Adab Ketika Sakit

Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat hikmah dan keadilan-Nya menimpakan berbagai ujian dan cobaan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman pada khususnya, dan seluruh makhluk pada umumnya.

Di antara bentuk ujian dan cobaan itu adalah adanya berbagai jenis penyakit pada zaman ini, karena kemaksiatan dan kedurhakaan umat terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)

Baca juga: Sebab Musibah Menimpa

Sakit dalam Pandangan Seorang Muslim

Islam adalah agama yang sempurna. Ia menuntut pemeluknya agar tetap menjaga keimanannya dan status dirinya sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

Seorang muslim akan memandang berbagai penyakit itu sebagai:

  1. Ujian dan cobaan dari Allah

Allah berfirman,

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

“Dzat yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)

كُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةً وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya: 35)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini,

“Kami menguji kalian, terkadang dengan berbagai musibah dan terkadang dengan berbagai kenikmatan. Kami akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur (terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta’ala), siapa yang sabar dan siapa yang putus asa (dari rahmat-Nya). Hal ini sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ‘Kami akan menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan, maksudnya ialah dengan kesempitan dan kelapangan hidup, dengan kesehatan dan sakit, dengan kekayaan dan kemiskinan, dengan halal dan haram, dengan ketaatan dan kemaksiatan, dengan petunjuk dan kesesatan; kemudian Kami akan membalas amalan-amalan kalian’.”

Baca juga: Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian

Ujian dan cobaan akan datang silih berganti hingga datangnya kematian. Allah berfirman,

أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَأۡتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلِكُمۖ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?” (al-Baqarah: 214)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Ujian yang akan datang adalah) berbagai penyakit, sakit, musibah, dan cobaan-cobaan lainnya.”

Apabila demikian, sikap seorang muslim tatkala menghadapi berbagai ujian dan cobaan adalah senantiasa berusaha sabar, ikhlas, dan mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim juga terus-menerus memohon pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala sehingga dia tidak marah dan murka terhadap takdir yang menimpa dirinya, tidak pula putus asa dari rahmat-Nya.

  1. Penghapus dosa

Seandainya setiap dosa dan kesalahan yang kita lakukan mesti dibalas tanpa ada magfirah (ampunan)-Nya ataupun penghapus dosa yang lain, siapakah di antara kita yang selamat dari kemurkaan Allah? Karena itu, termasuk hikmah dan keadilan Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Dia menjadikan berbagai ujian dan cobaan itu sebagai penghapus dosa-dosa kita.

Allah berfirman,

إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِۚ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114)

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang muslim suatu kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)

Baca juga: Hikmah di Balik Musibah

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94),

“Apabila engkau ditimpa musibah, janganlah engkau berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu—sampai pun duri yang mengenai dirimu—akan berlalu tanpa arti. Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantinya dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan dosa-dosamu dengan sebab itu, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Jadi, apabila musibah itu terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu:

  1. mengingat pahala dan mengharapkannya; dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu penghapusan dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).
  2. lupa (terhadap janji Allah); akan sesaklah dadanya sekaligus membuatnya lupa terhadap niat mendapatkan pahala dari-Nya.

Berdasarkan penjelasan ini, ada dua pilihan bagi seseorang yang tertimpa musibah:

1) beruntung dengan mendapatkan penghapus dosa dan tambahan kebaikan, atau

2) merugi, tidak mendapatkan kebaikan, justru mendapatkan murka Allah karena dia marah dan tidak sabar atas takdir tersebut.”

  1. Kesehatan adalah nikmat Allah yang sering dilupakan.

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ

“Dua kenikmatan yang kebanyakan orang terlupa darinya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari)

Betapa banyak orang yang menyadari keberadaan nikmat kesehatan ini setelah dia jatuh sakit. Dengan demikian, musibah sakit tersebut menjadi peringatan yang berharga baginya. Setelah itu, dia banyak bersyukur atas nikmat Allah subhanahu wa ta’ala tersebut. Itulah golongan yang beruntung.

Adab Syariat ketika Sakit

Di antara bukti kesempurnaan Islam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuntunkan adab-adab yang baik ketika seorang hamba sakit. Jadi, dalam keadaan sakit sekalipun, seorang muslim masih bisa mewujudkan penghambaan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Di antara adab-adab tersebut adalah:

  1. Sabar dan ridha atas ketentuan Allah, serta berbaik sangka kepada-Nya.

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ

“Sungguh, menakjubkan urusan orang yang beriman. Sesungguhnya semua urusannya baik baginya, dan sikap ini tidak dimiliki kecuali oleh orang yang mukmin. Apabila kelapangan hidup dia dapatkan, dia bersyukur; hal itu kebaikan baginya. Apabila kesempitan hidup menimpanya, dia bersabar; hal itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)

Baca juga: Pelipur Lara Saat Musibah dan Bencana

Dari Jabir radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. Muslim)

  1. Berobat dengan cara-cara yang sunnah atau mubah dan tidak bertentangan dengan syariat.

Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiallahu anhu secara marfu’,

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya, Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka dari itu, berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. ad-Daulabi. Syaikh al-Albani menyatakan sanad hadits ini hasan. Lihat ash-Shahihah no. 1633)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit pun kecuali Dia turunkan pula obatnya. Hal itu akan diketahui oleh orang-orang yang tahu dan tidak akan diketahui oleh orang yang tidak tahu.” (HR. al-Bukhari; diriwayatkan juga oleh Muslim dari Jabir radhiallahu anhu)

Baca juga: Di Antara Sebab Wabah & Musibah Adalah Dosa & Maksiat

Di antara bentuk pengobatan yang sunnah adalah:

  • Madu dan berbekam

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ: شُرْبَةِ عَسَلٍ، وَشِرْطَةِ مُحَجِّمٍ، وَكَيَّةِ نَارٍ، وَأَنَا أَنْهَى عَنِ الْكَيِّ –وَفِي رِوَايَةٍ: وَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِي

“Obat itu ada pada tiga hal: minum madu, goresan bekam, dan kay[1] dengan api, tetapi aku melarang kay.” (HR. al-Bukhari)

Dalam riwayat lain, “Aku tidak senang berobat dengan kay.”

  • Habbatus sauda (jintan hitam)

Dari Usamah bin Syarik radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْحَبَّةُ السَّوْدَاءُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَ السَّامَ

“Habbatus sauda (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit, kecuali kematian.” (HR. ath-Thabarani; Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa sanadnya hasan, dan hadits ini punya banyak syawahid/pendukung)

  • Kurma ajwah

Dari Aisyah radhiallahu anha, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

فِي عَجْوَةِ الْعَالِيَةِ أَوَّلُ الْبُكْرَةِ عَلىَ رِيْقِ النَّفَسِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سِحْرٍ أَوْ سُمٍّ

“Pada kurma ajwah aliyah yang dimakan pada awal pagi (sebelum makan yang lain) ada obat bagi semua sihir atau racun.” (HR. Ahmad. Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini sanadnya jayyid [bagus]. Lihat ash-Shahihah no. 2000)

  • Ruqyah

Ruqyah adalah membacakan surah dan ayat-ayat Al-Qur’an, atau doa-doa yang tidak mengandung kesyirikan, kepada orang yang sakit. Ia bisa dilakukan sendiri atau oleh orang lain.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحۡمَةٌ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (al-Isra: 82)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkata,

“Al-Qur’an mengandung syifa (obat) dan rahmat. Namun, kandungan tersebut tidak berlaku untuk setiap orang, tetapi hanya bagi orang yang mengimaninya, membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya. Adapun orang-orang yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak mengamalkannya, Al-Qur’an tidak akan menambahi mereka selain kerugian. Dengan Al-Qur’an berarti telah tegak hujah atas mereka.”

Obat (syifa) yang terkandung dalam Al-Qur’an bersifat umum. Bagi hati/jiwa, Al-Qur’an adalah obat dari penyakit syubhat, kejahilan, pemikiran yang rusak, penyimpangan, dan niat yang jelek. Adapun bagi jasmani, Al-Qur’an merupakan obat untuk berbagai sakit dan penyakit.

Baca juga: Ruqyah Adalah Kesyirikan?

Dari Abu Abdillah Utsman bin Abil Ash radhiallahu anhu,

أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُ فِي جَسَدِهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ضَعْ يَدَكَ عَلىَ الَّذِي يَأْلَمُ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ -ثَلَاثًا-؛ وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Dia mengadukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang rasa sakit yang ada pada badannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit dari tubuhmu, lalu bacalah tiga kali,

بِسْمِ اللهِ

kemudian bacalah tujuh kali,

أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya, dari kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah radhiallahu anha, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjenguk sebagian keluarganya (yang sakit). Beliau mengusap dengan tangan kanannya sambil membaca,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada obat (yang menyembuhkan) kecuali obatmu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (Muttafaqun alaih)

Berobat juga bisa dilakukan dengan cara-cara yang mubah. Misalnya, berobat ke dokter atau orang lain yang memiliki keahlian dalam pengobatan, seperti ramuan, refleksi, akupunktur, dan sebagainya.

Hukum Berobat kepada Dukun & Tukang Sihir

Berobat kepada tukang sihir atau dukun, atau dengan cara-cara perdukunan semacam mantra yang mengandung unsur syirik, atau rajah-rajah yang tidak diketahui maknanya, hukumnya haram, bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar (murtad) dari Islam.

Dari Muawiyah ibnul Hakam radhiallahu anhu, “Aku berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللهُ تَعَالَى بِالْإِسْلاَمِ وَمِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ.

“Wahai Rasulullah, aku baru saja meninggalkan masa jahiliah. Sungguh, Allah telah mendatangkan Islam. Di antara kami ada orang-orang yang mendatangi para dukun.”

قَالَ: فَلاَ تَأْتِهِمْ

Beliau bersabda, “Janganlah engkau mendatangi mereka (para dukun).” (HR. Muslim)

Baca juga: Dukun dan Ciri-Cirinya

Dari Shafiyah bintu Abi Ubaid, dari sebagian istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا

“Barang siapa mendatangi peramal, kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu lalu dia membenarkannya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim)

  1. Jika sakitnya bertambah parah atau tidak kunjung sembuh, dia tidak boleh mengharapkan kematian.

Dari Anas radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ:

“Janganlah salah seorang kalian mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya. Apabila memang harus melakukannya, hendaknya dia berdoa,

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي

‘Ya Allah, hidupkanlah aku apabila kehidupan itu adalah kebaikan bagiku. Wafatkanlah aku apabila kematian itu adalah kebaikan bagiku’.” (Muttafaqun alaih)

Baca juga: Kematian adalah Kepastian, Apa Yang Sudah Engkau Siapkan?
  1. Segera menyelesaikan tanggungan kewajiban

Apabila dirinya mempunyai kewajiban (seperti utang, pinjaman, dll.), amanah yang belum dia tunaikan, atau kezaliman terhadap hak orang lain yang pernah dia lakukan, hendaknya dia bersegera menyelesaikannya dengan yang bersangkutan, apabila memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, karena jauh tempatnya, belum ada kemampuan, atau sebab lainnya, hendaknya dia berwasiat (kepada ahli warisnya) dalam urusan tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (al-Mu`minun: 8)

Baca juga: Hukum Menunda-nunda Membayar Utang

Dari Abu Huraiah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِيْنَارٌ وَدِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barang siapa berbuat kezaliman terhadap saudaranya, baik pada harga dirinya maupun hal lain, hendaknya dia minta agar saudaranya menghalalkannya (memaafkannya) pada hari ini, sebelum (datangnya hari) yang tidak ada dinar dan dirham. Apabila dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya sesuai dengan kadar kezalimannya (lalu diberikan kepada yang dizaliminya). Apabila dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan, akan diambil dari kejelekan orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. al-Bukhari)

Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat

Jabir radhiallahu anhu berkata,

لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: ماَ أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لاَ أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ وَاسْتَوْصِ بِإِخْوَتِكَ خَيْرًا. فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ

“Pada malam hari sebelum terjadi Perang Uhud, ayahku memanggilku. Dia berkata, ‘Tidak aku kira kecuali aku akan terbunuh pada rombongan yang pertama terbunuh di antara para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelahku orang yang lebih mulia darimu, kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sesungguhnya aku mempunyai utang, tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’

Tatkala masuk pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR. al-Bukhari)

  1. Disyariatkan segera menulis wasiat

Penulisan wasiat ini dipersaksikan oleh dua orang lelaki muslim yang adil. Apabila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi dua orang ahli kitab yang adil.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ شَهَٰدَةُ بَيۡنِكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ حِينَ ٱلۡوَصِيَّةِ ٱثۡنَانِ ذَوَا عَدۡلٍ مِّنكُمۡ أَوۡ ءَاخَرَانِ مِنۡ غَيۡرِكُمۡ إِنۡ أَنتُمۡ ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَأَصَٰبَتۡكُم مُّصِيبَةُ ٱلۡمَوۡتِۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (al-Maidah: 106)

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ.

وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَلِكَ إِلاَّ وَعِنْدِي وَصِيَّتِي

“Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya.”

Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata, “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun semenjak aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata demikian, kecuali di sisiku ada wasiatku.” (Muttafaqun alaih)

Baca juga: Kisah Sebatang Kayu, Amanah yang Nyaris Punah

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata (at-Tamhid, 14/292),

“Para ulama bersepakat bahwa wasiat itu tidak wajib kecuali bagi orang yang memiliki tanggungan-tanggungan yang tanpa bukti atau memiliki amanah yang tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib berwasiat. Dia tidak boleh melalui dua malam pun kecuali sungguh telah mempersaksikan hal itu.

Dia boleh mewasiatkan sebagian harta yang ditinggalkan, maksimal sepertiganya. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, ‘Aku senang bahwa orang mengurangi dari jumlah sepertiga menjadi seperempat dalam hal wasiat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepertiga itu banyak’.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan al-Baihaqi)

Wasiat tersebut tidak boleh diperuntukkan kepada ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali dengan kerelaan seluruh ahli waris lainnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap yang memiliki hak akan haknya. Maka dari itu, tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dinilai hasan oleh al-Albani dalam kitab al-Irwa)

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali para ahli waris (yang lain) memperbolehkannya.” (al-Ijma’ hlm. 100)

Baca juga: Wasiat Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Apabila wasiat itu adalah rekayasa dan jalan untuk memberi tambahan kepada sebagian ahli waris serta mengurangi hak sebagian mereka, wasiat itu haram hukumnya berdasarkan ijmak dan Al-Qur’an,

غَيۡرَ مُضَآرٍۚ وَصِيَّةً مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

“(Wasiat itu) tidak memberi mudarat (kepada sebagian pihak). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (an-Nisa: 12)

Wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah batil dan tidak boleh dilaksanakan. Dari Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa membuat perkara baru pada urusan (agama) ku ini yang tidak berasal darinya, hal itu tertolak.” (Muttafaqun alaih)

  1. Berwasiat agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai dengan tuntunan As-Sunnah

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam kitab Ahkamul Jana`iz (hlm. 17—18),

“Adat kebiasaan yang dilakukan mayoritas kaum muslimin pada masa ini adalah bid’ah dalam urusan agama, lebih-lebih dalam masalah jenazah. Karena itu, termasuk perkara yang wajib adalah seorang muslim berwasiat (kepada ahli warisnya) agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai dengan As-Sunnah.

Hal ini dalam rangka mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)

Oleh karena itulah, para sahabat radhiallahu anhum mewasiatkan hal tersebut. Atsar-atsar dari mereka (dalam hal ini) banyak sekali. Di antaranya:

  • Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash

Ayahnya (yakni Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu anhu) berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada wafatnya,

أَلْحِدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ نَصْبًا اللَّبِنَ كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Buatlah liang lahat untukku dan tegakkanlah atasku bata sebagaimana dilakukan demikian kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

  • Dari Abu Burdah

Ayahnya (yaitu Abu Musa radhiallahu anhu) berwasiat ketika hendak meninggal,

“Apabila kalian berangkat membawa jenazahku, cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh, jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).”

Mereka bertanya, “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu?”

Dia menjawab, “Ya, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad 4/397, al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah; sanadnya hasan)

Baca juga: Agungkan Sunnah, Penuhi Seruan Rasulullah

An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab al-Adzkar,

“Disunnahkan baginya dengan kuat untuk berwasiat kepada mereka (ahli waris) agar menjauhi adat kebiasaan berupa bid’ah dalam pengurusan jenazah. Hal itu dikuatkan (dengan wasiat).”

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Besi dibakar, lalu ditempelkan pada urat yang sakit.

Ditulis oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan rahimahullah