Jauhi Segala Penyebab Retaknya Persahabatan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)

 

Setan adalah sebab utama retaknya hubungan kaum muslimin. Rasulullah n berkata:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya Iblis telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di Jazirah Arab, akan tetapi dia terus semangat untuk membuat perpecahan di antara mereka.”
Tahrisy yang dilakukan setan maknanya luas, meliputi berbagai metode dan jalan (perpecahan). Asasnya yang paling mendasar adalah waswasah (bisikan setan). Diantaranya dalilnya adalah firman Allah l:
“Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (An-Nas: 4-5) [Lihat Al-Qaulul Hasan hal. 41-42]
Asy-Syaikh Muqbil t berkata, “Nasihatku kepada Ahlus Sunnah, hendaknya mereka menjauhi sebab-sebab perselisihan dan perpecahan. Aqidah dan arah pandang mereka satu. Tidak ada yang menyebabkan perpecahan dan perselisihan kecuali kejahilan, kezaliman, dan setan.” (Lihat Nashihati li Ahlis Sunnah hal. 4)

Dosa
Dari Anas bin Malik z, Rasulullah n berkata:
مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فِي اللهِ فَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا إِلَّا بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا
“Tidaklah dua orang yang saling cinta di jalan Allah l kemudian keduanya dipisahkan (tidak harmonis kembali) kecuali karena dosa yang dilakukan oleh salah satu dari keduanya.” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Lihatlah –semoga Allah l menjagamu– bagaimana satu dosa bisa menyebabkan perpecahan di antara dua orang yang saling mencintai. Bagaimana yang akan terjadi jika banyak dosa yang dilakukan?! Baik dosa tersebut terkait dengan temanmu, atau temanmu yang lain, atau bahkan dosa yang berkaitan dengan hak Allah l semata.” (Lihat Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 17)

Balas dendam (marah karena urusan pribadi semata)
Diantara bahaya yang tersebar di zaman fitnah adalah semangat balas dendam dengan alasan-alasan yang lemah.
Disebutkan oleh banyak penulis sejarah: Ada seorang Khawarij ditanya, “Berapa kali engkau menusuk ‘Utsman bin ‘Affan?” Ia menjawab, “Tiga kali karena Allah l, dan satu kali karena alasan pribadiku.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Jika benar-benar dipastikan, niscaya semua yang dilakukan orang ini adalah karena urusan pribadinya.”
Beliau hafizhahullah berkata: “Balas dendam adalah kuburan bagi persaudaraan (persahabatan). Jika seseorang telah marah karena urusan pribadinya maka dia akan mengabaikan kebaikan, keshalihan, dan ilmu yang bermanfaat dari temannya. Engkau akan dapati dia memusuhi saudaranya walau dengan sebab seremeh apapun…” (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 43)

Menyelesaikan perselisihan dengan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para ulama
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Rasulullah n telah mengajari kita bagaimana menutup pintu perselisihan dan menyelesaikannya. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Abbas z. Rasulullah n berkata:
ائْتُونِي بِكِتَابٍ، أَكْتُبُ لَكُمْ كِتَابًا لاَ تَضِلُّوا بَعْدَهُ. فَتَنَازَعَ الصَّحَابَةُ، فَقَالَ: قُومُوا عَنِّي، لَا يَنْبَغِي عِنْدَ نَبِيٍّ تَنَازُعٌ
‘Berikan kepadaku kitab, aku akan menulis sesuatu yang kalian tak akan sesat setelahnya.’ Para sahabat ketika itu berselisih. Maka Rasulullah n berkata, ‘Berdirilah kalian (menjauh dariku), tidak sepantasnya ada yang berselisih di sisi Nabi.’
Al-Imam Al-Bukhari t meriwayatkan dari hadits Jundub z, bahwa Rasulullah n berkata:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوبُكُمْ، فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُومُوا عَنْهُ
‘Bacalah oleh kalian Al-Qur’an selama hati kalian rukun. Jika kalian berselisih, berhentilah darinya.’
Kapan saja perselisihan dibiarkan dan tidak diselesaikan, niscaya akan semakin besar kejelekan dan mudharatnya. Akan turut campur dalam perselisihan tersebut orang yang tidak pantas dan tidak bisa memperbaiki, bahkan akan semakin merusak.” (Al-Qaulul Hasan hal. 80)
Alangkah baiknya jika kita nukilkan dalam kesempatan ini ucapan Al-Walid Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t ketika beliau berbicara tentang kiat menyelesaikan perselisihan. Beliau t berkata:
Sesungguhnya perselisihan diantara Ahlus Sunnah akan hilang dengan beberapa perkara:
1.    Mengembalikan hukumnya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(nya), serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59)
Allah l berfirman:
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian). Itulah Allah Rabbku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Asy-Syura: 10)
Allah l berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83)

2.    Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah
Allah l berfirman:
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya: 7)
Namun sebagian penuntut ilmu merasa cukup dengan ilmu yang ada padanya, lalu mendebat semua yang menyelisihinya. Inilah salah satu sebab perpecahan dan perselisihan. Al-Imam Tirmidzi t meriwayatkan dalam Jami’nya dari Abu Umamah z, Rasulullah n berkata:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوْتُوا الْجَدَلَ
“Tidaklah sesat satu kaum setelah mendapatkan petunjuk melainkan dengan sebab jidal (senang berdebat).”
Kemudian beliau n membaca:
‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar’.” (Az-Zukhruf: 58)

3.    Semakin giat menuntut ilmu
Jika engkau telah melihat kekuranganmu, maka engkau akan merasakan tidak ada nilainya dibandingkan para ulama mutaqadimin seperti Al-Hafizh Ibnu Katsir t dan ulama terdahulu yang menonjol dalam berbagai bidang ilmu. Jika engkau melihat hal tersebut niscaya engkau akan tersibukkan dari mendendam orang lain.

4.    Mengkaji dan mengambil pelajaran dari perselisihan yang ada di kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka.
Jika engkau melihat perselisihan yang terjadi diantara mereka, engkau akan membawa orang yang menyelisihimu dalam keselamatan. Engkau tidak akan menuntut agar dia tunduk kepada pendapatmu. Engkau akan tahu bahwa jika engkau menuntutnya tunduk kepada pendapatmu, sama dengan engkau mengajak dia meninggalkan akal dan pemahamannya. Sama saja dengan mengajaknya taqlid kepadamu. Padahal taqlid adalah perbuatan yang haram dalam agama ini. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Isra: 36)
Serta dalil-dalil lainnya yang telah dipaparkan dalam kitab karangan Al-Imam Asy-Syaukani, Al-Qaulul Mufid fi Adillatil Ijtihad wat Taqlid.

5.    Melihat dan mengingat keadaan masyarakat serta bahaya yang mengancam mereka serta kejahilan yang ada pada kebanyakan mereka.
Jika engkau melihat masyarakat Islam niscaya engkau akan tersibukkan dari temanmu yang menyelisihimu. Engkau akan mendahulukan perkara terpenting kemudian yang penting setelahnya. Karena Nabi n ketika mengutus Muadz z ke Yaman berkata kepadanya:
فَلْيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Perkara pertama yang kau dakwahkan kepada mereka adalah agar mereka bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah l dan Muhammad adalah utusan Allah l.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Ibnu Abbas z) [Lihat Nashihati li Ahlis Sunnah hal. 11-13]
Wallahu a’lam.