Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan

dunia sebagai ujian

Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbeda-beda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut, Allah menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah. Itulah sunnatullah yang tidak akan berganti.

Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini. Dunia adalah perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar?

Cermati, lihat, dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir. Ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan.

Dunia telah memikat, menjerat, membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki-laki yang akan berbuat baik kepada dirinya. Namun, dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu.

Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53)

Allah Mencela Dunia

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ

“Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.” (Ali Imran: 185)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ فَأَصۡبَحَ هَشِيمًا تَذۡرُوهُ ٱلرِّيَٰحُۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ مُّقۡتَدِرًا ٤٥ ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيۡرٌ أَمَلًا ٤٦

“Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَ‍َٔابِ ١٤ ۞قُلۡ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيۡرٍ مِّن ذَٰلِكُمۡۖ لِلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّٰتٌ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَأَزۡوَٰجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضۡوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (jannah/ surga).

Katakanlah, ‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik daripada itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran: 14—15)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٌ وَلَهۡوٌۖ وَلَلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

“Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh, kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا مَثَلُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ مِمَّا يَأۡكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلۡأَنۡعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَخَذَتِ ٱلۡأَرۡضُ زُخۡرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتۡ وَظَنَّ أَهۡلُهَآ أَنَّهُمۡ قَٰدِرُونَ عَلَيۡهَآ أَتَىٰهَآ أَمۡرُنَا لَيۡلًا أَوۡ نَهَارًا فَجَعَلۡنَٰهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمۡ تَغۡنَ بِٱلۡأَمۡسِۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami di waktu malam atau siang. Kemudian Kami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orang yang berpikir.” (Yunus: 24)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَهۡوٌ وَلَعِبٌۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ لَهِيَ ٱلۡحَيَوَانُۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ

“Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-Ankabut: 64)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقٌّۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ

“Sesungguhnya janji-janji Allah itu benar. Maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian di jalan Allah.” (Luqman: 33)

Ketika membahas tafsir surah al-Fath, as-Sa’di menerangkan,

“Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia. Allah memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati.

Seorang hamba senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya.

Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790)

Rasulullah Mencela Dunia

Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil.

Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?”

Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?”

Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?”

Mereka berkata, “Jika dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?”

Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang). Sungguh, Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain di dunia ini. Lantas Dia akan melihat apa yang kalian perbuat (dengan dunia itu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita. Sebab, awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam hal wanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ-فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ؟

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorang perawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaklah dia melihat apa yang ada di jarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al-Mustaurid radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu mengisahkan,

نَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ لَوِ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا.

Rasulullah tidur di atas sebuah tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan, “Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda, “Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh di bawah pohon kemudian pergi meninggalkannya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan pada agamanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu)

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci-Nya dalam rangka menghinakannya. Demikian pula Rasul-Nya dalam as-Sunnah. Tentu, tujuannya ialah agar para hamba tidak tertipu dan terlena.

Sikap Manusia terhadap Peringatan Allah

Dalam hal menanggapi berita dari Allah subhanahu wa ta’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.

1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut.

Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan cita-citanya tercapai.

2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya.

Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

3. Golongan yang mendengar, mematuhi, dan melaksanakan segala yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia.

Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu.

Dunia, Sumber Malapetaka

Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah. Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Dunia pula yang menghancurkan persatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan. Dengan sebab itu, mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah. Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus.

Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran. Dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.

Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran

Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia.

Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia, mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, dan mencari kedudukan. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.” (al-Ahzab: 72)

Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.

Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya. Sebabnya adalah ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran.

Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata,

“Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbangga-bangga, bermegah-megah, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorang berpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun “menyerangnya”. Dia juga membenci kedustaan dan perbuatan zalim.” (Majmu’ al-Fatawa 10/600)

Al-’Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran,

“Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail 2/650)

Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya. Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.

Dunia, Sebab Utama Kesesatan

Saat menafsirkan firman Allah,

وَلَا تَشۡتَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِي ثَمَنًا قَلِيلًا و

“Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)

Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata,

“Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah. Akhirnya, mereka mengubah ciri-ciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, -red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22)

Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau.

Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?”

Abu Jahl berkata, “Hai anak saudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu, setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”

Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?”

Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah 1/93)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah, melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan.

Jadi, asal muasal cintanya adalah karena kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai daripada anak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra 6/244)

Asy-Syaukani berkata,

“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya, baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah-tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabu ath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)

Imam Ibnu Qayyim berkata,

“Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran di hadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’

Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan. Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal Al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’

Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin? Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’

Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’

Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orang Yahudi saat mendustakan Nabi Isa. Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir. Bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’

Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’

Diapun terdiam.” (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara hlm. 12)

Ditulis oleh Ustadz Abu Usamah Abdurrahman