Jadikan Istirahatmu Bernilai di Sisi Allah

 

Dalam Islam, setiap amalan, sekecil apapun, bisa bernilai ibadah. Beristirahat, misalnya. Ia tak sekedar rutinitas melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Namun bisa menjadi pohon yang berbuah pahala. Bagaimana amalan yang nyata-nyata telah menjadi kebutuhan kita sehari-hari ini bisa bernilai ibadah? Simak bahasan berikut!

Hidup memang sebuah pengorbanan dan perjuangan. Berjuang dan berkorban adalah sesuatu yang melelahkan dan memberatkan, dan ketika lelah tentu butuh ketenangan dan istirahat. Namun tidak semua orang bisa dengan mudah men-dapatkan ini semua. Ada yang hanya bisa beristirahat satu atau dua jam saja setiap harinya. Hidupnya dipenuhi dengan aktivitas dan kesibukan yang luar biasa. Sehingga, kesempatan beristirahat merupakan sebuah kenikmatan dan kasih sayang Allah I yang mesti kita syukuri.
Namun di masa kini, manusia diha-dapkan pada pola hidup yang menuhankan materi. Hidup di dunia seolah-olah hanya untuk mencari uang atau materi. Manusia diposisikan sebagai alat produksi yang senantiasa dituntut produktif. Dengan kata lain, segala aktivitas harus ada timbal baliknya secara materi. Pekerjaan adalah no. 1, sementara keharmonisan keluarga, interaksi sosial dengan masyarakat, adalah nomor kesekian. Walhasil, manusia pun tak ubahnya seperti robot. Ini jelas menyelisihi fitrah manusia. Allah I menjelaskan di dalam Al-Qur`an:

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (An-Nisa`: 28)
As-Sa’di t mengatakan: “(Allah I menginginkan atas kalian keringanan) artinya kemudahan dalam segala perintah dan larangan-Nya atas kalian. Kemudian bila kalian menjumpai kesulitan dalam beragama maka Allah I telah menghalalkan bagi kalian sesuatu yang kalian butuhkan seperti bangkai, darah dan selain keduanya bagi orang yang mudhthar1, dan seperti bolehnya bagi orang yang merdeka menikahi budak wanita dengan syarat di atas. Hal ini sebagai bukti sempurnanya kasih sayang Allah I, kebaikan yang mencakup ilmu dan hikmah-Nya atas kelemahan manusia (yaitu kelemahan) dari semua sisi. Lemah tubuh, lemah niat, lemah kehendak, lemah keinginan, lemah iman, dan lemah kesabaran. Berdasarkan semua ini sangat sesuai jika Allah I meringankan atas mereka perkara yang dia tidak sanggup untuk melakukannya dan segala apa yang tidak sanggup dipenuhi oleh keimanannya, kesabaran, dan kekuatan dirinya.”
Dan karena kelemahan itu, Allah Maha Bijaksana di dalam menentukan waktu kehidupan bagi mereka. Allah I menjadikan malam dan siang memiliki hikmah tersendiri. Dan adanya malam dan siang itu menunjukkan kasih sayang Allah I terhadap hamba-hamba-Nya dan manakah dari hamba-Nya yang mau mensyukurinya?
Allah I berfirman:

“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 98)

“Dialah yang telah menjadikan malam bagi kalian supaya kalian beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kalian mencari karunia Allah I). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah I) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus: 67)

“Dialah yang menjadikan untuk kalian malam sebagai pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (Al-Furqan: 47)

“Dan karena rahmat-Nya Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu dan supaya kalian mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kalian bersyukur kepada-Nya.” (Al-Qashash: 73)
Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan di atas. Semuanya menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah I terhadap hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah I telah melimpahkan kepada mereka segala yang mereka butuhkan dalam pengabdian dan ibadah kepada Allah I. Namun mengapa kebanyakan manusia ingkar kepada-Nya?
Dan kita semua berkeinginan agar tidur sebagai salah satu bentuk istirahat bukan hanya sebagai ketundukan kepada sunnatullah semata. Kita juga ingin agar tidur kita mendapatkan nilai ibadah tambahan dari sisi Allah I. Allah I melalui lisan Rasul-Nya Muhammad n telah mengajarkan kepada kita beberapa adab di dalam tidur.

Berwudhu Sebelum Tidur
Termasuk Sunnah Rasulullah n adalah berwudhu sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim bermalam dalam keadaan suci, sehingga bila ajalnya datang menjemput diapun dalam keadaan suci. Dan sunnah ini menggambarkan bentuk kesiapan seorang muslim untuk memenuhi panggilan kematian dalam keadaan suci hatinya. Dan jelas bahwa kesucian hati lebih diutamakan daripada kesucian badan. Dan sunnah ini juga akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan menjauhkan diri dari permainan setan yang akan menimpanya. (Lih. Fathul Bari, 11/125 dan Syarah Shahih Muslim, 9/32)
Tentang sunnah ini, Rasulullah n telah menjelaskan dalam sabda beliau:

Dari Al-Bara` bin ‘Azib z, berkata: “Rasulullah n bersabda kepadaku: ‘Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah kamu sebagaimana wudhumu untuk shalat.”2
Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau menulis sebuah bab: “Apabila Bermalam (Tidur) dalam Keadaan Suci”. Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan: “Sungguh terdapat hadits-hadits yang men-jelaskan makna ini yang tidak memenuhi syarat Al-Bukhari dalam Shahih-nya, di antaranya hadits Mu’adz z:

“Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dengan berdzikir dan dalam keadaan suci, kemudian dia terbangun dari tidurnya di malam hari kemudian dia meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikan itu kepadanya.”3 (lih. Fathul Bari, 11/124)
Dan beliau mengatakan: “Perintah (untuk berwudhu di sini) adalah sunnah (bukan wajib).” Beliau mengatakan juga: “At-Tirmidzi mengatakan: ‘Tidak ada di dalam hadits-hadits penyebutan wudhu ketika tidur melainkan di dalam hadits ini’.” (lih. Fathul Bari, 11/125)
Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat tiga sunnah yang penting, namun bukan wajib. Salah satu di antaranya adalah berwudhu ketika ingin tidur. Dan bila dia dalam keadaan berwudhu maka cukup baginya (dalam melaksanakan sunnah tersebut) karena yang dimaksud adalah (tidur) dalam keadaan suci.” (Syarah Shahih Muslim, 9/32)
Demikianlah sunnah yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah n ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim memperhatikannya. Abdullah bin ‘Abbas c bercerita:

“Bahwa Rasulullah n terjaga di suatu malam lalu beliau menunaikan hajatnya dan kemudian membasuh wajah dan tangannya lalu tidur.”4

Mengibas (Membersihkan) Tempat Tidurnya
Satu dari sekian sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah n berkaitan dengan adab tidur adalah mengibas tempat tidur. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan diri seperti binatang berbisa, baik ular, kalajengking, dan sebagainya. Ini dilakukan tidak dengan tangan langsung, supaya terhindar dari sesuatu yang mengotori sekiranya terdapat najis atau kotoran. (Lih. Syarah Shahih Muslim, 9/38 dan Fathul Bari, 11/143)
Rasulullah n bersabda:

“Apabila salah seorang dari kalian beranjak menuju tempat tidurnya maka hendaklah dia mengibas (membersihkan) tempat tidurnya karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”5
“Dia tidak menge-tahui apa yang terjadi kemudian” artinya, kata Al-Imam At-Thibi: “Dia tidak mengetahui apa yang akan terjatuh di ranjangnya berupa tanah, kotoran, atau serangga bila dia meninggalkannya.” (Fathul Bari, 11/144)
Ibnu Baththal mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat adab yang besar dan telah disebutkan hikmahnya dalam hadits, yaitu dikhawatirkan sebagian serangga yang berbahaya bermalam di tempat tidurnya dan mengganggunya.
Al-Qurthubi mengatakan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi orang yang akan tidur untuk mengibas tempat tidurnya karena dikhawatirkan terdapat sesuatu yang basah tersembunyi atau selainnya.”
Ibnul ‘Arabi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat peringatan dan (anjuran) agar seseorang mengetahui sebab-sebab tertolaknya taqdir yang jelek. Dan hadits ini sama dengan hadits: “Ikatlah ontamu kemudian bertawakkal.” (lihat Fathul Bari, 11/144)

Tidur di Atas Lambung Sebelah Kanan
Kesempurnaan Islam adalah sebuah keistimewaan yang diberikan kepada umat Rasulullah n dan menunjukkan keutamaan mereka atas umat-umat terdahulu. Sungguh merugi bila akal, perasaan, adat istiadat, ajaran nenek moyang dijadikan sebagai hakim atas kesempurnaannya.
Segala perintah, larangan dan bimbingan yang ada di dalamnya adalah demi kemaslahatan manusia. Akan tetapi berapa banyak dari mereka yang mau menerima bimbingan? Yang ingkar lebih banyak daripada yang beriman, dan yang menentang lebih banyak daripada yang taat, dan yang menolak lebih banyak dari yang menerima.
Hikmah yang terkandung dalam bimbingan Rasulullah n untuk tidur di atas lambung kanan adalah lebih cepat untuk terjaga (bangun), jantung bergantung ke arah sebelah kanan sehingga tidak menjadi berat bila ketika tidur.
Ibnul Jauzi berkata: “Cara seperti ini sebagaimana telah dijelaskan ilmuwan-ilmuwan kedokteran sangat berfaedah bagi badan. Mereka mengatakan: ‘Mereka meng-awali sesaat tidur di atas lambung sebelah kanan, kemudian di atas lambung sebelah kiri karena tertidur. (Dengan cara) pertama akan me-nurunkan makanan, dan tidur di atas lambung kiri akan menghancur-kannya dan dikare-nakan hati (terkait dengan pekerjaan) lambung.” (Lih. Fathul Bari, 11/115)
Rasulullah n bersabda:

“Lalu tidurlah di atas lambungmu yang kanan.”6

Meletakkan Tangan di Bawah Pipi
Tata cara ini dijelaskan oleh Hudzaifah ibnul Yaman z:

“Adalah Rasulullah n apabila beliau tidur di malam hari, beliau meletakkan tangan beliau di bawah pipi.”7

Berdoa Sebelum Tidur

“Rasulullah n apabila akan tidur beliau berdoa: ‘Ya Allah, dengan menyebut nama-Mu aku hidup dan dengan menyebut namamu aku mati (tidur).”8

Membaca Dzikir-dzikir Tidur
Dzikir-dzikir tidur yang ada dan shahih riwayatnya dari Rasulullah n sangatlah banyak, dan buku-buku yang ditulis dalam masalah ini bertebaran di tengah kaum muslimin. Di antara dzikir-dzikir tersebut adalah:
a.    Membaca ta’awwudz dan meniup telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh anggota tubuh.
Hal ini berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim:

“Adalah Rasulullah n apabila beliau akan tidur beliau meniup kedua tangan beliau dan membaca mu’awwidzat (ayat-ayat perlindungan) lalu mengusap dengan itu seluruh jasadnya.”9
Apa yang dimaksud dengan ayat-ayat perlindungan? Dan bagaimana tatacaranya yang dipraktekkan Rasulullah n?
Telah dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud (no. 5057) tentang yang dimaksud dengan doa perlindungan dan tatacaranya, yaitu:

“Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi n apabila menuju tempat pembaringan pada setiap malam, beliau menghimpun kedua telapak tangan beliau kemudian meniupnya dan membaca Qul Huwallahu Ahad dan Qul A’udzubirabbil Falaq dan Qul A’udzubi Rabbi An-Nas kemudian dia mengusap seluruh tubuh beliau, dan beliau memulai dari kepala kemudian wajah dan bagian depan jasad dan beliau lakukan hal itu tiga kali.”10
b.    Membaca takbir, tahmid dan tasbih 33 kali.
Al-Imam Al-Bukhari t mengatakan:

Muhammad bin Basysyar telah berce-rita kepadaku: Ghundar telah menceritakan kepada kami: Syu’bah telah menceritakan kepada kami dari Al-Hakam: Aku telah mendengar Ibnu Abi Laila berkata: “‘Ali telah menceritakan kepadaku bahwa Fathimah mengeluhkan apa yang beliau dapati (berupa bekas pada tangan beliau) karena menumbuk (tepung). Kemudian dibawakan kepada Nabi n seorang tawanan dan aku segera mendatangi Nabi n. Akan tetapi aku tidak menjumpainya dan beliau menjumpai ‘Aisyah lalu Fathimah menceritakan (hajatnya) kepada ‘Aisyah. Ketika Rasulullah n datang, ‘Aisyah memberitahukan tentang kedatangan Fathimah kemudian Rasulullah n mendatangi kami sedangkan kami telah tidur. Lalu aku berusaha bangun, beliau berkata: “Tetaplah kalian di tempat kalian.” Lalu beliau duduk di antara kami, dan aku (kata Fathimah) merasakan dingin kedua kaki beliau yang diletakkannya di atas dadaku dan beliau bersabda: “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kepadaku yaitu bila kalian akan tidur bertakbirlah 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali lebih baik bagi kalian dari pada memiliki pembantu (budak).”
c. Membaca doa di bawah ini:

Dari Al-Bara` bin ‘Azib, berkata: Adalah Rasulullah n apabila beliau menuju tempat pembaringan, beliau tidur di atas lambung sebelah kanan kemudian berdoa: “Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu dan aku hadapkan wajahku kepada-Mu dan aku serahkan semua urusanku kepada-Mu dan aku bentangkan punggungku di hadapan-Mu dengan penuh harapan dan rasa takut dari-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan (meminta) keselamatan melainkan kepada-Mu, aku beriman kepada kitab yang Engkau telah turunkan dan Nabi yang Engkau telah utus”, dan Rasulullah n bersabda: “Barangsiapa mengatakannya lalu dia meninggal pada malam itu maka dia meninggal di atas fitrah.”11
c.    Membaca doa di bawah ini:

Dari Abu Hurairah z, berkata: “Rasulullah n bersabda: Apabila salah seorang dari kalian menuju tempat tidurnya, hendaklah dia mengibasnya dengan bagian dalam kainnya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Lalu dia berdoa: ‘Dengan menyebut nama-Mu wahai Rabb, aku meletakkan lambungku dan karena-Mu pula aku mengangkatnya dan jika Engkau mencabut ruhku maka rahmatilah dia, dan jika Engkau melepaskannya (untuk hidup) maka jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih’.”12
Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdur Rahman bin Rawiyah


1 Orang yang sangat membutuhkan dan bila dia tidak melakukannya niscaya akan binasa, seperti orang yang bepergian sementara bekalnya habis di perjalanan dan dia dalam keadaan sangat lapar yang dapat mengancam jiwanya (jika dibiarkan). Maka agama memperbolehkan memakan segala apa yang didapatinya seperti bangkai, darah, babi, anjing dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhannya di saat itu saja. Ibnu Atsir di dalam kitab An-Nihayah (3/83) menjelaskan: “Sesungguhnya dihalalkannya bangkai bagi orang yang mudhthar hanyalah sebatas memakan apa yang akan menutup laparnya di pagi atau malam dan tidak boleh menjadikannya bekal antara keduanya (mempersiapkan di pagi hari sampai malam, pent.)
2 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710
3 HR. Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 5042 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no 5042, Al-Misykat no. 1215 dan di dalam kitab At-Ta’liq Ar-Raghib 1/207-208.
4 HR. Al-Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4217.
5 HR. Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714
6 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710
7 HR. Al-Bukhari no. 6314
8 HR. Muslim (no. 2711) dan Ahmad (no.17862) dari shahabat Al-Bara’ bin ‘Azib z. Dari shahabat Hudzaifah ibnul Yaman z dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no.1324) dengan lafadz yang berbeda dengan lafadz Al-Imam Muslim:
Dan yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari shahabat Abu Dzar z, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 6325).
9 HR. Al-Bukhari no. 6319, Muslim, Abu Dawud no. 5057, Ibnu Majah, dan Ahmad no. 23708 dari shahabat ‘Aisyah.
10 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4228
11 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6315 dan Muslim no. 2710
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714, lafadz ini adalah lafadz Al-Bukhari