Mendidik Anak dan Pemuda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ

“Ada tujuh golongan yang Allah subhanahu wa ta’ala naungi mereka dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah….” (HR. Muslim)

 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula memberikan nasihat khusus kepada para pemuda dengan menyerukan,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah memiliki kesanggupan hendaknya dia menikah. Siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa karena puasa itu tameng baginya.” (HR. al-Bukhari)

 

Pada kesempatan lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat tangan Amr ibnu Abi Salamah radhiallahu ‘anhuma, anak istri beliau yang dalam asuhan beliau, ke sana ke mari saat santap bersama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai bocah, ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang ada di dekatmu!” (HR. Muslim)

 

Kepada saudara sepupu yang saat itu masih kecil, yaitu Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat,

يَا غُلَامُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“Wahai bocah, aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat; Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu, jagalah Allah maka engkau akan dapati Dia dihadapanmu, jika engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau minta tolong, minta tolonglah kepada Allah!” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Hadits-hadits di atas menunjukkan perhatian dan bimbingan Islam kepada anak, baik yang masih kecil maupun yang remaja. Hal ini menjadi tugas utama orang tua, ayah dibantu oleh ibu, selaku pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban perihal anak-anak tersebut di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

Di antara hadits yang juga menunjukkan kewajiban orang tua mengajari dan mendidik anak-anak mereka adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مُرُوْا أَوْ دَالَكُمْ باِلصَّلاَةِ لِسَبْعٍ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Pukullah mereka bila tidak mau mengerjakan shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)

Hadits di atas menyebutkan ibadah shalat, namun tidak berarti pendidikan anak hanya sebatas pengajaran shalat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan shalat di dalam hadits tersebut karena ia adalah ibadah yang terpenting. Siapa yang menjaga shalatnya, niscaya ibadah yang selain shalat pun akan dia jaga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-Ankabut: 45)

Berilah anak-anak kalian arahan yang lurus. Didiklah mereka dengan baik. Jadikan diri kalian sebagai teladan yang baik bagi diri kalian sehingga mereka dapat meneladani kalian.

Bersihkan rumah-rumah kalian dari hal-hal yang tidak pantas. Hilangkan sarana yang mengantarkan kepada api kejelekan di dalam rumah sehingga menjadi “steril”. Artinya, hal-hal yang menjadi perantara menyimpangnya anak-anak kalian tidak boleh masuk ke dalamnya.

Para ayah menanggung amanat terkait urusan anak-anak mereka. Apabila orang tua dapat menunaikan kewajiban yang Allah subhanahu wa ta’ala bebankan kepada mereka, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan pahala kepada mereka.

Orang tua hendaknya menjadi sebab kebaikan bagi anak-anak mereka sehingga anak-anak bisa menjadi qurratu a’yun bagi mereka di dunia dan di akhirat. Kelak di dalam surga, jika anak-anak itu saleh karena usaha ayah mereka—dengan izin Allah—ketika hidup di dunia, Allah subhanahu wa ta’ala akan mengumpulkan mereka di tempat yang sama di dalam surga.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ

        “Orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Kami gabungkan anak keturunan mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.” (ath-Thur: 21)

Mendidik anak membutuhkan kesabaran dan kemauan menanggung kesulitan dari para orang tua. Ia membutuhkan kesungguhan total dari para orang tua. Terkhusus pada zaman ini, saat gelombang keburukan bergejolak dari segala arah. Gelombang keburukan tersebut mengakibatkan para pemuda menjadi seperti kambing-kambing di daerah yang dipenuhi hewan buas yang berbahaya.

Karena itu, para ayah harus mengupayakan agar anak-anak mereka tumbuh di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Para pendahulu terbaik umat ini, assalafus shalih, memberikan perhatian yang besar terhadap anak-anak mereka. Mereka membimbing anak-anak mereka untuk menghafal Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka serahkan anak-anak mereka kepada para guru dan pendidik yang saleh. Mereka rela mengorbankan harta dan waktu yang tidak sedikit untuk kepentingan pengarahan dan pengajaran anak-anak mereka. Semuanya demi buah yang baik di masa depan yang mereka harapkan akan dipetik.

Mereka tidak meninggalkan anak-anak mereka. Waktu luang, materi, dan masa muda anak-anak tersebut, tidaklah diabaikan (namun digunakan sebaik-baiknya). Sebab, semua itu berbahaya bagi anak-anak tersebut.

Seorang penyair mengatakan,

إِنَّ الشَّبَابَ وَالْفَرَاغَ وَالْجِدَةَ

مُفْسِدَةٌ لِلْمَرْءِ أَيَّ مَفْسَدَةٍ

“Sungguh masa muda, waktu luang, dan kekayaan, merusak seseorang dengan kuatnya.”

Apabila mereka memiliki waktu luang, kemudaan dan kekuatan, didukung kekayaan, semua ini merupakan sebab yang dapat merusak.

Karena itu, hati-hatilah dari hal tersebut. Sibukkan waktu mereka dengan perkara yang bermanfaat. Jagalah waktu mereka agar tidak berlalu sia-sia. Jangan memberikan harta yang banyak kepada mereka. Berilah mereka sesuai kebutuhan dan kecukupan mereka yang harus dipenuhi.

Wahai kaum muslimin, ketahuilah, orang-orang kafir menyusun makar untuk anak-anak kalian. Mereka membuat rencana untuk merusak para pemuda muslimin. Sebab, mereka tahu bahwa masyarakat muslimin tegak dengan para pemuda mereka.

Di antara para pemuda itu akan ada yang menjadi pemimpin, ada yang menjadi hakim, ada yang menjadi dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjadi mujahid fi sabilillah, apabila para pemuda tersebut saleh dan tetap istiqamah.

Orang-orang kafir menyadari pentingnya keberadaan pemuda muslimin tersebut. Karena itu, mereka mengarahkan sarana-sarana perusak dan penghancur kepada para pemuda.

Mereka berupaya mengubah metode pembelajaran di sekolah-sekolah, dari metode Islam menjadi metode kufur, metode di luar Islam. Mereka ingin memalingkan para pemuda muslimin dari jalan yang benar.

Mereka menguasai media massa: siaran radio, televisi, dan surat kabar, untuk dijadikan sarana penyebaran kerusakan yang dapat mengubah akidah atau keyakinan para pemuda muslimin.

Orang-orang kafir memasukkan candu-candu dan minuman yang memabukkan kepada para pemuda, untuk melemahkan tubuh dan akal mereka. Jadilah para pemuda ini sebagai alat perusak dan penghancur di tengah masyarakat atau menjadi beban hidup bagi orang lain.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          مَّا يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَلَا ٱلۡمُشۡرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ خَيۡرٖ مِّن رَّبِّكُمۡۚ

        “Orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidaklah menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian.” (al-Baqarah: 105)

          وَدُّواْ لَوۡ تَكۡفُرُونَ كَمَا كَفَرُواْ فَتَكُونُونَ سَوَآءٗۖ

        “Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka kafir, sehingga samalah kalian dengan mereka.” (an-Nisa’: 89)

Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan kalian dari musuh-musuh kalian,

          إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ لِيَصُدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ فَسَيُنفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيۡهِمۡ حَسۡرَةٗ ثُمَّ يُغۡلَبُونَۗ

        “Sesungguhnya orang-orang kafir itu membelanjakan harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah. Mereka akan membelanjakan harta tersebut, kemudian akan menjadi penyesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan.” (al-Anfal: 36)

Orang-orang kafir itu akan menyesal dan akan kalah menurut ayat di atas. Akan tetapi, kapankah hal tersebut terjadi?

Itu akan terjadi saat kaum muslimin bangkit menghadapi mereka dengan berjihad yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, menentang kebatilan mereka, dan mewaspadai bahaya mereka.

Apabila kaum muslimin tunduk terhadap musuh-musuh tersebut, mengikuti dan berloyalitas kepada mereka, niscaya mereka akan mengawal kaum muslimin menuju neraka guna menemani mereka di sana.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لَكُمۡ عَدُوّٞ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّاۚ إِنَّمَا يَدۡعُواْ حِزۡبَهُۥ لِيَكُونُواْ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ ٦

        “Sesungguhnya setan-setan itu hanyalah mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Hendaknya kita menyadari bahwa anak-anak kaum muslimin kelak akan menjadi tiang penyangga dan kekuatan masa depan dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, apabila mereka tumbuh sebagai pribadi yang saleh. Mereka akan menjadi pengganti kalian sepeninggal kalian untuk mengurusi harta dan peninggalan kalian, termasuk mengurusi adik-adiknya yang masih kecil.

Jika bertakwa, tentu mereka akan dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik dan menjadi penerus kehidupan ayah mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ، انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَ ثَالٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحِ يَدْعُو لَهُ

        “Jika anak Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Sebagai penutup, kita tekankan kepada para orang tua agar bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan meneladani assalafus salih dalam mendidik anak-anak mereka. Dahulu, para salaf sangat perhatian terhadap urusan anak-anak mereka. Mereka mendidik anak-anak mereka dengan tarbiyah yang baik dan arahan yang lurus.

Satu contoh seperti yang diberitakan oleh al-Imam Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah, “Mereka (para orang tua dan pendidik dari kalangan salaf) memukul (sebagai pukulan pendidikan) kami apabila bermudah-mudah memberikan persaksian dan berjanji, padahal kami masih kecil.”

Jika mereka mendengar anak kecil bersumpah, mereka memukulnya agar si anak terdidik untuk mengagungkan urusan sumpah dengan nama Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi sifat dusta (bersumpah palsu).

Apabila anak kecil bermudah-mudah bersaksi tanpa dimintai persaksiannya, mereka memukulnya, agar si anak mendapat peringatan dan jera dari bersaksi palsu dan dusta.

Mereka tidak beralasan, “Anak ini masih kecil, biarkan. Jangan disalahkan, jangan dimarahi!”, atau kalimat semisalnya.

Sebab, anak kecil itu akan tumbuh di atas kebiasaan yang dia lakukan. Si anak akan tumbuh bersama akhlak yang dibiasakan atasnya, akhlak yang baik ataupun yang buruk.

Janganlah kalian menganggap enteng urusan anak-anak kalian dengan beralasan bahwa mereka masih kecil.

Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kalian untuk menyuruh anak-anak kalian shalat pada saat mereka masih berusia 7 tahun? Padahal mereka belum baligh. Mereka masih kecil, belum diwajibkan shalat.

Akan tetapi, mereka diperintah shalat dengan tujuan menumbuhkan mereka di atas ibadah dan membiasakannya. Dengan begitu,mereka tahu pentingnya ibadah shalat. Diharapkan saat baligh nanti mereka merasa mudah mengerjakannya, karena sudah terbiasa dan dibiasakan sejak kecil.

Kesungguhan salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka semua, tampak sekali dari buah yang dihasilkan dan yang mereka petik dari anak-anak tersebut.

Kisah mereka terukir dengan tinta emas sejarah yang bisa terus dibaca sampai hari ini.

Di antara anak-anak generasi salaf tersebut ada yang tumbuh menjadi panglima yang membuka negeri-negeri di penjuru barat dan timur bumi, seperti Khalid ibnul Walid, al-Mutsanna ibnul Haritsah, Usamah ibnu Zaid, Muhammad ats-Tsaqafi, dan selain mereka.

Mereka semua memimpin pasukan dalam keadaan usia mereka masih belia. Mereka berhasil menaklukkan negeri-negeri kafir untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Mengapa bisa demikian? Karena mereka diarahkan dengan bimbingan yang lurus dan tumbuh dengan saleh berkat taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala. Terkumpul pada diri anak-anak muda tersebut kekuatan pemuda dan kekuatan iman.

Di antara generasi muda salaf ada yang menjadi fuqaha besar, yang tidak pernah didapati yang semisal mereka di kalangan umat.

Di antara mereka ada yang menjadi hakim yang menjadi permisalan atau teladan yang agung dalam hal keadilan saat memberi keputusan dan hukum di antara manusia.

Ada pula di antara mereka yang menjadi dai ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Melalui tangan mereka, banyak penduduk di berbagai belahan bumi, baik dari kalangan Arab maupun non-Arab, yang mendapatkan hidayah.

Semua itu tercapai dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian berkat kesungguhan para pemuda yang saleh, yang tercetak dari tarbiyah yang saleh.

Allah subhanahu wa ta’ala memberi kekuatan fisik, kekuatan berpikir dan menalar kepada mereka. Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, mereka akan menjelma menjadi kekuatan yang tidak tertandingi di tangan kaum muslimin.

Namun, sayang seribu sayang….

Di antara anak-anak muda tersebut dipermainkan oleh syahwat, candu, minuman yang memabukkan, dan serbaboleh (tidak peduli aturan agama).

Mereka duduk tekun di depan televisi, bioskop, teater, bermain game, dan terus terikat dengan sarana-sarana penghancur mereka. Jika sudah telanjur demikian, apa gerangan yang bisa diharapkan dari mereka?

Hanya Allah subhanahu wa ta’ala tempat mengadu dan Dia satu-satu-Nya yang dimintai pertolongan.

(Lihat al-Khuthab al-Mimbariyah fi al-Munasabat al-Ashriyah, 5/177—183, oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah, dialihbahasakan Ummu Ishaq al-Atsariyah dengan beberapa perubahan)