(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
Pendahuluan
Ada pelajaran penuh hikmah dalam peristiwa hijrah ke Habasyah yang menjadi ibrah berharga. Untaian kisah yang dibawakan melalui rantaian perawi dari mereka yang mengalami peristiwa tersebut hingga masa ini. Al-Imam Ahmad bin Hanbal t mengeluarkannya dalam al-Musnad, karya besar beliau, dengan sanad yang sahih.
Kala itu para sahabat meninggalkan Makkah, tempat kelahiran dan tanah kampung halaman, demi melaksanakan seruan Allah l dan Rasul-Nya n. Secara diam-diam mereka akhirnya tiba di negeri Habasyah dengan penuh harap dapat menegakkan ajaran Islam. Ajaran yang dibawa oleh penutup para nabi dan rasul, Muhammad n. Namun, pernahkah Iblis mendiamkan kebaikan dan tidak mengganggunya? Adakah hamba yang hendak mencerminkan ketaatan dalam hidupnya lalu tidak diusik oleh bala tentaranya?
Utusan Quraisy datang menyusul ke Habasyah dan menghadap raja Najasyi. Setelah menyuap para pendeta, mereka melontarkan tuduhan-tuduhan keji terhadap kaum muslimin. Mereka memalsukan dan mengarang kedustaan di atas kedustaan agar Raja Najasyi berkenan mengembalikan kaum muslimin ke Makkah.
Dengan penuh keadilan dan penghormatan kepada tamu, Raja Najasyi memerintahkan agar kaum muslimin menghadap. Beliau ingin mendengar langsung jawaban kaum muslimin.
Setelah tiba, Raja Najasyi bertanya, “Ajaran apakah ini yang membuat kalian meninggalkan kaum kalian namun kalian juga tidak masuk ke dalam agamaku ataupun agama lain?”
Juru runding kaum muslimin, Ja’far bin Abi Thalib z, menjawab dengan penuh hikmah berdasarkan ilmu.
“Wahai Baginda Raja, kami dahulu adalah sebuah bangsa dalam kejahiliahan. Kami beribadah kepada berhala. Kami memakan bangkai, melakukan perbuatan-perbuatan keji, memutus tali silaturahim, menyakiti tetangga, dan orang kuat di antara kami memangsa yang lemah. Kami dalam keadaan demikian sampai Allah l mengutus kepada kami seorang rasul yang berasal dari kalangan kami sendiri. Kami telah mengenal nasab, kejujuran, amanah, dan kehormatannya. Rasul itu mengajak kami kepada Allah l, mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, meninggalkan peribadatan yang kami dan nenek moyang kami lakukan, seperti peribadatan kepada pepohonan dan patung berhala. Rasul itu mengajak kami untuk jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, menyambung tali silaturahim, bertetangga dengan baik, tidak melakukan hal-hal terlarang, dan menumpahkan darah. Rasul tersebut melarang kami melakukan perbuatan-perbuatan keji, berbicara dusta, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita yang baik. Rasul itu juga memerintahkan kami hanya beribadah kepada Allah l dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Beliau memerintahkan kami untuk shalat, zakat, puasa, dan hal-hal lain.
Kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti ajarannya. Kami beribadah hanya kepada Allah l saja, tidak mempersekutukan-Nya sedikit pun dengan apa pun. Kami mengharamkan hal-hal yang diharamkan olehnya, menghalalkan apa-apa yang dihalalkan olehnya. Setelah itu, kaum kami memusuhi kami. Mereka menyiksa dan mengganggu kami agar kami kembali kepada peribadatan patung berhala serta menghalalkan hal-hal buruk yang dulu pernah kami halalkan. Ketika mereka menekan, menzalimi, menyakiti kami, dan berusaha menghalangi dari keyakinan kami, kami pun keluar menuju negeri Anda. Kami memilih Anda daripada yang lain. Kami senang berada di samping Anda. Kami pun berharap tidak terzalimi di sisi Anda, wahai Baginda Raja.”
Raja lalu Najasyi bertanya, “Adakah sesuatu yang bisa engkau tunjukkan tentang ajaran rasul tersebut dari Allah?”
Ja’far z menjawab, “Ada.”
Berkatalah Najasyi, “Bacakanlah untukku!”
Ja’far z lalu membacakan awal surat Maryam. Raja Najasyi pun menangis hingga basah janggutnya. Menangis pula para pendeta di sampingnya sampai membasahi kitab-kitab mereka saat mendengar ayat-ayat yang dibacakan.”
Kisah ini dibawakan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sirah an-Nabawiyah.
Islam adalah Syariat Terbaik
Najasyi adalah seorang raja yang dianugerahi kearifan dan keadilan. Beliau dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah di kalangan penganut agama Nasrani. Beliau mengerti dan menguasai ayat-ayat yang disebutkan di dalam Injil dan Taurat. Dengan demikian, ketika beliau mendengar firman Allah l dalam Al-Qur’an yang dibacakan oleh Ja’far bin Abi Thalib z, beliau berkata, “Sungguh, demi Allah, apa yang engkau bacakan benar-benar berasal dari cahaya yang sama dengan yang dibawa oleh Musa.”
Untuk beliau pula diturunkan ayat ke-83 dari surah al-Maidah.
Al-Imam Ibnu Abi Hatim t meriwayatkan sebuah hadits dari Hisyam bin Urwah bahwa ayahnya, Abdullah bin az-Zubair c berkata, “Ayat ini diturunkan untuk Najasyi dan para pengikutnya:
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad n).” (al-Maidah: 83)
Tahun kesembilan hijriah pada saat Najasyi meninggalkan dunia fana, Rasulullah n mengajak segenap sahabat untuk keluar menuju lapangan di kota Madinah, guna melaksanakan shalat jenazah Najasyi secara gaib. Rasulullah n bersabda hari itu, “Hari ini telah meninggal dunia seorang laki-laki yang saleh. Bangkitlah dan dirikanlah shalat untuk saudara kalian, Ashamah.”
Demikianlah sikap seorang insan yang menghambakan dirinya kepada Dzat Pencipta. Ia tunduk mutlak kepada aturan-aturan Ilahi. Ketaatan dan kepatuhan yang utuh dalam melaksanakan setiap ketetapan syariat. Perintah-perintah dikerjakan, seluruh larangan ditinggalkan, dengan penuh keyakinan bahwa syariat Islam adalah syariat terbaik yang menutup sekaligus menghapuskan syariat-syariat sebelumnya. Tidak ada kebaikan melainkan Islam telah mengajarkannya dan setiap keburukan telah tuntas Islam memperingatkannya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menjelaskan firman Allah l dalam surat al-Maidah ayat ke-3 berkata, “Hal tersebut adalah nikmat Allah l yang terbesar bagi umat ini, karena Allah l telah menyempurnakan agama (Islam) untuk mereka. Mereka tidak lagi memerlukan agama selain Islam, tidak pula membutuhkan seorang nabi selain Nabi mereka (Muhammad n).
Oleh karena itulah, Allah l menjadikan Nabi Muhammad n sebagai penutup para nabi. Allah l mengutus beliau n kepada manusia dan jin. Tidak ada yang halal selain apa yang telah beliau halalkan. Tiada pula sesuatu yang haram melainkan apa yang telah beliau n haramkan. Tidak ada agama selain yang beliau n syariatkan. Segala yang beliau beritakan pastilah haq dan benar, tidak mengandung sedikit pun unsur kedustaan atau penyimpangan. Hal ini sebagaimana firman Allah l:
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur’an); kebenaran dan keadilannya.” (al-An’am: 115)
Maksud “telah sempurna kebenarannya” ialah kebenaran berita-beritanya. Adapun “sempurna keadilannya” adalah keadilan perintah dan larangannya. Saat agama ini telah sempurna bagi mereka, menjadi sempurnalah nikmat untuk mereka.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir terkait dengan ayat ini)
Pelajaran Berharga
Secara garis besar, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kisah di atas. Di antaranya adalah:
1. Dakwah para nabi dan rasul adalah dakwah tauhid.
Tujuan utamanya adalah mengajak dan menyeru umat manusia untuk menyerahkan ibadah dengan segala bentuknya hanya kepada Allah l. Konsekuensinya adalah meninggalkan seluruh bentuk peribadatan kepada selain Allah l serta berlepas diri dari orang-orang yang mempersekutukan Allah l dengan selain-Nya, dengan apa pun.
Ini terambil dari pernyataan Ja’far bin Abi Thalib z yang berulang kali menyebutkan ajaran tauhid sebagai misi utama Rasulullah n. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah n benar-benar menekankan tauhid dalam dakwahnya.
2. Sebagai bentuk kesempurnaan tauhid, setiap hamba diharuskan meninggalkan seluruh bentuk tradisi, adat-istiadat, dan ajaran yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyangnya, yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ini terambil dari pernyataan Ja’far bin Abi Thalib z kepada Najasyi, “Rasul itu mengajak kami kepada Allah l, mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, meninggalkan peribadatan yang kami dan nenek moyang kami lakukan, seperti peribadatan kepada pepohonan dan patung berhala.”
3. Ketundukan yang utuh dari seorang hamba dalam menerima kebenaran syariat Islam dan ketaatan penuh untuk meninggalkan keyakinan sebelumnya adalah amal besar.
Hanya orang-orang terpilih yang mampu melaksanakannya. Meskipun ia tergolong sebagai tokoh ataupun pembesar kaumnya, penerimaannya terhadap syariat Islam akan membuatnya semakin mulia di sisi Allah l.
Ini terambil dari keadaan pribadi Najasyi. Beliau adalah seorang raja yang beragama Nasrani. Ia terpandang sebagai orang pandai dan berilmu. Harta dan takhta beliau miliki. Namun, semua itu tidak menyebabkan beliau menolak kebenaran Islam. Akhirnya, kebaikan yang sempurnalah untuk Najasyi. Ia beriman dan tunduk kemudian meninggalkan dunia membawa iman. Semoga Allah l meridhainya.
4. Lemah lembut dan bersikap hikmah dalam upaya mengubah tradisi masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam mengubah tradisi dan adat masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam, seseorang dituntut untuk selalu mengedepankan rahmat dan hikmah. Tentunya, untuk mengubah kebiasaan dan tradisi yang telah mendarah daging dan diwariskan secara turun-temurun oleh tiap generasi membutuhkan sebuah proses. Di dalam setiap proses itulah dibutuhkan hikmah: meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ
“Sungguh, tidaklah sikap rifq (lemah lembut dan hikmah) terdapat pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya.” (HR. Muslim dari Aisyah x)
Pelajaran ini terambil dari perintah Rasulullah n untuk berhijrah ke Habasyah. Pada saat itu, Rasulullah n memilih untuk menghindari front terbuka dengan kaum musyrikin. Beliau n tidak berkenan melakukan perlawanan langsung secara fisik. Beliau n membimbing para sahabat untuk bersikap sabar dan rela meninggalkan kampung halaman beserta masyarakatnya. Semua keputusan beliau n selalu didasari oleh hikmah dan rahmat.
5. Kesiapan dan ketaatan hamba dalam menerima syariat Islam secara utuh dengan meninggalkan tradisi dan adat-istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, pasti mendatangkan berkah.
Pelajaran ini terambil dari sikap para sahabat. Dengan penuh keyakinan, mereka meninggalkan ajaran dan tradisi nenek moyang yang tidak selaras dengan ajaran Islam. Allah l pun mengaruniakan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada mereka. Allah l juga memberikan kekayaan, kemuliaan, kekuasaan, dan ketenangan untuk mereka.
Semoga Allah l memberikan jalan-jalan kemudahan dalam melaksanakan syariat-Nya.
Amin ya Arhamar Rahimin.