan muslimin di daerah itu. Setelah itu, Sa’d mulai bertolak menuju Qadisiyah sambil tetap melaporkan situasi Qadisiyah kepada Amirul Mukminin di Madinah.

Beberapa prajurit disebar untuk mencari berita tentang pasukan Persia. Di antara mereka ada yang diutus ke Hirah. Pasukan intelijen itu segera berangkat dan tidak lama kemudian kembali membawa berita bahwa Raja Persia, Yazdajird, telah menyiapkan pasukan besar untuk mengusir pasukan muslimin dari Irak.

Yazdajird betul-betul menyiapkan semua yang dimiliki oleh Kerajaan Persia baik personil maupun perlengkapannya untuk menyerang kaum muslimin. Bahkan, tokoh-tokoh pilihan dan ahli-ahli perang Persia diturunkan untuk memperkuat pasukan, seperti Jalinus, Hurmuzan, Mahran ar-Razi, Bairuzan, dan Dzul Hajib. Yazdajird menyerahkan pimpinan tertinggi pasukan ini kepada Rustum bin al-Farrakhzad.

Sa’d mulai menceritakan keadaan Qadisiyah kepada Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab. Dalam suratnya, beliau menjelaskan bahwa Persia sudah menyiapkan pasukan besar untuk menghadapi kaum muslimin dan sudah bermarkas di Sabath.

Amirul Mukminin tetap memberi arahan, seakan-akan beliaulah yang mengatur jalannya peperangan, sedangkan Sa’d hanya melaksanakan perintah dan arahan Amirul Mukminin.

Di antara nasihat Amirul Mukmin kepada Sa’d ialah agar Sa’d dan pasukannya tidak merasa risau dan tetap yakin akan menang. “Seakan-akan dibisikkan ke dalam hatiku, bahwa engkau akan mengalahkan mereka. Mintalah pertolongan kepada Allah dan serahkanlah semua urusan ini kepada-Nya.”

Setelah itu, Amirul memerintahkan agar menepati perjanjian, tidak berbuat khianat, dan mengirim beberapa tokoh untuk mengajak pembesar Persia kepada Islam.

Berangkatlah Nu’man bin Muqarrin dan teman-temannya hingga melewati Sabath, di barat daya Madain. Setibanya di Madain, mereka bertemu dengan para panglima dan menawarkan Islam dengan lemah lembut.

“Kami mengajak anda kepada Islam. Agama yang menampakan kebaikan yang baik dan menyatakan buruknya semua yang buruk. Kalau anda menerima, kami tinggalkan pada anda Kitab Allah (al-Qur’an), agar anda berhukum dengannya dan kami biarkan anda mengatur urusan negeri anda. Kalau anda tidak menerima, anda harus menyerahkan jizyah; dan kalau tidak, anda kami perangi.”

Melihat sikap para delegasi itu, lemah lembut dalam berdialog, Yazdajird mengira itu adalah kelemahan dan dia mulai mengingatkan keadaan duta-duta itu sebelum Islam.“Dahulu kamu adalah bangsa yang paling terbelakang, sangat sedikit jumlahnya, paling lemah dan paling buruk keadaannya. Jangan mimpi ingin bertempur dengan pasukan Persia. Kalau kamu kesulitan, kami akan beri kamu makanan, pakaian, bahkan kami siapkan seorang raja untuk mengurusi kamu.”

Akhirnya, Qais bin Zurarah mulai berbicara, “Anda menyebutkan keadaan kami tanpa ilmu.” Kemudian beliau menceritakan bagaimana buruknya keadaan mereka sebelum menerima hidayah Islam. Mereka berada dalam kesesatan, perpecahan dan kehinaan, tetapi Allah menggantikan semua itu dengan Islam.

Setelah itu, bangsa Arab menjadi bangsa yang terhormat, keyakinan mereka adalah keyakinan yang paling baik, akhlak mereka adalah akhlak yang paling mulia, hati merekapun bersatu, dan kokoh di atas kebenaran.

Kemudian, kata Qais, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kami mengajak orang-orang yang ada di sekeliling kami kepada Islam. Karena itu, pilihlah apa yang kamu mau; kamu masuk Islam agar dirimu selamat, atau menyerahkan jizyah (pajak) dengan tanganmu sendiri dalam keadaan hina, atau pedang.”

Dengan berang, Yazdajird berkata, “Apakah seperti ini caranya kamu menghadapku?”

Kata Qais pula, “Saya tidak menghadapi kecuali orang yang mengajak saya bicara. Seandainya orang lain yang mengajak bicara, juga akan saya hadapi seperti ini.”

Yazdajird bertambah marah. Kesombongan bangkit, apalagi dia termasuk orang yang tidak beradab, gampang tersinggung, dan tidak suka bertukar pikiran atau bermusyawarah. Dia menyuruh para utusan itu pulang, “Kalau bukan karena utusan itu tidak boleh dibunuh, pasti kubunuh kamu. Pulanglah kamu. Aku akan kirimkan Rustum untuk mengubur kalian di parit Qadisiyah.”

Kemudian dia memerintahkan agar diambil sekeranjang tanah dan berkata, “Suruh orang yang paling mulia di antara mereka memikulnya.”

‘Ashim bin ‘Amr berkata, “Saya yang paling mulia di antara mereka.”

Lalu diapun memikul tanah itu menemui teman-temannya yang bertanya-tanya, “Untuk apa kamu membawa tanah itu?”

“Harapan positif. Allah sudah memberi kamu kekuatan menguasai tanah mereka.”

Para utusan itu kembali menemui Panglima Sa’d bin Abi Waqqash dan berkata, “Gembiralah, Allah telah memberi kita ikatan kerajaan mereka.”

Semakin hari, kaum muslimin semakin kuat dan optimis. Berbeda halnya dengan Persia, mereka semakin lemah dan bertambah lemah pula keadaan para pembesar Yazdajird melihat kegembiraan kaum muslimin mendapat sekeranjang tanah Persia.

Rustum yang berada di Sabath berangkat menemui Yazdajird untuk menanyakan, mengapa kaum muslimin kelihatan tenang, bahkan bergembira? Yazdajird menerangkan apa yang telah terjadi.

Kata Rustum menyalahkan, “Wahai Paduka, tanah itu diambil oleh orang yang paling cerdik di antara mereka. Mereka memikulnya karena tidak lain sebagai sikap optimis bahwa mereka pasti menguasai tanah Persia.”

Sambil menahan marah, Rustum keluar dan memerintahkan prajuritnya mengejar utusan yang membawa tanah itu, “Jangan sampai dia membawanya pulang ke negeri mereka. Kalau kamu gagal, pasti Allah lepaskan tanah kamu untuk mereka.”

Beberapa prajurit segera berangkat mengejar, tetapi mereka gagal dan kembali menemui Rustum. Kata Rustum, “Mereka telah pergi membawa tanah kamu. Mereka telah membawa kunci-kunci bumi Persia.”

Kejadian itu semakin menambah kekalutan dan kecemasan di kalangan Persia. Rustum sendiri adalah seorang ahli nujum dan seakan-akan telah melihat tanda-tanda kekalahan Persia. Oleh karena itu, dia berusaha mengulur-ulur waktu, agar kaum muslimin bosan dan pergi meninggalkan Persia. Ternyata, kaum muslimin semakin kuat bertahan dan tetap menunggu terjadinya pertempuran.

Di sisi lain, Rustum yang sengaja menunda-nunda, justru mendapat tekanan dari Yazdajird agar segera menyerang dan mengusir kaum muslimin. Mau tidak mau, Rustum pun berangkat bersama 60.000 tentara Persia, dengan Jalinus di bagian depan dengan jumlah yang sama.

Di sayap kanan ada Hurmuzan, sedangkan di sayap kiri ada Mahran bin Bahram ar-Razi. Pasukan ini membawa pula 30 ekor gajah. Lima belas ekor ditempatkan di bagian inti pasukan, sedangkan lima belas lainnya di kedua sayap pasukan.

Dalam perjalanannya, Rustum singgah di Kautsa dan menangkap seorang laki-laki Arab. Rustum bertanya, “Apa yang kamu cari di sini?”

Pria itu menjawab, “Kami hanya mencari apa yang telah dijanjikan oleh Allah, yaitu negerimu dan anak-anakmu, jika kamu tidak masuk Islam.”

“Kalau kalian kalah dan terbunuh?” tanya Rustum.

“Kalau kami ada yang terbunuh, kami masuk surga, sedangkan yang masih hidup, pasti Allah buktikan janji-Nya.”

“Kalau kami menjadi tawanan di tangan kalian?”

“Amalan kamu itulah yang membuat kamu tertawan, dan semoga Allah menyelamatkan kamu karenanya. Janganlah kamu terkecoh dengan orang-orang yang ada di sekitarmu. Kamu bukannya menghadapi manusia, melainkan menghadapi takdir.”

Rustum sangat marah dan membunuh orang tersebut. Setelah itu, Rustum membawa pasukannya hingga tiba di Hirah. Di tempat lain, Sa’d mulai mengirim beberapa orang tentara muslimin menuju Sawad. Rustum mengetahui hal ini, maka diapun mengirim pasukannya untuk menghadang.

Sa’d mendengar berita ini lalu mengirim ‘Ashim bin ‘Amr untuk memperkuat pasukan kecil itu. Begitu melihat pasukan ‘Ashim, tentara Persia itu lari ketakutan. ‘Ashim pun kembali ke pasukan induk dengan ghanimah.

 

“Dua Ribu” Prajurit Musuh

Kemudian, Sa’d mengirim ‘Amr bin Ma’dikariba dan Thulaihah al-Asadi untuk mengintai pasukan Persia. Setelah berjalan sejauh satu farsakh lebih, keduanya sampai di gudang senjata Persia.

‘Amr berhenti di sana, sedangkan Thulaihah terus melanjutkan pengintaiannya. Tidak lama, dia sampai di perkemahan pasukan Persia. Ketika malam mulai menjulurkan tirainya, Thulaihah mendekam di tempat persembunyiannya.

Ketika malam semakin gelap, Thulaihah mendekati tenda yang lebih bagus dan melihat seekor kuda yang baik. Perlahan, Thulaihah merayap lalu mematahkan satu atau dua tiang tenda dan membawa lari kuda itu. Pasukan yang berjumlah sekitar 70.000 orang itu tersentak.

Tiga orang prajurit Persia segera mengejar. Menjelang pagi, mereka berhasil mendekati Thulaihah. Thulaihah sengaja berhenti, menunggu mereka mendekat.

Prajurit pertama yang paling depan segera menyerang Thulaihah, tetapi dengan mudah Thulaihah membunuhnya. Begitu pula prajurit kedua. Prajurit ketiga semakin marah, dua prajurit tadi adalah sepupunya.

Dia nekat menyerang, tetapi dengan mudah serangannya dipatahkan oleh Thulaihah. Akhirnya, dia menyerah dan minta ditawan oleh Thulaihah. Thulaihah menyuruhnya berjalan di depan dan membawanya ke induk pasukan lalu menghadapkannya kepada Panglima Sa’d.

Mulanya Sa’d marah melihat ketidakdisiplinan Thulaihah, “Ke mana kamu dan apa yang kamu bawa?”

“Dia prajurit Persia, tanyailah tentang pasukan mereka.”

Prajurit itu mulai takut, tetapi dia berkata, “Apakah kamu menjamin keselamatanku kalau aku jujur?”

“Ya, jujur meskipun dalam peperangan, lebih kami sukai daripada kebohongan,” kata Sa’d.

“Aku akan ceritakan kejadian yang aku alami dengan orang ini (dia menunjuk Thulaihah) sebelum yang lainnya (boleh)?” prajurit itu mulai bercerita.

Aku sudah terjun dalam berbagai pertempuran dan sering mendengar cerita tentang para pahlawan, bahkan sudah pernah bertemu dengan mereka sejak masih belia. Sampai aku mengalami kejadian yang kamu lihat ini. Aku belum pernah mendengar ada seorang laki-laki yang sendirian menerobos perkemahan 70.000 tentara.

Dia membawa lari seekor kuda dan kami bertiga mengejarnya. Prajurit pertama, yang kekuatannya setanding dengan seribu prajurit berhasil mendekat dan menyerang orang itu, tetapi dengan mudah dia mengalahkan dan membunuhnya. Begitu pula yang kedua, yang juga mempunyai kekuatan yang setanding dengan seribu prajurit. Kemudian aku berhasil mengejarnya dan aku tidak tahu berapa yang setanding denganku. Aku sangat dendam dengan terbunuhnya dua prajurit pertama, karena mereka adalah sepupuku.

Kematian seakan membayang di mataku, maka akupun menyerah dan membiarkannya membawaku kepadamu. Pasukan Persia dipimpin langsung oleh Rustum dengan kekuatan 120. 000 orang. Para pengikut yang melayani mereka, sebanyak itu juga. Orang itu masuk Islam dan diganti namanya oleh Sa’d menjadi Muslim.

Dia kembali kepada Thulaihah dan berkata, “Demi Allah, kamu tidak akan terkalahkan selama kamu tetap seperti yang aku lihat, menepati janji, jujur, dan berupaya memperbaiki serta menyantuni orang lain. Aku tidak lagi perlu bergaul dengan orang Persia.” Laki-laki Persia, yang kemudian bernama Muslim ini gugur sebagai syahid dalam pertempuran itu.

(Insya Allah bersambung)