(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Islam merebak di negeri Makkah. Saat itu, Allah l membuka hati seorang wanita mulia untuk menerima agama ini. Dia, Sahlah bintu Suhail bin ‘Amr bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wudd bin Nashr bin Malik bin Hisl bin ‘Amir bin Lu’ai, berbaiat kepada Rasulullah n.
Namun, segalanya tidaklah berjalan mudah. Keislaman setiap orang harus berhadapan dengan berbagai penindasan kaum musyrikin. Makin hari, makin gencar dan dahsyat.
Dengan izin Allah l, Rasulullah n memerintahkan para sahabat yang tertindas untuk hijrah ke negeri Habasyah. Sahlah turut hijrah bersama suaminya, Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah bin ‘Abdi Syams. Di sana mereka mencari perlindungan bagi agamanya, di bawah naungan Raja Najasyi. Di negeri asing ini, Sahlah melahirkan putranya, Muhammad bin Abi Hudzaifah.
Sampai berita ke negeri Habasyah, kaum musyrikin di Makkah telah beriman. Dengan sejuta harapan dan kerinduan, Sahlah beserta para sahabat yang berada di Habasyah meninggalkan negeri itu untuk kembali ke Makkah. Namun belum sampai mereka menginjakkan kaki di tanah air, terdengar bahwa berita itu tidak benar. Mereka pun bertolak kembali, hijrah untuk yang kedua kalinya ke negeri Habasyah.
Berbilang tahun, masa berganti, keadaan pun telah berubah. Kini mereka hidup tenang di sisi Rasulullah n di kota Madinah.
Saat itu, Abu Hudzaifah memiliki seorang budak. Salim namanya, dikenal dengan Salim maula Abu Hudzaifah. Dia seorang pemuda yang telah dewasa. Saat meletus Perang Badar, Salim turut pula bertempur melawan kaum musyrikin.
Keluarga Abu Hudzaifah telah menganggap Salim sebagai anak. Salim sering keluar masuk di tengah keluarga Abu Hudzaifah. Namun, bagaimana pun Salim tetaplah bukan anak keluarga Abu Hudzaifah. Dia bukan mahram bagi Sahlah.
Kesulitan meliputi mereka hingga Sahlah mengadu kepada Rasulullah n.
“Wahai Rasulullah,” ujar Sahlah, “Di keluarga kami ada Salim, budak Abu Hudzaifah. Kami sudah menganggapnya sebagai anak. Sementara itu, saya biasa mengenakan pakaian harian, sehingga dia pun bisa melihat saya.”
Rasulullah n memberikan jalan keluar bagi Sahlah. Beliau memberikan keringanan kepadanya. “Susuilah dia lima kali susuan!”
Sahlah melakukan perintah Rasulullah n. Setiap hari dia peras air susunya, ditampung dalam sebuah wadah hingga mencukupi satu kali susuan. Salim meminum air susu Sahlah.
Demikian berlangsung hingga lima hari.
Selesai lima kali penyusuan itu, Salim pun masuk menemui ibu susuannya, Sahlah bintu Suhail, dalam keadaan tanpa berhijab.
Sepeninggal Abu Hudzaifah, Sahlah menikah dengan ‘Abdullah ibnul Aswad bin ‘Amr dari bani Malik bin Hisl. Dari pernikahan ini, Allah l menganugerahkan seorang anak, Salith bin ‘Abdillah.
‘Abdullah, suami yang kedua ini tidak bisa menemani Sahlah lebih lama di dunia. Ia juga meninggalkan Sahlah untuk selamanya, kembali ke hadapan Penciptanya. Sahlah kembali menjanda.
Kemudian ia disunting oleh Syammakh bin Sa’id bin Qaif bin al-Auqash bin Murrah bin Hilal bin Falij bin Dzakwan bin Tsa’labah bin Buhtsah bin Sulaim bin Manshur. Allah l memberikan kepada mereka seorang anak, ‘Amir bin Syammakh. Kemudian Allah l menghendaki untuk memanggil Syammakh, meninggalkan alam yang fana menuju alam baka, hingga kembali wanita mulia ini menjanda.
Ternyata Allah l masih memberinya jodoh. Setelah suaminya tiada, Sahlah dipinang oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf bin ‘Abdi ‘Auf bin al-Harits bin Zuhrah. Dari pernikahan ini lahirlah Salim bin ‘Abdirrahman.
Sahlah bintu Suhail, semoga Allah l meridhainya…
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber bacaan:
– al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (8/193)
– al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/535)
– ath-Thabaqatul Kubra, al-Imam Ibnu Sa’d (10/256—257)