Melatih Anak Berpuasa

melatih anak puasa

Anak yang belum balig memang tidak memiliki kewajiban untuk berpuasa Ramadhan. Namun, tentu tidak ada salahnya apabila para orang tua mulai melatih mereka untuk berpuasa. Latihan ini insya Allah akan memberi banyak manfaat pada diri anak.

Ramadhan telah tiba kembali. Seluruh kaum muslimin menyongsong bulan ini dengan penuh kerinduan dan merenda harapan, semoga mendapatkan pahala yang berlipat dalam segala kebaikan yang ditunaikan. Mereka bersemangat menyambut perintah Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Anak-anak kecil pun tak luput dari kegembiraan ini. Mereka berlomba-lomba berpuasa. Orang tua pun turut mendorong mereka untuk menunaikan ibadah ini. Bahkan, terkadang dengan iming-iming hadiah apabila anak menyelesaikan puasa hingga Ramadhan berakhir.

Para Sahabat Melatih Anak Berpuasa

Namun, bagaimana yang dilakukan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap anak-anak mereka yang belum balig saat menghadapi perintah puasa? Adakah di antara mereka yang menyuruh anak-anak mereka berpuasa sebagaimana yang banyak dilakukan kaum muslimin sekarang ini?

Dikisahkan oleh seorang sahabiyah, ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu anha, tentang hal ini. Ketika itu, datang perintah puasa Asyura, puasa wajib sebelum difardukannya puasa Ramadhan.

أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى اْلأَنْصَارِ: مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ. قَالَ: فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ. فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari Asyura ke kampung-kampung Anshar untuk memerintahkan, ‘Barang siapa yang pagi hari itu dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah dia menyempurnakan hari itu dengan puasa. Barang siapa yang pagi itu berpuasa, hendaklah melanjutkan puasanya.’

Kami pun menunaikan puasa Asyura setelah itu. Kami menyuruh anak-anak kami berpuasa. Kami membuatkan mainan dari wol untuk mereka. Apabila mereka menangis karena meminta makanan, kami berikan mainan itu. Demikian hingga tiba waktu berbuka.” (HR. al-Bukhari, “Kitab ash-Shaum”, “Bab Shaum ash-Shibyan” no. 1961; dan Muslim, “Kitab ash-Shiyam”, “Bab Man Akala fi ‘Asyura’ falyakuffa Baqiyyata Yaumihi” no. 1136)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa dalam hadits ini terdapat hujah disyariatkannya melatih anak-anak berpuasa. Sebab, siapa pun termasuk usia kanak-kanak sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, belum mukallaf (dibebani pelaksanaan syariat). Namun, perintah berpuasa itu semata sebagai latihan. (Fathul Bari, 4/257)

An-Nawawi rahimahullah juga menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan adanya latihan bagi anak-anak untuk melaksanakan ketaatan dan membiasakan mereka untuk beribadah, meskipun mereka bukan mukallaf. Al-Qadhi mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari ‘Urwah, ketika anak-anak mampu berpuasa, mereka wajib berpuasa. Ini adalah pendapat yang keliru yang terbantah dengan hadits sahih,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ. وَفِي رِوَايَةٍ: يَبْلُغَ

“Pena (catatan amalan) diangkat dari tiga golongan, … (di antaranya) dari anak kecil sampai dia ihtilam[1].” Dalam riwayat yang lain, “Hingga dia balig.”

Wallahu a’lam. (al-Minhaj, 8/13)

Usia Berapa Anak Dilatih Berpuasa?

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan usia seorang anak mulai dilatih untuk berpuasa.

  • Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan disenanginya memerintah anak-anak berpuasa untuk melatih mereka apabila mereka mampu. Yang berpendapat seperti ini adalah sekelompok salaf: Ibnu Sirin, az-Zuhri, dan asy-Syafi’i dan yang lainnya.
  • Murid-murid Imam asy-Syafi’i berselisih dalam hal batasan usia seorang anak mulai diperintahkan untuk puasa. Ada yang berpendapat 7 tahun. Ada pula yang berpendapat 10 tahun dan ini pendapat yang dipegangi oleh Imam Ahmad. Ada pula yang berpendapat 12 tahun, seperti Ishaq.
  • Sementara itu, Imam al-Auza’i berpendapat, apabila seorang anak mampu berpuasa tiga hari berturut-turut dan tidak menjadi lemah karena puasanya, dia diperintahkan untuk berpuasa.
  • Pendapat yang masyhur dari kalangan ulama mazhab Maliki, puasa tidaklah disyariatkan pada anak-anak. Namun, pendapat ini terbantah oleh hadits di atas. Sebab, sungguh sangat tidak mungkin Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui hal ini. (Nailul Authar, 4/250—251)

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya,

Apakah anak-anak kecil di bawah usia lima belas tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana mereka diperintah shalat?

Beliau rahimahullah menjawab,

“Ya. Anak-anak yang belum mencapai balig diperintahkan untuk berpuasa apabila mereka mampu. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu anhum terhadap anak-anak mereka.

Para ulama telah menyatakan, wali memerintah anak-anak yang ada di bawah perwaliannya untuk berpuasa agar mereka terlatih dan terbiasa melakukannya. Demikian juga agar pokok-pokok agama Islam pun terbentuk dalam jiwa mereka sehingga menjadi tabiat pada diri mereka. Akan tetapi, apabila hal ini berat atau membahayakan mereka, mereka tidak diharuskan berpuasa.

Saya juga ingin memperingatkan suatu permasalahan yang dilakukan oleh beberapa ayah atau ibu, yaitu melarang anak-anak mereka berpuasa. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu anhum. Sebagian orang tua itu beranggapan, mereka melarang anak-anak berpuasa karena rasa sayang dan iba terhadap anak-anak. Realitasnya, kasih sayang terhadap anak-anak itu dilakukan justru dengan memerintah mereka melaksanakan syariat Islam dan membiasakan mereka melakukannya. Tidak diragukan lagi, hal ini merupakan pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna.

Telah sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ رَاعٍ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Sesungguhnya seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”[2]

Jadi, para wali hendaklah bertakwa kepada Allah dalam mengurusi orang yang Allah jadikan di bawah perwaliannya, baik keluarga maupun anak-anak kecil. Hendaklah para wali memerintah mereka untuk melaksanakan segala syariat Islam yang diperintahkan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, 19/83—84)

Berkaitan dengan hal ini, ada satu catatan penting yang diberikan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Beliau pernah ditanya tentang:

seorang anak kecil yang ingin terus menunaikan puasa, sementara orang tuanya khawatir karena usianya yang masih kecil. Orang tua juga khawatir kalua berpuasa akan mengganggu kesehatan anaknya.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Apabila dia masih kecil dan belum balig, tidak diharuskan berpuasa. Akan tetapi, jika dia mampu dan tidak merasa berat, dia diperintahkan berpuasa. Dahulu para sahabat menyuruh anak-anak mereka berpuasa. Sampai-sampai, jika ada di antara anak-anak itu menangis, mereka memberikan mainan agar mereka lupa.

Namun, jika hal ini benar-benar membahayakan anak, orang tua boleh melarangnya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita memberikan harta milik anak-anak kepada mereka karena khawatir rusaknya harta tersebut. Tentu saja, kekhawatiran akan bahaya yang menimpa badan lebih utama untuk dicegah. Akan tetapi, larangan tersebut bukan dengan cara yang keras. Sebab, hal ini tidak layak dilakukan terhadap anak-anak pada saat mendidik mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, 19/83)

Demikian yang dapat terbaca dari teladan para sahabat radhiyallahu anhum saat menyongsong perintah berpuasa. Mereka mendorong anak-anak mereka untuk melaksanakan syariat Allah yang mulia hingga syariat Allah tertancap kuat dalam diri mereka.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


[1]  Ihtilam yang dimaksud adalah balig.

[2] HR. al-Bukhari, “Kitab al-Jumu’ah”, “Bab al-Jumu’ah fil Qura wal Mudun” no. 893; dan Muslim, “Kitab al-Imarah”, “Bab Fadhilatil Imamil ‘Adil wa ‘Uqubatil Ja`ir” no. 1829.

 

Ditulis oleh Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran