Meluruskan Praktik Bai’at

Dalam anggapan sebagian besar masyarakat, bai’at identik dengan kelompok sesat. Anggapan ini memang “tidak sepenuhnya salah” mengingat sebagian besar kelompok sempalan dalam Islam menjadikan bai’at sebagai “tiket” masuk ke dalam komunitas mereka. Lebih dari itu, ada kelompok yang menjadikan bai’at sebagai sekat yang memisahkan antara keislaman dan kekafiran seseorang. Yang tidak berbai’at berarti dia kafir, yang keluar dianggap murtad, dan seterusnya. Bai’at model inilah yang dianut oleh kelompok Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan Negara Islam Indonesia (NII) atau yang lebih dikenal dengan sebutan N sebelas.
Bahkan dalam kelompok NII atau lebih tepatnya NII KW IX -karena memang banyak versi tentang NII-, setiap anggota yang telah berbai’at dipaksa membayar uang hijrah atau penyucian jiwa. Setiap anggota juga dibebani beragam pungutan lain –yang tentu saja berkedok agama- yang jumlahnya cukup besar. Tak heran, jika banyak anggota NII yang sampai melakukan tindak pencurian, penipuan, atau memeras orang lain –bahkan orangtuanya sendiri- dengan doktrin bahwa uang atau harta tersebut merupakan harta Allah l yang harus direbut dari orang kafir, serta dianggap sebagai harta rampasan perang.
Alhasil, bai’at pun terkesan di kalangan masyarakat awam sebagai jerat yang mematikan. Terlebih, tak sedikit dari kaum muslimin yang ketika menyadari kekeliruannya, berusaha keluar, kemudian masih mendapat berbagai bentuk intimidasi dari bekas kelompoknya.
Tak cuma menjerat, bai’at juga memiliki andil besar dalam menanamkan fanatisme golongan. Setiap anggota kelompok biasanya dengan sukarela melaksanakan titah amir kelompok, benar ataupun salah dilihat dari kacamata syariat. Seperti yang nampak pada “syariat” sebagian kelompok NII yang penuh keganjilan seperti: tidak wajibnya shalat lima waktu dengan alasan belum futuh (fase Madinah), tidak mewajibkan menutup aurat bagi anggota wanitanya dengan alasan Kahfi, membolehkan bagi calon anggota untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam satu waktu, dsb.
Demikianlah  kala jeruji bai’at ini telah memagari syariat. Klaim-klaim bahwa kelompoknya yang paling benar dan paling Islami, tanpa menimbangnya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah yang akhirnya membayang. Syariat lantas tak lagi terdengar gaungnya, kandas menggampar dilipat bai’at. Bukan lagi kebenaran yang mereka cari namun justru pembenaran.
Maka, kesan jelek yang melekat pada bai’at inilah yang mesti diluruskan. Karena sebenarnya bai’at juga merupakan bagian dari syariat Islam. Asalkan memang dilakukan secara benar dan ditujukan sebagaimana dituntunkan syariat. Terlebih bai’at justru menjadi perkara yang memang diwajibkan.
Bai’at, dalam Islam, hanyalah ditujukan kepada penguasa (pemerintah), entah itu disebut raja, presiden, sultan, atau yang lainnya. Jadi meski ada yang mengaku bahwa bai’at kelompoknya “sekadar” bentuk komitmen, tidak terkait dengan kafir-mengkafirkan kelompok lain, namun selama bai’at tidak ditujukan kepada penguasa yang sah yang mempunyai wilayah kekuasaan yang jelas, maka bai’at tersebut tetaplah merupakan penyimpangan di dalam Islam. Apalagi sampai mengada-adakan rukun-rukun bai’at, yang mana hal itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah n, sebagaimana yang terjadi di bai’at kelompok Ikhwanul Muslimin.
Oleh karena itu, tak ada kata lain, mari kita retas belenggu bai’at yang menyimpang, kita luruskan praktik bai’at di tengah masyarakat kita!