Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan

kesalahan-kesalahan di bulan Ramadhan

Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Jadi, bisa dibayangkan, amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut berupaya menguraikan beberapa kesalahan terkait dengan amalan pada bulan Ramadan. Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika didiamkan terlebih ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam, lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan.

Penggunaan Hisab dalam Menentukan Awal Hijriah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriah dalam hadits-haditsnya. Di antaranya, hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Ramadan. Beliau mengatakan, “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawal, -pent.) hingga kalian melihatnya. Apabila kalian tertutup oleh awan, hitunglah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim maupun yang lain.

Sabda beliau,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

“Apabila kalian tertutup oleh awan, hitunglah”, menurut mayoritas ulama bermazhab Hanbali, maksudnya ialah untuk membedakan antara kondisi cerah dan berawan. Jadi, didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah. Adapun saat mendung, memiliki hukum yang lain.

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya, “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi tiga puluh (hari).” Yang menguatkan penafsiran ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu,

فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

“… maka sempurnakan jumlah menjadi tiga puluh,” dan riwayat yang semakna.

Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah hadits juga.

Bahkan, ad-Daraquthni rahimahullah meriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha dan menilainya sahih, demikian pula Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam Shahih-nya,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena rukyat bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) tiga puluh hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)

Oleh karena itu, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.

أَتَسۡتَبۡدِلُونَ ٱلَّذِي هُوَ أَدۡنَىٰ بِٱلَّذِي هُوَ خَيۡرٌۚ

“Apakah kalian akan mengganti sesuatu yang lebih rendah dari yang lebih baik?” (al-Baqarah: 61)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Tidak ada seorang pun yang memberat-beratkan diri dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka dari itu, berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah, dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabul Iman”, “Bab ad-Dinu Yusrun”)

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Kerajaan Saudi Arabia,

“Apakah seorang boleh mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan rukyah (melihat) hilal?”

Jawab:

“Allah subhanahu wa ta’ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Hijriah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, bahwa rukyah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin pada bulan Ramadan dan berbuka dengan melihat hilal Syawal. Demikian juga dalam menetapkan Idul Adha dan hari Arafah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُ

‘Barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan, hendaklah dia berpuasa.’ (al-Baqarah: 185)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ

Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, ‘Itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.’ (al-Baqarah: 189)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، ثُمَّ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوَا لَهُ ثَلَاثِينَ

‘Jika kalian melihatnya, puasalah kalian. Jika kalian melihatnya, berbukalah kalian. Namun, jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi tiga puluh.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadan. Demikian pula halnya berbuka (mengakhiri Ramadan), dengan melihat hilal Syawal. Sama sekali beliau tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk bulan, -pent.). Hal ini diamalkan sejak zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Khulafaur Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Hijriah dengan merujuk pada ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa rukyah adalah bid’ah. Tidak ada kebaikan dan tidak ada landasannya dalam syariat….”

(Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdurrazaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata tentang hisab, “Tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)

Mengawali Puasa Berdasarkan Kalender

Ada sebuah pertanyaan,

“Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada rukyah hilal. Mereka merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?”

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab,

“Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk ‘berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal. Jika tertutup oleh awan, hendaklah mereka menyempurnakan jumlahnya menjadi tiga puluh.’ (Muttafaqun alaihi)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya),

‘Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.’ Beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan, ‘Bulan itu begini, begini, dan begini.’ Beliau mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya. Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari).

Telah disebutkan pula dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),

‘Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan, hendaklah menyempurnakan Sya’ban menjadi tiga puluh (hari).’

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya),

‘Jangan kalian berpuasa hingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlahnya. Jangan pula kalian berbuka hingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlahnya.’

Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan rukyah, atau menggenapkannya jika tidak rukyah tidak mungkin dilakukan. Hal ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.

Ibnu Taimiyah rahimahullah[1] telah menyebutkan ijmak para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal. Inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Allah-lah yang memberi taufik. (Fatawa Shiyam, hlm. 5—6)

Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah Edisi 03 (Edisi Khusus Ramadhan, 2004).

Imsak Sebelum Waktunya

Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti makan, minum, dan segala pembatal saat sahur.

Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti? Ketika azan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni azan pertama sebelum masuknya subuh? Sebab, banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua azan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan,

“Masalah ini, banyak orang (meyakini) bahwa makan pada malam hari pada saat puasa diharamkan sejak azan pertama[2] (yakni sebelum masuknya waktu subuh). Azan ini mereka sebut sebagai azan imsak. Hal ini tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan dalam satu mazhab pun dari mazhab para imam yang empat.

Mereka semua justru sepakat bahwa azan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah azan yang kedua, yakni azan masuk waktu subuh. Dengan azan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa.

Adapun azan pertama yang kemudian disebut azan imsak, pengistilahan ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan hadits. Adapun Al-Qur`an, Rabb kita berfirman—kalian telah mendengar ayat tersebut berulang-ulang,

وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖجِّۗ

‘Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.’ (al-Baqarah: 187)

Ini merupakan dalil yang tegas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun pada malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada azan yang secara syariat menjadi pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Beliau mengatakan,

‘Janganlah kalian terkecoh oleh azan Bilal. Sebab, Bilal azan pada waktu malam.’[3]

Dalam hadits yang lain di luar riwayat al-Bukhari dan Muslim,

‘Janganlah kalian terkecoh oleh azan Bilal. Sebab, Bilal azan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan azan[4]…’.” (Fatawa asy-Syaikh al-Albani, hlm. 344—345)

Ibnu Hajar (salah satu ulama besar mazhab Syafii) dalam Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan, beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.

Oleh karena itu, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita. Mari kita selaraskan dengan ajaran Nabi kita. Kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)?

Sahur Tengah Malam

Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur pada tengah malam. Selain tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, hal ini juga bertentangan dengan maksud sahur itu sendiri, yaitu membantu orang yang berpuasa untuk menunaikannya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Sahih, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1773)

Dari Abu Athiyah, ia mengatakan,

“Aku katakan kepada Aisyah, ‘Ada dua orang di antara kami. Salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Adapun yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur.”

Aisyah mengatakan, “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?”

Aku menjawab, “Abdullah bin Mas’ud.”

Aisyah lalu mengatakan, “Demikianlah dahulu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. at-Tirmidzi, “Kitabush Shiyam”, “Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar”, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan, “Haditsnya hasan sahih.”)

At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan sahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunahkan untuk mengakhirkan sahur.” (“Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur”)

Di antara kesalahan yang lain adalah,

  • Mengakhirkan azan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiat. (Mu’jamul Bida’, hlm. 268)

  • Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka.

Imam asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hlm. 268)

  • Bersedekah atas nama roh orang yang telah meninggal, pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadan. (Ahkamul Janaiz, hlm. 257, Mu’jamul Bida’, hlm. 269)

Masih banyak lagi kesalahan lain, yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.

Wallahu a’lam bish-shawab.


[1] Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179).

[2] Di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain azan, seperti sirine, petasan, atau lainnya, yang tidak ada dasar syariatnya sama sekali.

[3] Yakni sebelum masuk waktu subuh.

[4] Karena Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan setelah masuk waktu subuh.

 

Ditulis oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.