Sunnah-sunnah Fithrah (Masalah Khitan)

Pembaca yang semoga dirahmati Allah l,Rasul kita yang mulia –semoga shalawat dan salam tercurah pada beliau- pernah bersabda sebagaimana tersampaikan lewat sahabatnya yang mulia Abu Hurairah z:
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – اَلْخِتَانُ وَ الاِسْنِحْدَادُ وَ نَتْفُ الإِبْطِ وَ تَقْلِيْمُ الأََظْفَارِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ
“Perkara fithrah itu ada lima –atau lima hal berikut ini termasuk dari perkara fithrah- yaitu khitan, istihdad (menghilangkan rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan), mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, dan memotong  kumis. (HR. Bukhari no. 5889 , 5891, 6297 dan Muslim no. 597)
Kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini merupakan beberapa perkara kebersihan yang diajarkan oleh Islam.
Pertama: memotong qulfah (kulit penutup) zakar yang bila dibiarkan (tidak dihilangkan) akan menjadi sebab terkumpulnya najis dan kotoran di daerah tersebut hingga menimbulkan  berbagai penyakit dan luka.
Kedua: mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, baik di daerah qubul ataupun dubur, karena bila dibiarkan rambut tersebut akan bercampur dengan kotoran dan najis (seperti kencing, kotoran, dsb), serta bisa menyebabkan thaharah syar`iyyah (seperti wudhu) tidak bisa sempurna.
Ketiga: menggunting kumis, bila dibiarkan terus tumbuh akan menperjelek wajah. Memanjangkannya juga berarti tasyabbuh (menyerupai) dengan Majusi (para penyembah api).
Keempat: menggunting kuku, bila dibiarkan akan terkumpul kotoran di bawahnya hingga bercampur pada makanan, akibatnya timbullah penyakit. Dan juga bisa menghalangi kesempurnaan thaharah (wudhu) karena kuku yang panjang akan menutup sebagian ujung jari.
Kelima: mencabut bulu ketiak yang bila dibiarkan akan menimbulkan bau yang tak sedap.
Kesimpulannya, menghilangkan perkara-perkara yang disebutkan ini merupakan mahasin (kebagusan/keindahan) Islam, yang Islam datang dengan kebersihan dan kesucian, dengan pengajaran dan pendidikan, agar seorang muslim berada di atas keadaan yang terbaik/terbagus dan bentuk yang paling indah. (Taisirul `Allam, 1/78)

Makna Fithrah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaukan dengan fithrah di sini adalah sunnah, demikian dikatakan Al-Imam Al-Khaththabi t dan selainnya. Maknanya, kata mereka, perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk sunnah-sunnah para nabi. Adapula yang berpendapat makna fithrah adalah agama, demikian pendapat yang dipastikan oleh Abu Nu`aim t dalam Al-Mustakhraj.
Berkata Abu Syamah t: «Asal makna fithrah adalah penciptaan pada awal permulaannya. Dari makna ini, Allah l dinyatakan dalam ayat Al-Qur>an sebagai:
فاطر السماوات و الأرض,
Maksudnya adalah Dzat yang mengawali penciptaan langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya, pent.). Demikian pula dalam sabda Rasulullah n:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ)
Artinya: Setiap anak yang lahir, ia dilahirkan di atas fithrah. Maknanya: si anak  dilahirkan di atas perkara yang Allah l mengawali penciptaan si anak dengannya. Dalam hadits ini ada isyarat kepada firman Allah l:
فطرة الله التى فطر الناس عليها
“Fithrah Allah yang Dia menciptakan manusia di atas fithrah tersebut.” (Ar-Rum: 30)
Maknanya: setiap orang seandainya dibiarkan semenjak lahir hingga bisa memandang dengan pikirannya (tanpa dikotori dan dinodai oleh pengaruh-pengaruh dari luar) niscaya akan mengantarkannya ke agama yang benar yaitu tauhid. Yang memperkuat makna ini adalah firman Allah sebelumnya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ اللهِ حَنِيْفًا , فطرة الله التى فطر الناس عليها
“Tegakkanlah wajahmu kepada agama Allah yang hanif (lurus, condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan). (Demikianlah) fthrah Allah yang Dia menciptakan manusia di atas fithrah tersebut.”
Makna di atas juga diisyaratkan oleh kelanjutan hadits, yaitu:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ  فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَ يُنَصِّرَانِهِ
“Maka kedua orang tuanya yang menjadikan anak tersebut Yahudi atau Nasrani (memalingkan si anak dari fithrahnya, pent.)”
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan fithrah dalam hadits yang menjadi pembahasan kita adalah perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits ini yang bila dikerjakan maka pelakunya disifati dengan fithrah yang Allah memfithrahkan para hamba di atasnya, menekankan mereka untuk menunaikannya, dan menyukai untuk mereka agar mereka berada di atas sifat yang paling sempurna dan bentuk/penampilan yang paling tinggi/mulia.”
Al-Qadhi Al-Baidhawi t berkata: “Fithrah ini merupakan sunnah yang terdahulu yang dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh syariat. Seakan-akan fithrah ini merupakan perkara yang sudah seharusnya menjadi tabiat/perangai di mana mereka diciptakan di atas tabiat/perangai tersebut.” (Lihat Fathul Bari 10/417, Al-Minhaj 3/139, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/234-235, Nailul Authar 1/161)
Perkara fithrah ini bila dilakukan akan membaguskan penampilan seseorang dan membersihkannya, sebaliknya bila ditinggalkan dan tidak dihilangkan apa yang semestinya dihilangkan akan menjelekkan rupa dan memburukkan penampilan seseorang. Dia akan dianggap kotor dan tercela. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/235)

Apakah  Fithrah Sebatas Lima Perkara Ini?
Perkara fithrah tidak sebatas lima perkara ini, hal ini diketahui dengan lafadz: مِن dari kalimat خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ yang menunjukkan tab`idh artinya sebagian, (Ihkamul Ahkam fi Syarhi `Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab fil Madzi wa Ghairihi).
Terlebih lagi telah datang dalam hadits-hadits lain, adanya tambahan selain lima perkara tersebut, seperti dalam hadits `Aisyah x yang dikeluarkan oleh Imam Muslim t disebutkan ada 10 hal yang termasuk perkara fithrah yaitu istihdad, mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, memotong  kumis, memanjangkan jenggot, siwak, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung (istinsyaq), mencuci ruas-ruas jari dan istinja (cebok). Dengan demikian penyebutan bilangan 5 atau 10 tidak berarti meniadakan tambahan, demikian ucapan mayoritas ulama ushul. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/236)

Hukum Lima Perkara Fithrah Ini
Ulama berbeda pendapat tentang hukum kelima perkara fithrah yang disebutkan dalam hadits ini, ada yang mengatakan sunnah, adapula yang berpendapat wajib. Namun yang kuat dari pendapat yang ada, wallahu a`lam, lima perkara tersebut ada yang hukumnya wajib dan adapula yang sunnah. Al-Imam An-Nawawi t berkata ketika menerangkan hadits Aisyah tentang 10 hal yang termasuk perkara fithrah: “Mayoritas perkara yang disebutkan dalam hadits tentang fithrah tidaklah wajib menurut ulama, sebagiannya diperselisihkan kewajibannya seperti khitan, berkumur-kumur, dan istinsyaq. Dan memang tidak ada penghalang atau tidak ada yang mencegah untuk menggandengkan perkara wajib dengan selain yang wajib sebagaimana penggandengan  ini tampak pada firman Allah l:
كلوا من ثمره إذا أثمر و آتوا حقه يوم حصاده
“Makanlah buah-buahan hasil panen kalian apabila telah berbuah dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari dipetik hasilnya.” (Al-An`am: 141)
Mengeluarkan zakat tanaman (apabila mencapai nishabnya) hukumnya wajib sementara memakan hasil tanaman itu tidaklah wajib, wallahu a`lam.” (Al-Minhaj, 3/139)
Kita akan sebutkan hukum masing-masing dari lima perkara tersebut dalam perincian pembahasannya berikut ini:

1. KHITAN
Imam Malik, Abu Hanifah, dan sebagian pengikut Imam Syafi`i berpendapat khitan itu sunnah, tidak wajib. Adapun Imam Syafi`i, Ahmad dan sebagian Malikiyyah berpendapat hukumnya wajib. Pendapat yang kedua inilah yang rajih/kuat di sisi penulis disebabkan ketika ada seseorang yang baru masuk Islam, Rasulullah n memerintahkan kepadanya:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَ اخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Daud no. 356, dihasankan Syaikh Albani t  dalam Ash-Shahihah no. 2977 dan Irwaul Ghalil no. 79)
Penulis ‘Aunul Ma’bud (syarah Sunan Abu Daud) menyatakan perintah Rasulullah n dalam hadits di atas menunjukkan wajibnya khitan bagi orang yang masuk Islam dan hal itu merupakan tanda keislamannya.
Syaikh Albani t berkata: “Yang rajih/kuat di sisi kami, hukum khitan adalah wajib, demikian madzhab jumhur ulama seperti Malik, Syafi`i, dan Ahmad. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnul Qayyim. Beliau  membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi-sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya. Dikarenakan tidak cukup tempat untuk membawakan semua sisi, maka aku cukupkan dua sisi di antaranya:
Pertama: Firman Allah l:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفاً
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, (Ikutilah millah Ibrahim yang hanif).”
Sementara khitan termasuk millahnya Nabi Ibrahim u sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z yang disebutkan dalam kitab Ibnul Qayyim t tersebut. Sisi ini merupakan argumen yang paling bagus, sebagaimana dikatakan Al-Baihaqi t yang  dinukilkan oleh Al-Hafizh t (10/281).
Kedua: Khitan merupakan syiar Islam yang paling jelas dan paling nampak yang dengannya dibedakan antara seorang muslim dengan seorang Nasrani, sampai-sampai hampir tidak dijumpai ada di kalangan kaum muslimin yang tidak berkhitan. (Tamamul Minnah, hal. 69)

Khitan bagi Wanita
Seperti halnya lelaki, wanita pun disyariatkan berkhitan (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fasl Hukmul Khitan) sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits berikut ini:
1. Ummu `Athiyyah Al-Anshariyyah x mengabarkan bahwa di Madinah ada seorang wanita yang biasa mengkhitan, Nabi n berpesan kepadanya:
أشمي و لاَ تَنْهَكِي , فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَ أَحَبَّ إِلَى الْبَعْلِ
“Potonglah tapi jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian itu lebih terhormat bagi si wanita dan lebih disukai/dicintai oleh suaminya.” (HR. Abu Daud no. 5271, dishahihkan dalam Shahih Abi Daud dan Ash-Shahihah no. 721)
2. Nabi n bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila bertemu dua khitan, sungguh telah wajib mandi.” (HR. Ahmad 6/239, dishahihkan Syaikh Albani رحمه الله تعالى dalam Ash Shahihah no. 1261)
3. Beliau n juga bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأرْبَع , وَ مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ  فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang laki-laki duduk di antara empat cabang seorang wanita dan khitan yang satu menyentuh khitan yang lain maka sungguh telah wajib mandi.” (HR.  Muslim no. 349)
Asy-Syaikh Albani t berkata, “Ketahuilah, khitan wanita adalah perkara yang dikenal di kalangan salaf, berbeda halnya dengan apa yang disangka oleh orang yang tidak berilmu. Beberapa atsar berikut ini menunjukkan hal tersebut”. Kemudian beliau t menyebutkan tiga atsar:
1. Al-Hasan berkata: `Utsman bin Abil ‘Ash z diundang untuk menghadiri jamuan makan. Lalu ditanyakan, “Tahukah engkau undangan makan untuk acara apakah ini? Ini acara khitan anak perempuan!”. `Utsman berkata:
هذَا شَيْءٌ مَا كُنَّا نَرَاهُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم . فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ
“Ini perkara yang tidak pernah kami lihat di masa Rasulullah n.” `Utsman pun menolak untuk menyantap hidangan.
2. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari  dalam Al-Adabul Mufrad no.1245 (dan didhaifkan oleh beliau dalam Dhaif Adabul Mufrad), Ummul Muhajir berkata, “Aku dan para wanita dari kalangan Romawi menjadi tawanan perang. Maka `Utsman menawarkan agar kami mau masuk Islam, namun tidak ada di antara kami yang berislam kecuali aku dan seorang wanita lainnya. `Utsman pun memerintahkan, “Khitanilah kedua wanita ini dan sucikanlah keduanya”. Setelah itu jadilah aku berkhidmat kepada `Utsman”.
3. Dikeluarkan  oleh Al-Bukhari  dalam Al-Adabul Mufrad no.1247 (dan dihasankan oleh beliau dalam Shahih Adabul Mufrad), Ummu ‘Alqamah mengabarkan:
أَنَّ بَنَاتَ أَخِي عَائِشَةَ خُتِنَّ فَقِيْلَ لِعَائِشَةَ : أَلاَ نَدْعُو لَهُنَّ مَنْ يُلْهِيْهُنَّ ؟ قَالَتْ : بَلَى , فَأَرْسَلْتُ إِلَى عُدَي فَأَتَاهُنَّ فَمَرَّتْ عَائِشَةُ فِي الْبَيْتِ فَرَأَتْهُ يَتَغَنَّى وَيُحَرِّكُ رَأْسَهُ طَرْبًا – وَكَانَ ذَا شَعْرٍ كَثِيْرٍ – فَقَالَتْ : أُفٍّ , شَيْطَان ! أَخْرِجُوهُ , أَخْرِجُوهُ.
“Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ‘Aisyah dikhitan, maka ditanyakan kepada ‘Aisyah, «Bolehkah kami memanggil seseorang yang dapat menghibur mereka?”‘Aisyah mengatakan, “Ya, boleh.” Maka aku mengutus seseorang untuk memanggil ‘Uday, lalu dia pun mendatangi anak-anak perempuan itu. Kemudian lewatlah ‘Aisyah di rumah itu dan melihatnya sedang bernyanyi sambil menggerak-gerakkan kepalanya, sementara dia mempunyai rambut yang lebat. ‘Aisyah pun berkata, “Cih, syaithan! Keluarkan dia, keluarkan dia!”(Lihat Ash-Shahihah 2/348-349)
Yang perlu jadi perhatian, ada perbedaan hukum khitan lelaki dengan hukum khitan bagi wanita, walaupun ada pendapat di kalangan ulama yang menyamakan (sama-sama wajib). Tampak perbedaan hukum tersebut dalam hadits Syaddad bin Aus z berikut ini:
اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مُكَرَّمَةٌ لِلنِّسَاءِ
“Khitan itu sunnah bagi lelaki dan pemuliaan bagi wanita.”
Namun kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t hadits ini tidak tsabit, karena datang dari riwayat Hajjaj bin Arthah, sementara ia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, dikeluarkan hadits ini oleh Imam Ahmad dan Al-Baihaqi. Namun ada syahid (pendukung) dari hadits yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyin, dari jalan Sa`id bin Bisyr dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas c, namun Sa`id ini diperselisihkan. Abusy Syaikh dan Al-Baihaqi  mengeluarkannya dari sisi lain dari Ibnu `Abbas c. Al-Baihaqi juga mengeluarkannya dari hadits Abu Ayyub z. (Fathul Bari, 10/419)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t menyatakan telah  terjadi perselisihan pendapat dalam hukum khitan, dan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran menyatakan bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita. Perbedaan hukum khitan antara laki-laki dan perempuan itu dikarenakan khitan pada laki-laki mengandung maslahat yang berkaitan dengan syarat shalat dan termasuk perkara thaharah (bersuci). Apabila kulup (kulit yang menutupi ujung zakar) tidak dihilangkan, maka air kencing yang keluar tertahan dan terkumpul di kulup tersebut hingga berakibat peradangan pada bagian tersebut, ataupun keluar tanpa sengaja bila zakar itu bergerak, sehingga menajisi. Adapun pada wanita, tujuan khitan adalah meredakan syahwatnya, bukan untuk menghilangkan kotoran. (Majmu` Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-`Utsaimin 11/117, Asy-Syarhul Mumti` 1/110)
Dengan demikian khitan hanya wajib bagi laki-laki, tidak wajib bagi wanita. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (Asy-Syarhul Mumti`, 1/109)

Hukum Orang yang Tidak Mau Dikhitan
Berkata Al-Haitsami: “Yang benar jika diwajibkan bagi kita khitan, lalu ditinggalkan tanpa udzur maka pelakunya fasik. Namun pahamilah bahwasanya pembicaraan di sini hanya ditujukan pada anak laki-laki tanpa menyertakan anak perempuan. Laki-laki difasikkan bila meninggalkan khitan tanpa udzur dan lazim dari sebutan fasik tersebut bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar.” (Az-Zawajir  2/162)

Bagian yang Dikhitan
Khitan pada anak laki-laki dilakukan dengan cara memotong kulup (qulfah) atau kulit yang menutupi ujung zakar. Minimal menghilangkan apa yang menutupi ujung zakar dan disenangi  untuk mengambil seluruh kulit di ujung zakar tersebut. Sedangkan pada wanita, dilakukan dengan memotong kulit di bagian paling atas kemaluan di atas vagina yang berbentuk seperti  biji atau jengger ayam jantan. Yang harus dilakukan pada khitan wanita adalah memotong ujung kulit dan bukan memotong habis bagian tersebut. (Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab 1/349, Fathul Bari 10/420, Nailul Authar 1/162, 165)
Ibnu Taimiyyah t ketika ditanya mengenai khitan wanita, beliau memberikan jawaban bahwa wanita dikhitan dengan memotong kulit yang paling atas yang berbentuk seperti jengger ayam jantan. (Majmu’ Fatawa, 21/114)

Faidah
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t mengatakan, pelaksanaan khitan itu seharusnya dilakukan oleh seorang dokter yang ahli (atau tenaga kesehatan lainnya, pent.) yang mengetahui bagaimana cara mengkhitan. Bila seseorang tidak mendapatkannya maka ia bisa mengkhitan dirinya sendiri jika memang mampu melakukannya dengan baik. Nabi Ibrahim u ةengkhitan dirinya sendiri. Orang yang mengkhitan boleh melihat aurat yang dikhitan walaupun usia yang dikhitan telah mencapai sepuluh tahun, kebolehan ini dikarenakan adanya kebutuhan. (Asy-Syarhul Mumti`, 1/110)

Waktu Khitan
Ada perbedaan pendapat tentang kapan waktu disyariatkannya khitan. Jumhur ulama berpendapat tidak ada waktu khusus untuk melaksanakan khitan. (Nailul Authar, 1/165)
Al-Imam Al-Mawardi t menjelaskan, untuk melaksanakan khitan ada dua waktu, waktu yang wajib dan waktu yang mustahab (sunnah). Waktu yang wajib adalah ketika seorang anak mencapai baligh, sedangkan waktu mustahab sebelum baligh. Boleh pula melakukannya pada hari ketujuh setelah kelahiran. Juga disunnahkan untuk tidak mengakhirkan pelaksanaan khitan dari waktu mustahab kecuali karena ada uzur. (dinukil dari Fathul Bari, 10/421)
Ibnul Mundzir t mengatakan, “Tidak ada larangan yang ditetapkan oleh syariat yang berkenaan dengan waktu pelaksanaan khitan ini, juga tidak ada batasan waktu yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan khitan tersebut, begitu pula sunnah yang harus diikuti. Seluruh waktu diperbolehkan. Tidak boleh melarang sesuatu kecuali dengan hujjah dan kami juga tidak mengetahui adanya hujjah bagi orang yang melarang khitan anak kecil pada hari ketujuh.” (dinukil dari Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 1/352)
Namun Asy-Syaikh Albani t menyebutkan dua hadits yang menunjukkan adanya pembatasan waktu khitan:
Pertama: Dari Jabir c, ia menyatakan Rasulullah n mengaqiqahi cucu beliau Al-Hasan dan Al-Husein, dan mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.
Kedua: Dari Ibnu Abbas c, ia berkata, “Ada tujuh perkara yang sunnah dilakukan pada hari ketujuh seorang bayi, yaitu diberi nama, dikhitan…”
Kemudian beliau menyatakan walaupun kedua hadits di atas memiliki kelemahan, akan tetapi kedua hadits ini saling menguatkan karena makhraj kedua hadits ini berbeda dan tidak ada dalam sanadnya rawi yang tertuduh berdusta. Kalangan Syafi`iyyah mengambil hadits ini hingga mereka menganggap sunnah dilakukan khitan pada hari ketujuh dari kelahiran seorang anak, sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu` (1/307) dan selainnya. Batas tertinggi dilakukannya khitan adalah sebelum seorang anak baligh. Ibnul Qayyim t berkata: “Tidak boleh bagi si wali menunda dilakukannya khitan  anak (yang dibawah perwaliannya) sampai si anak melewati masa baligh.” (Tamamul Minnah, hal. 68)
Lebih afdhal/utama bila khitan ini dilakukan ketika anak masih kecil, karena lebih cepat sembuhnya dan agar si anak tumbuh di atas keadaan yang paling sempurna. (Ar-Raudhatul Murbi` Syarhu Zaadil Mustaqni`  1/35, Al-Mulakhash Fiqhiy, karya Syaikh Shalih Fauzan 1/34)
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Catatan Kaki:

1 Adapun pada dubur ada perselisihan ulama tentangnya dan insya Allah akan kami jelaskan nantinya.

2 Yaitu hadits:  ((اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – …))

Lafaz haditsnya sebagaimana berikut:
((عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ : قَصُّ الشَّارِبِ وَ إِعْفَاءُ اللِحْيَةِ وَ السَّوَاكِ وَ اسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَ قَصُّ الْأَظْفَارِ  وَ غَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَ نَتْفُ الْإِبْطِ  وَ حَلْقُ الْعَانَةِ وَ انْتِقَاصُ الْمَاءِ))
قال زَكَرِيّاء : قال مصعب : وَ نَسِيْتُ الْعَاشرة . إِلاَّ أن تكون المضمضة.
“Sepuluh perkara berikut ini termasuk perkara fithrah yaitu memotong kumis, memanjang jenggot, siwak, istinsyaq, memotong kuku, mencuci ruas-ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan dan istinja”.
Zakariyya berkata: Mush`ab berkata, «Aku lupa yang kesepuluh, kecuali kalau dimasukkan madhmadhah (berkumur-kumur)  (HR. Muslim no. 603)

4    Kitab Tuhfatul Maudud. Hadits yang dimaksud adalah berikut ini:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيُْ عَلَيْهِ  السَّلاَم بَعْدَ ثَمَانِيْنَ سَنَةًِ
«Nabi Ibrahim عليه السلام ‘berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun.» (HR. Al-Bukhari no. 3356 dan Muslim no. 6093)

5     Syaikh Ibnu `Utsaimin t menyampaikan bahwa khitan merupakan pembeda antara muslimin dan orang-orang Nasrani sehingga orang-orang yang gugur dari kalangan muslimin di medan peperangan bisa dikenali dengan khitan. Para ulama mengatakan bahwa khitan adalah pembeda antara muslim dan kafir, maka khitan itu wajib dikarenakan adanya kewajiban membedakan diri dengan orang kafir dan haram menyerupai  mereka, berdasarkan sabda Nabi n:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
«Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (Majmu` Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-`Utsaimin, 11/117)

6 Maknanya: bila dipotong habis bagian yang dikhitan tersebut niscaya si wanita akan lemah syahwatnya (kehilangan daya seksualnya), hingga ia tidak berharga di sisi suaminya. Sebaliknya, bila bagian khitannya dibiarkan begitu saja, tidak sedikit pun diambil, niscaya si wanita sangat kuat syahwatnya. Kalau bagian tersebut diambil sedikit dan sisanya dibiarkan, maka yang demikian ini akan memberikan keseimbangan.   (Tuhfatul Maudud, hal. 164)

7 Yaitu bagian yang dikhitan dari kemaluan lelaki dan kemaluan wanita. Imam Ahmad t mengomentari hadits ini, «Dalam hadits ini ada dalil/bukti bahwa para wanita juga dikhitan.” (Tuhfatul Maudud, hal. 166)

8 Imam Ahmad t berkata setelah menyebutkan hadits ini, “Dalam hadits ini ada keterangan bahwa para wanita biasa berkhitan.” (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fasl Hukmul Khitan)

9 Kata Syaikh Albani t tentang atsar ini , «Dikeluarkan  oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu`jamul Kabir (3/7/2) dari jalan Abu Hamzah Al`Aththar. Abu Hamzah ini namanya Ishaq bin Ar-Rabi`, kedudukannya hasanul hadits sebagaimana dinyatakan Abu Hatim. Semua rawi atsar ini ditsiqahkan, apabila Al-Hasan Al-Bashri benar mendengarnya dari `Utsman berarti sanad atsar ini hasan. Muhammad bin Ishaq  meriwayatkannya dari Thalhah bin Ubaidillah dari Kuraiz dari Al-Hasan, tanpa penyebutan “khitan anak perempuan”. Ath-Thabrani juga mengeluarkannya, demikian pula Imam Ahmad (4/217), dan sanadnya jayyid seandainya tidak ada `an`anahnya Ibnu Ishaq padahal dia seorang mudallis. Karena itulah Al-Haitsami memu`alkan atsar ini karenanya (yakni menyatakan atsar ini ada illat/penyakit yang mencacati untuk diterimanya satu pengkabaran, karena Ibnu Ishaq meriwayatkannya dengan `an`anah, pent.)”. (Ash-Shahihah ,2/348)

10     Sunnah di sini, kata Ibnul Qayyim t, adalah thariqah/jalan. Bila dikatakan: “Aku menetapkan sunnah ini baginya”, maknanya: Aku mensyariatkannya. Dengan demikian makna: ((اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ )) adalah khitan itu disyariatkan bagi para lelaki, bukan maksudnya khitan itu tidak wajib.  Yang perlu menjadi perhatian, kata sunnah berarti jalan yang diikuti apakah hukumnya wajib atau mustahab (tidak wajib) berdasarkan sabda Nabi n: ((مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي )) , artinya: Siapa yang benci terhadap sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku. (Tuhfatul Maudud, hal. 155)

11     Hadits ini didhaifkan pula oleh Syaikh Albani t dalam Dhaiful Jami` no. 2938. Seandainya shahih niscaya hadits ini menjadi dalil yang jelas untuk membedakan laki-laki dengan wanita dalam masalah khitan (Asy-Syarhul Mumti`, 1/111).

12     Ibnul Qayyim t menyebutkan dalam Tuhfatul Maudud (hal. 155) bahwa hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas c dengan sanad yang dhaif/lemah, yang mahfuzh adalah hadits ini mauquf (ucapan Ibnu Abbas c bukan ucapan Rasulullah n.

13     Bagian ini diistilahkan dengan clitoris.

14  Berada di atas tempat masuknya zakar ketika jima` (Asy-Syarhul Mumti`, 1/109)

15 Bila sudah dewasa ia belum dikhitan, misalnya karena baru masuk Islam.

16      Karena pada saat baligh seorang anak telah diwajibkan untuk thaharah dan shalat (Taisirul `Allam, 1/79)

17      Adapun riwayat yang pertama, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu`jamush Shaghir (hal. 185) dengan sanad yang rijalnya tsiqah, akan tetapi di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abi As-Sariyyi Al-Asqalani, diperbincangkan dari sisi hafalannya. Dan juga ada Al-Walid bin Muslim yang suka melakukan tadhis taswiyyah, sementara riwayat ini ia bawakan dengan `an`anah.  (Tamamul Minnah, hal. 67-68). Sedangkan riwayat yang kedua, diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (1/334/562). Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma` (4/59), “Rijalnya tsiqat”. Adapun Al-Hafizh dalam Fathul Bari (9/83) mengatakan, “ Dikeluarkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan pada sanadnya ada kelemahan.” (Tamamul Minnah, hal. 68)