(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc.)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ n وَقَالَ: لَا حَرَجَ
Bahwasanya Rasulullah n keluar ketika Hassan1 z telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat g duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan z bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah n tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”
Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah n memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit z dengan sabda beliau n: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit z.
Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi n kepada para sahabat g yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi n atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda). Sesungguhnya hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh hati-hati berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik. Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka? Shahihkah penyandaran hadits ini kepada Rasulullah n?
Tinjauan Sanad Hadits
Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas c di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib c.
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.
Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas c dapat diketahui dari beberapa tinjauan.
Pertama, kelemahan sanadnya.
Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.
Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.
Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah n sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah k dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.
Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.
Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.
Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani. Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata dalam riwayat Al-Atsram: “Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”
Yahya bin Ma’in t berkata: “Huwa dha’if (Dia lemah).”
Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”
Abu Hatim Ar-Razi t berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5
An-Nasa`i t berkata: “Matruk (Ditinggalkan).”6
Al-Jauzajani t berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7
Ibnu Hibban t berkata: “Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Dha’if (lemah).”9
Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–: “Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10
An-Nasa`i berkata: “Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”
Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi t dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas c ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.
Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi: “ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).” Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)
Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais: “Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11
Demikian secara singkat beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan Al-Husain dan Abu Uwais. Wallahu a’lam.
Penyelisihan terhadap Al-Qur`an
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda).
Lemahnya hadits Ibnu ‘Abbas c bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap Al-Qur`an dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Qur`an menunjukkan haramnya musik dan alat-alat musik. Demikian pula sabda-sabda Rasulullah n yang shahih.
Di antara ayat yang menunjukkan haramnya musik adalah firman Allah l: